Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Bagaimana menggunakan gamis dengan benar? Selama ini saya sering melihat panjang baju gamis yang banyak dikenakan orang sampai menyentuh lantai atau jalanan (mengepel lantai atau jalanan) bagaimana hukumnya jika gamis tersebut digunakan untuk shalat? Padahal seperti yang kita tahu jalanan atau lantai yang tersapu oleh baju gamis tersebut belum tentu bebas dari najis. Demikian pertanyaan saya. Saya mohon pencerahan.
(disidangkan pada Jum‘at, 18 Muharram 1440 H / 28 September 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Mengenai cara menggunakan gamis dengan benar, Islam telah mensyariatkan bahwa seorang wanita yang sudah baligh wajib menutup auratnya. Seluruh tubuh wanita merupakan aurat dari ujung kepala hingga ujung kaki, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslimah diwajibkan untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai syariat. Pakaian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai penutup aurat, akan tetapi sebagai keindahan dalam berpakaian yang memiliki nilai estetika dan etika, baik dalam ibadah maupun muamalah. Allah swt berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ الهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ [الأعراف، 7: 26].
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat [QS. al-A‘raf (7): 26].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ [رواه أبو داود: 3580].
Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda, hai Asma’ sesungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk kepada muka dan telapak tangannya [HR. Abu Dawud: 3580].
Sebelum kami merinci kriteria busana muslimah yang syar’i, kami akan memaparkan terlebih dahulu mengenai makna gamis itu sendiri. Gamis merupakan sejenis baju kurung yang dominan digunakan di Timur Tengah dan bangsa Arab. Gamis merupakan pakaian tradisional yang biasa disebut Abaya, yang merupakan pakaian khusus muslimah yang dianggap memenuhi aturan seperti yang tertera di dalam al-Qur’an. Namun di Indonesia, gamis merupakan pakaian longgar yang menjulur menutupi seluruh anggota tubuh kecuali kepala dan telapak tangan yang digunakan oleh pria dan wanita muslim. Akan tetapi di Indonesia sendiri sebutan gamis lebih dominan sebagai pakaian wanita muslimah.
Pada dasarnya gamis merupakan salah satu jenis pakaian untuk menutup aurat, karena pada hakikatnya menutup aurat merupakan syariat, sedangkan cara menutupnya merupakan bagian dari budaya. Selama budaya itu tidak menyalahi aturan syariat, maka apapun model dan jenis pakaiannya asalkan tetap memenuhi kriteria busana muslimah dan sepanjang tidak dimaksudkan untuk berlaku sombong, adalah baik menurut Islam. Dalam suatu riwayat diterangkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةُ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، وَلَا يَدْخُلُ النَّارَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ، الرَّجُلُ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَفِعْلُهُ حَسَنًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ مَنْ بَطَرَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ [رَوَاهُ مُسْلِمٌ: 5782].
Dari Abdullah bin Mas’ud (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda, tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji zarah, seorang laki-laki bertanya, sesungguhnya manusia suka berpakaian bagus dan berterompah bagus pula, apakah hal itu merupakan kesombongan? Rasulullah saw kemudian menjawab, sesungguhnya Allah itu indah, menyukai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain [HR. Muslim: 5782].
Adapun cara berpakaian yang sesuai tuntunan Islam sebagaimana yang telah kami simpulkan dari buku Adabul Mar’ah fil Islam yang telah disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai berikut,
- Menutup aurat, yaitu seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
- Tidak membentuk lekuk tubuh
- Pakaian terbuat dari bahan yang tidak tipis dan tidak tembus pandang
- Menggunakan wangi-wangian yang sewajarnya
- Pakaian yang suci dan halal, baik bahan maupun cara mendapatkannya
- Tidak ada niat untuk menyombongkan diri dengan pakaian yang dikenakan
- Sopan dan sesuai kebutuhan (tidak berlebih-lebihan)
Mengenai gamis yang menjulur ke bawah, hal itu adalah selera berpakaian masing-masing orang dan bukan persoalan ta‘abbudi dan taufiqi, tetapi termasuk dalam masalah muamalah yang dikendalikan oleh maksud-maksud syariat. Bagaimana pun modelnya yang penting dapat menutup aurat adalah diterima oleh syariat.
