Ketika melihat sejarah Persyarikatan Muhammadiyah, penyebaran Persyarikatan Muhammadiyah ke seluruh Indonesia tidak lepas dari peran para Da’i Benum. Da’i Benum ini dilakukan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah yang ada pada waktu itu dengan mengirimkan lulusannya ke pelosok Indonesia. Saat ini program Da’i Benum itu sudah tidak ada.
Untuk membahas mengenai Da’i Benum ini termasuk kemungkinan menghidupkan kembali, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah menghubungi Prof HA Malik Fadjar, MA. Berikut hasil wawancaranya:
Dulu Muhammadiyah pernah mengirim da’i ke pelosok tanah air atau terkenal dengan istilah da’i benum. Bagaimana situasi saat itu?
Luar biasa itu, satu ijtihad yang luar biasa yang membuat Muhammadiyah tersebar ke seluruh Indonesia. Luar biasa juga pelakunya, sebab selain berbekal ilmu dan sekadar bekal perjalanan mereka tak berbekal apa-apa untuk hidup di tempat mereka di benum atau ditugaskan.
Padahal tugas mereka jauh ke pedalaman. Yang di Kalimantan sampai ke Puruk Cahu Kalimantan Tengah. Bisa dibayangkan situasinya pada saat itu. Demikian pula yang di Sumatera mereka dibenum di pelosok desa hingga ke pedalaman Sumatera Selatan atau ke Bengkulu. Bahkan ada yang ke pulau-pulau terpencil. Kalau saya dan Pak Syafii dibenum di Nusa Tenggara Barat.
Pada saat itu, cuma sami’na watha’na. Tiada keluhan sama sekali untuk menjalankan misi persyarikatan Muhammadiyah. Ada yang hanya beberapa tahun di tempat mereka dibenum tetapi banyak pula mereka yang menetap di tempat mereka dibenum. Padahal umumnya mereka baru lulus sekolah menengah.
Apakah hanya sekolah-sekolah tertentu saja yang lulusannya dibenum di berbagai pelosok Indonesia?
Tidak. Hampir seluruh sekolah Muhammadiyah melaksanakan program da’i benum ini. Bahkan yang bukan sekolah Muhammadiyah tetapi guru-gurunya Muhammadiyah juga melakukan hal ini. Hanya saja motor penggeraknya adalah Madrasah Muallimin dan Muallimat.
Apa semangatnya pada waktu itu?
Semangatnya adalah menyebarkan ilmu, termasuk ilmu agama, untuk mencerahkan bangsa. Kita tahu pada waktu itu sebagaian warga bangsa Indonesia yang mayoritasnya umat Islam dalam kondisi terbelakang. Mereka umumnya tidak mengenyam pendidikan.
Semangat ini pula yang diajarkan oleh pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan dari surau kecil yang ada di Kauman. Apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan di surau kecil itu getarannya terasakan sampai ke seluruh Indonesia, bahkan sampai sekarang ini. Getarannya luar biasa.
Kita tahu Kiai Dahlan mengajarkan ilmunya tidak hanya di surau kecil itu, tetapi berbeda dengan Kiai pada umumnya waktu itu yang mengajarkan ilmunya jika santri datang kepadanya. Kiai malah mendatangi santri-santri atau murid-muridnya. Tidak hanya murid-murid yang ada di Yogya saja tetapi juga di luar Yogya.
Inilah yang ditiru murid-murid Kiai Dahlan. Mereka menyebarkan ilmunya pada daerahdaerah yang mereka jangkau. Tanpa mengeluh mereka terus berkarya dengan peralatan dan bekal seadanya.
Ini pula kemudian yang diterapkan sekolah-sekolah Muhammadiyah pada waktu itu, sehingga menugaskan lulusannya untuk melakukan hal yang sama ke pelosok Indonesia. Dimana tempat yang membutuhkan anak-anak lulusan Muhammadiyah, mereka akan mendatangi tempat tersebut dengan penuh semangat tanpa mengeluh dengan keterbatasan yang mereka alami di tempat yang baru.
Mereka menebarkan ilmu itu lewat pendidikan formal atau pendidikan non formal?
Kedua-duanya, ada yang melalui pendidikan formal tetapi ada yang melalui pendidikan non formal. Yang memulai lewat pendidikan formal dengan menjadi guru pada sekolah yang sudah ada juga melakukan pendidikan non formal kepada masyarakat setempat. Yang ketiga datang melakukan pendidikan non formal kemudian juga akhirnya merintis pendidikan formal.
Semangat mereka memang luar biasa, kepentingan masyarakat dan persyarikatan mereka utamakan ketimbang kepentingan diri sendiri dan mungkin keluarganya. Mereka bisa merintis berdirinya Persyarikatan di tempat mereka benum dan bahkan dapat melahirkan amal usaha.
