Oleh Mukhlis Rahmanto
Mukidi: Surga atau Neraka
“Bu Guru: “Anak-anak. Siapa yang mau masuk surga?” Anak-anak: (Dengan serempak) “Sayaa!”. Mukidi: (Lagi duduk di belakang hanya diam saja). Bu Guru: “Siapa yang mau masuk neraka?” Anak-anak: “Tidak mauu!” Mukidi: (Tetap diam saja). Bu guru: (Mendekat) “Mukidi, kamu mau masuk surga atau neraka?” Mukidi: “Tidak kedua-duanya Bu Guru.” Bu Guru: “Kenapa?” Mukidi: “Habis waktu ayah saya mau meninggal, beliau berpesan. Mukidi, apapun yang terjadi kamu harus masuk TENTARA”.
Sosok bernama Mukidi, kini (pernah), bisa jadi lebih populer dari orang nomor satu di negeri ini. Tapi tidak di dunia nyata bergeografis dan bernama Indonesia, tapi dunia maya dengan banyak planet media sosial yang kebetulan sama geografisnya.
Kedua dunia itu dalam nalar Mukidi, tidaklah terpisah, karena sosok Mukidi sejatinya adalah kumpulan perasaan emosional terkait masalah agama, sosial, ekonomi dan politik jutaan orang di dunia nyata Indonesia, yang beraksentuasi dan tampil bebas tanpa kekangan semacam undang-undang yang sangat rigid, dimana itu tidak berlaku di dunia maya. Pun Indonesia sebagai “dunia nyata” sendiri secara leksikal berasal dari kata Indu-nesians yang berarti orang-orang yang menempati kepulauan India belakang.
Perasaan emosional itu diekspresi-salurkan dalam bentuk humor dan membentuk sebuah gelombang bernama jamaah humoriah mukidiah. Sebuah jamaah baru pasca jamaah facebookiyah dan whatsapiyah.
Siapa Mukidi? Ia adalah sosok rekaan yang multietnis meski diwakili oleh identitas- nama jawa. Bisa jadi satu waktu ia adalah Madura, Sunda, hingga suatu kali ia berasa Amerika, bahkan Arab. Sehingga jika diotak-atik secara morfologi Arab dan kita cek dalam kamus Arab-Indonesia, kata Mukidi ( موكدي ) asalnya dari kata kerja lampau (madhi) wakada ( وكد) dengan wazan fa’ala ( فعل). Kemudian dianutkan wazan af’ala (افعل ) jadi ( اوكد ). Bentuk subyeknya muf-ilun ( مفعل ) mukidun ( موكد ), kemudian dipasang ya nisbat, maka jadilah mukidi ( موكدي ). Maknanya adalah orang yang mengukuhkan, orang yang menyengaja, orang yang menyingsetkan, orang yang menyengaja dan orang yang menguatkan semangat. Atau dari waqada – muqidun ( وقد – اوقد – موقد ) dimana orang jawa membaca huruf q dengan k, artinya yang menyalakan.
Sayyid Jamaludin Al-Afghani, tokoh pembaharu Islam masyhur dikenal dengan “Muqidhu as-Sharq” atau pembangkit bangsa-bangsa timur dari penjajahan bangsa Barat. Ternyata, sangat kaya dan berat, makna kata Mukidi itu sendiri dan berbanding terbalik dengan posisinya yang ringan-ringan saja sebagai tokoh rekaan.
Mukidi mengingatkan kita kembali bahwa sebenarnya kita, manusia, tidak bisa dilepaskan dari sense of humor. Bahwa dari zaman ke zaman, tempat satu ke tempat lain, dari babak sejarah satu ke yang lain, mulai dari Inggris, Mesir hingga Indonesia. Ketika radio sebagai media komunikasi menguasai zamannya, orang mengenal Basiyo yang mewakili dagelan mataraman.
Ketika televisi sebagai media komunikasi menguasai zamannya, orang mengenal Charlie Chaplin dan Srimulat. Seperti Abu Nawas, Sabdo Palon-Naya Genggong, Petruk-Gareng, Kabayan, dan Nasrudin Hoja, Mukidi hadir mewakili rakyat media sosial -dalam konteks sekarang- untuk menjadi juru bicara berbagai permasalahan yang muncul dalam dunia nyata. Tentu dengan dengan bahasa humor sebagai pengejawentahan naluri “gembira” yang ada dalam diri manusia dimana menghasilkan suatu tertawaan dan kelucuan.
Jika dilacak asal-usulnya, humor sendiri berasal dari kata Latin “umor” yang berarti cairan. Sejak 400 SM, orang Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yaitu: darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan suasana hati. Kelebihan salah satu di antaranya akan membawa pada suasana tertentu.
Darah menentukan suasana gembira (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic). Tiap cairan tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam mempengaruhi setiap orang. Kekurangan darah menyebabkan orang tidak pemarah.
Kelebihan empedu kuning menyebabkan jadi angkuh, pendendam, ambisius, dan licik (Manser, 1989). Maka dengan humor, manusia sebenarnya berusaha mempertahankan eksistensi-keberadaan dirinya.