Adapun mengenai shalat dengan memakai pakaian yang mengepel lantai, dapatlah dilihat hadis-hadis di bawah ini,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللهُ إِلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللهِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ شِبْرًا قَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ [رواه الترميذّي: 1731].
Dari Ibnu Umar (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Aisyah bertanya, lalu apa yang harus dilakukan kaum perempuan dengan zail (kelebihan kain bagian bawah) mereka? Beliau menjawab, mereka boleh memanjangkannya satu jengkal. Aisyah kembali menyela, kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat, beliau bersabda, mereka boleh memanjangkannya sehasta dan jangan lebih [HR. at-Tirmidzi: 1731].
عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِى عَبْدِ الأَشْهَلِ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لَنَا طَرِيقًا إِلَى الْمَسْجِدِ مُنْتِنَةً فَكَيْفَ نَفْعَلُ إِذَا مُطِرْنَا قَالَ أَلَيْسَ بَعْدَهَا طَرِيقٌ هِىَ أَطْيَبُ مِنْهَا قَالَتْ قُلْتُ بَلَى قَالَ فَهَذِهِ بِهَذِهِ [رواه أبو داود: 384].
Dari Musa bin Abdullah bin Yazid (diriwayatkan) bahwa seorang perempuan dari Bani Abdul Asyhal berkata, wahai Rasulullah sesungguhnya kami memiliki jalan ke masjid yang kotor, maka apakah yang harus kami lakukan jika hujan (jalan menjadi basah dan becek?) Rasulullah saw menjawab, bukankah setelah jalan itu ada jalan yang lebih bersih dari sebelumnya? Aku menjawab, ya. Lalu beliau bersabda, maka (tanah kotor) ini (terbersihkan) dengan (tanah suci) ini [HR. Abu Dawud: 384].
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw tidak melarang para perempuan memakai pakaian atau gamis yang kainnya menjulur ke bawah hingga menyapu tanah. Namun di sisi lain hal tersebut menimbulkan masalah baik pada zaman dahulu maupun zaman sekarang dikala para wanita hendak keluar rumah yang melewati jalan yang becek, karena hal tersebut menimbulkan kehawatiran terkena najis atau kotoran yang dapat membatalkan keabsahan melaksanakan shalat jika memakai pakaian tersebut. Adapun najis merupakan unsur yang dapat membatalkan kesucian, sedangkan kotor hanya berupa wujudnya yang tidak bersih namun tetap suci. Jadi sesuatu yang najis pasti kotor, sementara sesuatu yang kotor belum tentu najis.
Sebagaimana solusi berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, bahwa apabila melewati jalan yang becek dan dimungkinkan ada najisnya, maka ada dua alternatif yaitu, menghindari jalan yang becek atau jalan yang dimungkinkan ada najisnya itu atau jika terlanjur melewati jalan yang becek dan dimungkinkan ada najisnya itu dapat dibersihkan dengan cara mencuci bagian yang terkena najis atau dapat dibersihkan dengan cara melewati jalan yang kering atau berdebu tanpa adanya najis. Namun di sisi lain, pakaian yang kotor meskipun suci menjadi kurang pantas digunakan untuk shalat karena pentingnya nilai estetika dan etika dalam beribadah kepada Allah sebagai upaya penunjang bertambahnya kekhusyukan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa shalat menggunakan gamis yang menyapu tanah hukumnya sah selama tidak terkena najis. Namun jika dilihat dari segi keindahan dan sebagai bentuk kehati-hatian, diharapkan ketika shalat hendaknya memakai pakaian yang terjamin kebersihan dan kesopanannya, agar tidak mengganggu kekhusyukan bagi diri sendiri dan orang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2019