Kalau melihat perjuangan mereka yang gigih saat merintis amal usaha dengan korban waktu, tenaga, pikiran dan bahkan hartanya, saya merasa sedih jika setelah jadi rintisannya kemudian disingkirkan. Biarkan mereka menikmati hasil rintisannya, tidak hanya orang lain yang menikmati tanpa tahu sakit dan sulitnya mendirikan amal usaha.
Kalau saya, biarkan mereka terus berperan dan bahkan memimpin asal masih kreatif dan membawa ke arah kemajuan dan menyiapkan kader untuk memimpin amal usaha tersebut. Baru ketika kader generasi penerus sudah mencukupi dan bisa dipercaya bolehlah ada pembatasan periodisasi. Itupun bagi pimpinan yang pas hebat-hebatnya memimpin amal usaha jangan dipotong, berikan dispensasi untuk melakukan ide-idenya yang belum tuntas.
Ini saya alami sendiri ketika merintis dan memimpin Universitas Muhammadiyah Malang. Ketika itu saya tidak mau diminta turun, karena upaya untuk memajukan universitas belum tuntas. Baru ketika peletakan dasar guna kemajuan telah selesai dan kader penerus yang mumpuni sudah ada toh akhirnya saya berikan estafeta kepemimpinan kepada mereka. Pimpinan yang gila dalam memajukan amal usaha ini amat jarang, jangan diputus begitu saja.
Berkat kegigihan perintis-perintis inilah, saat ini Muhammadiyah memiliki amal usaha di seluruh Indonesia. Baik itu amal usaha di bidang pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi maupun amal usaha di bidang yang lan.
Bagaimana jika da’i benum ini dihidupkan kembali?
Itu bagus. Hanya perlu reorientasi apa yang dimaksud da’i benum ini untuk era sekarang. Dan yang penting adanya sinergisitas antar majelis dan lembaga serta amal usaha untuk menghidupkan semangat menebarkan pencerahan ini. Bagaimana getaran dari surau Kiai Dahlan itu bisa ditangkap dan ditebar kembali.
Jangan bekerja sendiri-sendiri. Majelis Tabligh bekerja sendiri, Lembaga Dakwah Khusus bekerja sendiri, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah bekerja sendiri, Majelis Pendidikan Tinggi bekerja sendiri dan Majelis dan Lembaga lain bekerja sendiri. Jika dilakukan sendiri-sendiri tentu hasilnya tidak maksimal.
Mereka harus berbicara bersama-sama untuk mencari solusi tanpa harus dikotak-kotakkan adanya Majelis atau Lembaga. Untuk melakukan hal ini, jangan lupa peran lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia harus dimaksimalkan.
Jika ini dilakukan dengan serius, tentu hasilnya akan luar biasa. Karena dana dan sumber daya yang ada di Persyarikatan Muhammadiyah cukup banyak dan bisa diusahakan. Tidak seperti da’i benum masa lalu yang harus merintis dengan tangan kosong dan mencari modal sendiri. Dan ini sebetulnya sudah dikerjakan di beberapa amal usaha Muhammadiyah. Tinggal memantiknya saja agar lebih besar dan meluas.
Dapat dicontohkan?
Misalnya saja di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Peran-peran pencerahan Persyarikatan nampak jelas melalui Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Maumere. Di tengah-tengah mayoritas umat Kristiani itu peran IKIP Muhammadiyah Maumere itu terasakan dan sangat diperhitungkan.
Demikian pula perguruan tinggi Muhammadiyah yang ada di Sorong, Universitas Muhammadiyah Sorong dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sorong. Peran keduanya sangat dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Bahkan Bupati Sorong mengakui besarnya peran STKIP Muhammadiyah Sorong dalam mencerahkan masyarakatnya dengan memberi bantuan lewat APBD Pemda Sorong.
Yang dilakukan perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) lainnya, terutama PTM besar. Juga tak kalah dalam hal kontribusi pada Persyarikatan untuk ikut mencerahkan masyarakat. Tinggal bagaimana upaya ini dikemas menjadi sebuah gerakan nasional yang terintegrasi. Tentu hasilnya akan sangat-sangat luar biasa. (eff)
BIODATA
Abdul Malik Fadjar (lahir di Yogyakarta, Hindia Belanda (kini Indonesia), 22 Februari 1939; umur 77 tahun) adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang menjabat sejak 19 Januari 2015. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong. Ia adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan AmpelMalang dan S2: University of Florida, AS 1981. Pada 19 Januari 2015, ia dipilih Presiden Joko Widodo menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Kariernya: 2015-Sekarang: Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, 2001-2004:Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong. 1998-1999: Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan dan 1983-2000: Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Ia mengawali karier sebagai guru SD di Taliwang, Nusa Tenggara Barat. Ia juga pernah menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Prof Dr HM Din Syamsuddin.