Oleh: Prof Dr Haedar Nashir, MSi
Baru satu hari ditinggal Prof Dr H Abdul Malik Fadjar, terasa ada ruang kosong di negeri ini. Demikian bagi kami di Muhammadiyah. Yakni tokoh yang sepenuh hidupnya dihabiskan menjadi guru di dunia pendidikan sekaligus role-model pendidik bangsa yang bersahaja.
Di pikirannya hanya satu perhatian utama bagaimana terlibat aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan karya nyata, bukan retorika kata.
Prof Malik Fadjar menghabiskan waktu mudanya menjadi guru di Sumbawa dengan segala suka-duka. Kala itu sosok yang lain Ahmad Syafii Maarif juga menjadi guru di Lombok, sama-sama di Nusa Tenggara Barat.
Menjadi guru dalam makna sesungguhnya, sebagai pendidik dalam keadaan serba terbatas. Pengalaman bertumpuk-lumus inilah yang menjadi modal berharga dirinya sebagai pendidik di dunia perguruan tinggi.
Ketika menjadi Menteri itulah banyak terobosan yang dilakukan untuk perbaikan dunia pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama. Prof Malik melakukan reformasi regulasi dan birokrasi, yang menjadikan lembaga pendidikan menjadi lebih mudah bertumbuh-kembang.
Lulusan pondok pesantren dipermudah penyetaraannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pengiriman anak-anak Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri digencarkan.
Pendek kata dia lakukan gebrakan menerobos sangkar besi birokrasi yang selama itu menjadi hantu kemajuan pendidikan Indonesia.
Di Muhammadiyah tidak terbilang jejak emasnya membangun pendidikan yang unggul. UMM salah satu bukti nyata. Di eranya UMM menjadi satu-satunya kampus swasta milik umat Islam yang unggul dan membanggakan, menerobos hegemoni Perguruan Tinggi Negeri.
Setelah purna, perhatiannya tidak pernah luruh untuk memajukan pendidikan. Sering mengajak penulis pergi ke daerah terjauh seperti untuk membenahi lembaga pendidikan yang tertinggal.
Di usia senja jiwa pendidiknya tetap kuat dalam menyikapi kondisi bangsa. Meski sering memberi catatan kritis tentang kehidupan kebangsaan yang dianggapnya bermasalah, Pak Malik selalu menunjukkan sikap elegan yang positif dan konstruktif.
Sikap kritisnya tidak pernah bersifat personal dan apriori, selalu menawarkan solusi dan opsi. Dia tidak suka provokasi. “Ingat lho, ini urusan bangsa yang besar, jangan berjalan di lorong sempit”, berkali-kali beliau berpesan.
Mungkin generasi muda milenial belum banyak yang tahu, kediaman Prof Malik Fadjar itu menjadi salah satu markas para tokoh reformasi yang membuat Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya setelah berkuasa 32 tahun.
Pak Malik itu tokoh besar, tapi bersahaja dan tidak suka menonjolkan diri. Dia tidak gemar publikasi diri. Apalagi berpanggung-ria. Kalau berada di suatu acara, sering duduk di belakang atau menepi. Dia memilih tidak banyak berkata yang besar-besar, lebih banyak dia kerjakan.
“Jangan boros kata”, sering terlontar dari tokoh ini, mengingatkan kami yang muda di Muhammadiyah. Satu dua kali beliau mengeluarkan kata-kata kiasan dengan nada rendah, “Jangan kayak burung merak”. Maksudnya, tidak perlu memamerkan apa yang kita miliki untuk menampakkan hebat.
Meski sikapnya sederhana beliau tegas, tangguh, dan petarung dalam memperjuangkan kemajuan, tapi bijak dan tidak merasa benar sendiri. Apalagi sampai mencerca pihak lain yang berbeda dengan dirinya, paling hanya mengelengkan kepala. “Hidup harus luwes dan luas”, pesannya.
Meski kita kuat pendirian, belajarlah berbagi dan berdialog, jangan memaksakan diri. Cakrawala berpikir dan bertindak juga harus luas melintasi, jangan picik dan merasa paling benar dan bersih sendiri. Kita hidup bersama orang lain.
Selamat jalan Pak Malik nan bersahaja. Engkau suri teladan kami dalam jejak hidup apa adanya tapi penuh makna. Bekerja dalam sunyi untuk negeri yang memberi solusi dan bukti sarat arti.
Tokoh ini sepanjang hayatnya tidak suka berumah di atas fatamorgana. Garis hidupnya ditakdirkan sebagai pendidik bangsa bersahaja, dengan jejak gemerlap nan nyata dan luar biasa.