Khatib Simpatik

Mushlihin

Di hari yang mulia ini, atas kuasa Allah penulis bisa sambung rasa dengan seorang khatib. Ia berkhotbah setiap Jumat Pon di masjid kampung. Ia mulai bertugas akhir tahun 1996. Semoga dengan mengisahkannya tidak membuat ria.

Awalnya Ia adalah sosok remaja Islam yang mempesona dari sebuah desa. Seratus persen muslim penduduknya. Ada dua masjid besar di kampungnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Azan saling bersahutan membahana, memanggil orang beriman agar salat jumat berjamaah.

Saat itu ia asyik main bersama temannya. Neneknya memanggilnya. Lama sekali sang nenek tak dihiraukannya. Setelah itu ia diberi penjelasan, “jika pria muslim sudah lebih dari 7 tahun usianya harus ikut salat berjamaah. Kecuali hamba sahaya, anak kecil, orang sakit dan wanita tak wajib mendirikannya.”

Dengan sedikit kesal dan bermuram durja, ia pergi bersama ayah naik sepeda. Ia terkesima dengan khatib simpatik yang menyampaikan bahwa” Hai orang-orang yang beriman, jika azan jumat berkumandang, maka segeralah ke masjid, tinggalkan jual beli atau pekerjaan dan permainan, yang demikian itu lebih baik bagimu jika mengetahui”. Seperti yang tertera dalam terjemahan Al Qur’an surat jumah.

Jumatan kedua, sebelum azan ia memaksa ayah segera berangkat menuju masjid desa. Padahal badannya kotor setelah main bola. Rambutnya awut-awutan tak tertata. Baunya kecut menyebar ke sekelilingnya. Pakaiannya kusam dan penuh noda. “Sebentar, sebelum pergi disunnahkan mandi keramas, pakai sabun, mengenakan pakaian terbaik dan minyak wangi,” saran ayahnya.

Jumatan ketiga, ia berani berangkat sendirian tanpa ayah. Di tengah perjalanan, ia berjumpa teman sekelasnya. Mereka singgah di sebuah rumah. Saat iqomah, baru berlarian disaksikan para jamaah. Salah satunya menasehati supaya tidak diulanginya. Karena barang siapa yang datang pertama seolah berkurban unta, kedua seolah berkurban sapi, ketiga seolah berkurban domba, keempat seolah berkurban ayam dan kelima seolah berkurban telur. Maka bersegeralah ke masjid atau rumah Allah. Jangan nongkrong di rumah tetangga.

Jumatan keempat, ia menempati barisan paling belakang seraya bersandar pada sebuah tiang. Khotbah tak didengarkan. Justru ia berbincang-bincang, mengganggu ketenangan. Esoknya ia diingatkan gurunya di sekolahan dan dihukum ringan. Sebab Mujahid menganggap khotbah jumat sebagai pengganti 2 rakaat dalam salat zuhur, maka bagi yang tidak mengikutinya, ia harus salat zuhur 4 rakaat. Itulah pentingnya mengikuti khotbah.

Jumatan kelima, ia berada di tengah barisan. Karena lelah bermain, ia mengantuk tak tertahankan. Saat kotak infaq lewat di depannya, ia ambil uang di sakunya ratusan rupiah. Tak diketahuinya uang ribuan jatuh di belakangnya. Ia ditepuk pundaknya oleh tetangganya sambil ditunjukkan uang tersebut. Ia ambil uang itu dan dimasukkan ke kotak jariah. Dalam hati ia mengira, betapa dermawan orang di sampingnya. Sehabis salam ia dipuja. Ia bingung tak tahu mengapa. Ia dibilangi bahwa tersebut merupakan uangnya. Ia terperangah, ingin mengambilnya, tapi terlanjur basah. Perilakunya membuat jamaah tertawa.

Jumatan keenam, ia berniat berada di barisan depan. Agar mendapatkan ganjaran sebesar onta seperti yang pernah ia dengarkan dari pengajian. Sehingga ia berjalan melewati pundak jamaah yang datang duluan. Ia pun ditegur, jika tindakannya kurang etis dan berlebihan serta tak sopan. Mengganggu ketenangan jamaah adalah dosa.

Jumatan ketujuh, ia datang lebih awal, duduk di belakang imam. Tanpa salat sunnah sebelumnya. Saudaranya membacakan hadis. Bahwa pada suatu hari ada seorang masuk masjid, waktu Rasulullah sedang berkhotbah, lalu beliau bertanya, sudahkah kamu salat? Orang itu menjawab belum, kemudian Rasulullah menyuruh, salatlah dua rakaat dengan agak dipercepat.

Jumatan kedelapan, karena ia sudah merasa lelah, usai salat didirikan, langsung pulang. Kakinya menerjang jamaah yang masih khidmat zikir kepada Tuhan. Seorang takmir menghentikan langkahnya dan memberikan wejangan, “itu tak dibenarkan. Kerjakanlah salat empat atau dua rakaat sesudah jumatan langsung atau nanti di rumah.”