Mukidi dalam posisinya sebagai jubir bergelar “humoris causa “ jika ditelisik memberikan pesan dan wawasan arif. Coba kita lihat paragraf banyolannya, “Assalamu’alaikum wahai keluarga dan sahabat. Tanpa bermaksud riya, ujub, apalagi takabur…Alhamdulillah berkat doa sedulur semua, tahun ini saya bisa berkurban 3 sapi dan 2 kambing dalam bentuk “royco”. Wassalamu’alaikum. Ttd. Mukidi”.
Paragraf tersebut dapat ditafsirkan memberikan pesan yang mewakili realita sekarang, dimana banyak orang menjadi shahibul-qurban, tetapi terkesan hanya untuk sekedar berpamer ria dan agar “dianggap dan eksis” di masyarakat. Dengan bahasa lain, ia bermain persuasif dengan mempermudah informasi yang asalnya bersifat serius. Kita diajak berfikir humoristik untuk sesuatu yang seriustik. Di sini Mukidi benar dan harus kita akui, bahwa humor sejatinya tidaklah mengganggu kebenaran itu sendiri. Pun ada semacam fungsi pembijaksanaan melalui humor.
Yang lebih menarik lagi jika Mukidi pura-pura atau seolah-olah menjadi seorang politikus. “Munah (istri Mukidi): “Bagaimana mas, dapat jatah menteri apa… ?” Mukidi: ”Menpora….” jawab Mukidi sekenanya. Spontan Munah sujud syukur, bangga dan senang, karena selama ini hanya dipanggil Bu Muk, kelak akan dipanggil Bu Menteri.
Melihat istrinya sujud syukur, Mukidi heran dan jengkel karena Munah dianggap tidak mengerti. Mukidi: ”Munah sayang…kenapa kamu kegirangan dan sujud syukur …?” Munah:”Lho… kan Mas Mukidi menjadi Menpora….” Mukidi: ”Astaghfirullah……Munah, Munah….saya ini kangen kamu, lalu saya tanya kamu: men po ra……” (jawa: yang berarti, kamu sedang datang bulan atau tidak?).
Di sini, Mukidi mengajak kita untuk menyaksikan dunia politik di negeri ini yang pada hakikatnya seperti medan magnet mata pencaharian. Banyak orang yang menjadikan profesi politikus sebagai ajang mencari kekuasaan yang setelah mendapatkannya, terbukalah jalan menumpuk rezeki materi demi kepentingannya sendiri dan melanggengkannya melalui politik dinasti. Mukidi pun mengajari kita untuk melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang.
Fenomena jamaah humoriah mukidiah, jika kita coba melihatnya dari sudut pandang agama, khususnya Islam, akan kita dapati fakta, bahwa sense of humor ternyata juga diakomodir oleh sang Maha Pencipta dalam kitab suci dan penjelasan Nabi-Nya dalam Hadits.
Artinya, humor menjadi salah satu bahasa komunikasi dalam Islam. Dalam Al-Qur’an, kata “tawa” dan “senyum” akan kita temukan salah satunya dalam dialog antara Sulaiman dengan semut sebagai berikut: ”Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (QS. An-Naml: 18-19). Pun Allah sendiri adalah pengatur suasana emosional manusia, apakah mau dibuat tertawa atau sedih? “Dan bahwasannya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43).
Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud juga tidak dapat dilepaskan dari sense of humor. Dalam sebuah Hadis Qudsi yang panjang, Allah berfirman kepada anak Adam: “Wahai anak Adam! Aku tidak akan menghalangi apa yang kamu inginkan. Apakah kamu ridha jika Aku berikan kepadamu dunia dan ditambah dengan yang semisalnya?” “Anak Adam itu pun berkata: “Wahai Tuhan-ku! Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Kemudian Ibnu Mas’ud pun tertawa dan berkata, “Mengapa kalian tidak bertanya kepadaku, mengapa aku tertawa?” Murid-murid Ibnu Mas’ud pun bertanya, “Mengapa engkau tertawa?”
Ia menjawab, “Seperti inilah Rasul saw tertawa” Para sahabat (kata Ibnu Mas’ud) pun bertanya kepada Rasul, ‘Mengapa engkau tertawa, ya Rasul?’ Nabi menjawab: ‘Karena tawanya Tuhan (Rab) alam semesta adalah ketika dia (anak adam) berkata: Apakah Engkau mengejekku sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?’ Lalu Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku tidak mengejekmu, tetapi semua yang Aku inginkan, Aku mampu.” (HR. Muslim). Maka, mari kita ramaikan jamaah humoriah mukidiah yang tentu diiringi dengan etika-adab humor yang telah dituntunkan agama. Salah satunya agar tidak berlebihan dalam “tertawa” karena hemat Nabi saw, yang demikian dapat mematikan hati, sumber sense of humor itu sendiri.
————
Mukhlis Rahmanto, Lc.,MA, Sekretaris Prodi Ekonomi dan Perbankan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2016