Mu’arif
Malam Jumat 23 Februari, 94 tahun silam (1923), Kiai Ahmad Dahlan meninggal dunia dalam usia 55 tahun. Khatib Amin ini memang tidak meninggalkan karya tulis seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha.
Ia hanya meninggalkan karya keumatan kolektif: organisasi pembaruan Islam bernama Muhammadiyah (berdiri 1912). Banyak pengamat maupun peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri, lebih menempatkan sosok Kiai Ahmad Dahlan sebagai aktor sejarah yang pragmatis (man in action). “Sang Pencerah” ini dinilai lebih mementingkan aksi daripada konsep yang terabadikan dalam sebuah karya tulis. Tampaknya, tesis para pengamat maupun peneliti yang menyebut pendiri Muhammadiyah ini sebagai sosok pragmatis akan segera terbantahkan.
Sekitar 15 tahun lalu, Charles Kurzman menerbitkan buku Modernist Islam: A Sourcebook (Oxford University Press, 2002), yang mengulas pemikiran Kiai Dahlan berdasarkan pidato “Tali Pengikat Hidup Manusia.” Para pengamat dan peneliti gerakan Islam di Indonesia mulai tertarik. Ternyata, sumber primer yang merekam pemikiran Kiai Dahlan masih bisa ditemukan. Kurzman memperoleh sumber primer tersebut dari Abdul Munir Mulkhan. Awalnya, naskah pidato Kiai Dahlan dalam Kongres Al-Islam tahun 1922 tersebut diterbitkan dalam bentuk Almanak Muhammadiyah, oleh Bagian Taman Pustaka 1923.
Tahun 2008, Lembaga Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah (sekarang Majelis Pustaka dan Informasi) menerbitkan karya K.R.H Hadjid, Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran. Lalu muncul karya Kiai Syuja’, Islam Berkemajuan (2009). Karya Syuja’ ini berawal dari sebuah monograf yang berjudul ”Catatan tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan.” Baik Syuja’ maupun Hadjid sebenarnya hanya merekam pemikiran sang guru sesuai kadar ingatan masing-masing.
Belum lama ini, muncul penemuan baru yang diklaim sebagai karya tulis Kiai Dahlan. Misalnya, Faqih Tjekakan (1935), diterbitkan Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Surakarta. Informasi terbaru, ditemukan buku Akoid doel Iman (1941), diterbitkan Drukerij Aman. Sejatinya, buku-buku tersebut hasil reproduksi dan bukan tulisan orisinil dari pendiri Muhammadiyah. Faqih Tjekakan adalah terjemahan versi bahasa Jawa kitab Fathul Qarib oleh Kiai Dahlan dan direproduksi oleh tim Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Surakarta pada 1935.
Akoid doel Iman adalah karya intelektual hasil inisiasi H Siradj Dahlan, putra Kiai Dahlan, yang direproduksi oleh R Haiban Hadjid, putra K R H Hadjid. Sekalipun Akoid doel Iman atas nama Kiai Dahlan, tetapi proses reproduksi buku ini sama persis seperti Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan karya Hadjid. Bedanya, dalam buku Akoid doel Iman, sumber utama perekam jejak pemikiran Kiai Dahlan adalah putranya sendiri (Siradj Dahlan), sedangkan buku Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan direkam sendiri oleh Hadjid.
Apa yang dilakukan Pusat Data dan Litbang (Pusdalit) Suara Muhammadiyah baru-baru ini menunjukkan titik terang seputar keberadaan karya tulis orisinil Kiai Dahlan. Berawal dari penemuan dokumen Suara Muhammadiyah (SM) edisi nomor 2 tahun 1915 oleh almarhum Kuntowijoyo di Perpustakaan Leiden, Belanda. SM yang pertama kali terbit pada tahun 1915 masih menggunakan bahasa dan huruf Jawa. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terdapat temuan menarik terdapat tulisan di salah satu rubrik yang menggunakan inisial ”HAD.” Inisial inilah yang menurut H Ahmad Basuni ditegaskan sebagai ”Haji Ahmad Dahlan.” Judul dan tema tulisan Kiai Dahlan tentang ”Agama Islam,” yang secara normatif menjelaskan tentang tatacara shalat, shalat wajib dan shalat sunnah, dan lain-lain. Kiai Dahlan menulis di SM karena memang namanya tercantum di box redaksi sebagai salah satu redaktur.
Titik terang pasca publikasi penemuan Kuntowijoyo di atas kembali muncul. Sebuah informasi dari Ahmad Adabi Darban (almarhum) menyatakan bahwa Kiai Dahlan memiliki kartu pers. Sayang sekali, sampai saat ini kartu pers yang dimaksud belum ditemukan. Pada saat yang bersamaan, sebuah majalah di Yogyakarta mempublikasikan hasil riset ”Seabad Kebangkitan Pers” yang memuat salah satu poto cover majalah Medan-Moeslimin terbitan 1920-an. Di pojok kanan atas terdapat box redaksi tertulis nama ”Ketib Amin Djokja.” Pada tahun 1920-an, siapa lagi ”Ketib Amin Djokja” jika bukan Kiai Dahlan? Dokumen Medan-Moeslimin 1920-an ini tentu berkaitan juga dengan informasi kartu pers milik Kiai Dahlan.
Kini, teranglah sudah bahwa sosok Kiai Dahlan bukan tokoh pragmatis seperti teori para pakar dan peneliti selama ini. Sebab, dalam tulisan-tulisan Kiai Dahlan di SM nomor 4, 6, dan 8 telah memuat pandangan keagamaan sang pendiri Muhammadiyah ini. Meskipun ditulis dengan gaya tulisan yang deskriptif-normatif, tetapi artikel bersambung dengan judul ”Agama Islam” karya Kiai Dahlan banyak memberikan informasi seputar pemikirannya.
Hingga kini, karya tulis Kiai Ahmad Dahlan sudah terkumpul sekitar empat artikel (saling bersambungan). Ditambah pidato ”Tali Pengikat Hidup Manusia” dapat dikategorikan sebagai karya orisinil sekalipun disampaikan secara lisan. Masih terbuka kemungkinan ditemukan artikelartikel Kiai Dahlan di SM dan Medan-Moeslimin mengingat posisinya sebagai redaktur. Sedangkan rekam jejak pemikiran Kiai Dahlan hasil reproduksi seperti Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan, Islam Berkemajuan, Faqih Tjekakan, dan Aqoid doel Iman.
Kini, tesis sosok Kiai Ahmad Dahlan sebagai man in action perlu dikaji kembali. Sudah terbukti bahwa ”Sang Pencerah” ini memiliki beberapa karya tulis orisinil. Hanya saja, memang harus diakui bahwa sekalipun sang kiai bukan sosok pragmatis, tetapi ia sendiri juga bukan penulis prolifik. Kiai Dahlan tidak seproduktif menulis layaknya Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha.
Mu’arif, Peminat kajian sejarah Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017