Jumatan kesembilan, ia tak bergerak atau bergeming dan malas jumatan. Lantaran tindakannya selalu disalahkan. Ibunya memberi pengertian, “beruntung banyak orang yang rela memberi peringatan. Sebab itu bermanfaat bagi orang yang benar-benar beriman.” Ia sadar dan bergegas sembahyang. Setelah mencari alasan, jika tokoh idolanya juga belum berangkat jumatan, masih sibuk menyelesaikan perdagangan.

Jumatan kesepuluh, ia masuk masjid mendahulukan kaki kiri. Kiainya langsung menghampiri dan mewejangkan, “yang benar adalah kaki kanan. Sambil berdoa ya Allah bukakanlah pintu-pintu rahmatmu. Sebaliknya kalau keluar dahulukan kaki kiri baru kanan.”

Jumatan kesebelas, ia pergi lebih tenang. Perbuatan itu menjadi pembebas dosanya selama antara jumat hari itu dengan hari jumat berikutnya. Maka ia mengajak sahabatnya agar tak membikin kegaduhan, sehingga orang marah padanya.

Jumatan keduabelas, ia turut membantu petugas kebersihan masjid mengepel dan menyapu. Biarpun tak disuruh, Ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Jumatan ketigabelas, ia kerjakan salat dengan ikhlas. Ia lawan rasa malas, meskipun keadaannya panas. Tak ada teman yang sekelas. Karena mereka lagi menikmati es segelas di warung pak Mukhlas.

Jumatan keempatbelas, ia memotong kuku, supaya tidak ditempati setan yang terkutuk. Ia jua melakukan beberapa anjuran Nabi, sebagaimana diajarkan bapak ibu guru.

Setahun kemudian, ia ikut latihan mengaji, azan dan iqomah. Pernah dilombakan juara 3 di madrasah. Warga merasa bangga dan berharap semoga ia calon muazin berikutnya.

Ketika di bangku sekolah menengah, ia aktif organisasi siswa intra sekolah. Kegiatannya latihan qiraah, ceramah, nada dan dakwah serta olahraga. Selain itu ia asah terus kemampuan berceramah melalui pesantren malam yang ada.

Selanjutnya ia masuk perguruan tinggi ternama ambil fakultas tarbiyah jurusan pendidikan agama. Kurang lebih empat tahun lamanya, ia tempuh tanpa putus asa dan tak kenal lelah. Lalu ia lulus dengan predikat memuaskan keluarga besarnya yang tercinta.

Sesudah itu ia tumbuh menjadi pemuda. Yang selalu terpaut hatinya di masjid terdekatnya. Setiap Jumat pagi ia giat bekerja membersihkan kaca, jendela, menyapu dan mengepel lantai serta menyiapkan pengeras suara.

Siangnya ia mendampingi muazin azan dan iqomah. Bila sewaktu beliau berhalangan, ia yang mewakilinya. Suaranya merdu, menyentuh hati pendengarnya.

Lain daripada itu, tata cara jumatannya hampir sempurna. Kukunya dipotong rapi tak ada kotorannya. Badannya bersih dari ujung kaki hingga kepala dan memancarkan cahaya. Pakaiannya putih, wangi dan indah.

Jalannya tenang dan bersegera ke tempat salat biasanya. Ia dahulukan kaki kanan sambil berdoa. Ia isi kotak amal jariah tanpa ria. Terus ia menuju saf pertama. Ia lakukan salat sunnah hingga dimulai khotbah.

Pandangan matanya tertuju ke arah khatib di mimbar utama. Diperhatikan dengan seksama wasiatnya. Kemudian diikuti yang baik sesuai ketentuan syariah. Tatkala pergantian khotbah kedua, ia panjatkan doa. Karena itu merupakan waktu yang mustajabah.

Sementara salat dimulai, ia rapatkan dan luruskan barisan. Lantas mengikuti gerakan imam dengan tumakninah. Sehabis itu ia berzikir dan bergeser untuk salat sunnah. Kadang ikut bercengkerama dengan ulama sekaligus menghitung hasil infak jamaah.

Keluar dari masjid ia dahulukan kaki kiri dan berdoa. Sampai di rumah, ia makan. Terus ia kembali bekerja mencari rizeki halal dan berkah.

Akhirnya ia dipercaya sebagai imam dan khatib melalui musyawarah. Sebagai pendakwah muda yang penuh gairah di tengah kelangkaan kawula muda yang siap berkhotbah. Kebanyakan dari mereka hanya sebagai komentator, pengumpat dan pencela.

Lamongan, 5 Juni 2020

Muslihin, PRM Takerharjo Solokuro Lamongan

Exit mobile version