Pertanyaan dari:
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Yang terhormat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Belakangan ini lagi ramai tentang perdebatan boleh tidaknya mengkritik pemerintah. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa mengkritik pemerintah adalah hal yang dilarang, sementara ada yang membolehkan bahkan harus mengkritik pemerintah terutama pemerintah yang dzalim kepada rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Mohon pencerahan.
Terimakasih. Nun wal qalami wa ma yasthurun.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Ferdi Hardiansyah (disidangkan pada Jum’at, 27 Jumadal Ula 1438 H / 24 Februari 2017)
Jawaban:
Terimakasih atas pertanyaan yang saudara ajukan, berikut jawabannya.
Masalah hubungan dengan pemerintah telah dibahas oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-27 di Malang pada tahun 2010 yang salah satunya menghasilkan Fikih Tata Kelola. Di dalamnya dirumuskan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, termasuk tata kelola pemerintahan. Salah satu prinsip yang ditetapkan adalah prinsip pengawasan. Pemerintah yang baik adalah jika terdapat sistem pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Salah satu yang berfungsi sebagai pengawas adalah rakyat. Oleh karenanya, sebagai bentuk pengawasan rakyat pada pemerintah adalah memberikan kritik pada pemerintah apabila terdapat kekeliruan atau suatu kebijakan yang dirasa kurang berpihak pada rakyat.
Selain itu, dalam Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah terdapat pedoman tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lebih lanjut, terdapat beberapa tuntunan dasar seperti ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasulullah saw, menunaikan amar makruf dan nahi mungkar, memelihara hubungan baik antara pemimpin dan warga, dan lainnya. Kesemuanya menunjukkan bahwa warga Muhammadiyah perlu mengkritik pemerintah apabila hal tersebut dibutuhkan.
Pada dasarnya, umat Islam diperintahkan untuk menaati pemerintah atau pemimpin. Firman Allah swt,
يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ الهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ … [النسآء، 4: 59].
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu …. [QS. an-Nisa’ [4]: 59].
Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Misbah, menyebutkan bahwa Ulî (أولي) adalah bentuk jamak dari wali (ولى) yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata al-amr (الأمر) adalah perintah atau urusan. Dengan demikian ulil amri adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan
Yunahar Ilyas dalam makalah yang dipresentasikan pada Halaqah Fikih Ulil Amri, 26 Oktober 2013, di Universitas Muhammadiyah Surakarta menyebutkan bahwa ulil amri dapat dikategorikan menjadi tiga, adalah: 1. Umarâ’dan hukâm dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas; 2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing; 3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-lembaga fatwa.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara, yang menjadi ulil amri adalah Pemerintah. Dengan demikian, rakyat wajib menaati pemerintah sepanjang tidak menyalahi syariat Allah. Jika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah untuk bermaksiat dan melanggar syariat Allah, maka kebijakan tersebut tidak boleh ditaati. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ali ra:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ [رواه البخاري].
Tidak boleh taat dalam kemaksiatan. Ketaatan hanya dalam hal yang makruf [HR. al-Bukhari].
Dalam hadis yang lain disebutkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ [رواه البخاري].
Dari Abdullah ra (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda: Mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan. Adapun jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan menaati [HR. al-Bukhari].
Namun demikian, jika kemudian pemerintah membuat kebijakan-kebijakan atau aturan yang dirasa kurang berpihak pada rakyat, atau bahkan dirasa merugikan dan mendzalimi rakyat, maka mengingatkan atau mengkritik pemerintah justru menjadi perlu dilakukan. Hal ini karena amar makruf dan nahi mungkar harus ditegakkan. Dalam melakukan kritik pada pemerintah, terdapat tiga cara, yaitu nasihat, amar makruf nahi mungkar, dan jihad.
Pertama, kritik dengan nasihat atau menyampaikan saran-saran kebaikan. Allah swt berfirman:
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ [العصر، 103: 1-3].
Demi Masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran [QS. al-‘Ashr [103]: 1-3].
Dalam hadis Nabi saw juga disebutkan:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ [رواه مسلم].
Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Saw bersabda: Agama adalah nasihat. Kami bertanya: Kepada siapa? Rasulullah menjawab: Kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka [HR. Muslim].
Kedua, amar makruf nahi mungkar, yaitu mengajak pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Allah swt berfirman:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [آل عمران، 3: ١٠٤].
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung [QS. Ali Imran [3]: 104].
Di samping itu, Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان [رواه مسلم].
Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman [HR. Muslim].
Dengan demikian, suatu kemungkaran harus dicegah sedapat mungkin, meskipun kemungkaran tersebut dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, dengan berjihad. Jihad dalam konteks ini adalah bukan jihad dengan berperang, akan tetapi menyampaikan kebenaran meskipun pada pemimpin yang dzalim. Diterangkan dalam hadis Nabi saw:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ [رواه أبوداود].
Dari Abu Sa’id al-Khudri (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa atau pemimpin yang dzalim [HR. Abu Dawud].
Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah tidak dibenarkan mencaci, menghina, dan merendahkan pemerintah. Cara menyampaikan kritikan tetap harus santun. Kritik yang diberikan pun jangan sampai merusak nama baik atau bahkan memfitnah. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ [رواه الترمذي].
Siapa saja yang menghinakan pemimpin Allah di muka bumi, maka Allah akan hinakan ia [HR. at-Tirmidzi].
Mengkritik pemerintah diperbolehkan, dan bahkan dianjurkan demi kebaikan bersama. Dalam hal ini kritik pada pemerintah merupakan hubungan timbal balik antara pemerintah dengan rakyat. Kritik juga merupakan sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memberikan saran pada pemerintah. Lebih jauh lagi, kritikan rakyat dapat menjadi kontrol bagi pemerintah jika ada langkah-langkah pemerintah yang dirasa kurang bijak bagi rakyatnya.
Selain aturan pada hadis-hadis di atas, dalam mengkritik segala aturan dan perundang-undangan yang berlaku juga harus diindahkan. Jika kritik dilakukan di muka umum seperti demonstrasi, maka harus tetap menjaga ketertiban umum (tidak merugikan) dan dilakukan dengan izin pihak yang berwenang.
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ [رواه ابن ماجه].
Tidak boleh berbuat madharat (merugikan) dan tidak boleh saling berbuat madharat [HR. Ibnu Majah].
Begitu pula jika disampaikan melalui media massa maupun media lainnya, tetap harus memperhatikan segala aturan, nilai dan norma yang berlaku. Kritik yang disampaikan hendaklah kritik yang bersifat membangun dan disertai saran-saran sebagai jalan keluar dari permasalahan.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2018