Pukul 07.39 telponku berdering. Ada pesan dari ustazah. Ia bertanya perihal selawat. Sembako dari pelayat. Yang diterimanya, atas kematian ibunya hari Jumat Pon. Aku sebenarnya kurang paham, mengapa mereka menyebutnya selawat.
Lantaran dalam KBBI, selawat diartikan permohonan kepada Tuhan. Selain itu dimaknai doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya. Namun aku tetap menghargai pertanyaan ustazah.
Pertanyaan pertama berbunyi, “Bolehkah barang selawatan orang yang meninggal itu keluarganya ikut menikmati?
Jawabku boleh. Sebab sunah hukumnya atas para kerabat dan tetangga membawakan makanan pokok kepada keluarga mayit. Berdasarkan hadis Abdullah bin Jakfar. Ia menuturkan, ketika keranda Jakfar datang pada saat dibunuh, Nabi bersabda, “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar. Karena telah datang pada mereka sesuatu yang menyibukkannya.”
Pertanyaan kedua isinya, “Sampaikah pada si mayit kalau barang selawatan diinfakkan atas nama si mayit?
Aku pun menjawab, “Insyaallah sampai pada si mayit. Sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan sekelompok ulama dari pengikut Imam Syafi’i.”
Pertanyaan ketiga ungkapnya, “Si mayit itu punya uang tapi tidak menyuruh menginfakkan. Lalu pihak anak punya keinginan untuk menginfakkan, apakah amalnya itu bisa sampai pada si mayit?”
Tuturku, “Semoga sampai.” Saad bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan bahwa pahala penggunaan sumur ini untuk ibu Saad.”
Pertanyaan keempat ya, “Bolehkah barang selawatan itu dihabiskan semua untuk infak padahal keluarga kami masih membutuhkan?”
Kujawab tidak boleh. Saad bin Abi Waqash sakit pada tahun pembukaan kota Mekkah hingga nyaris mati. Kemudian Rasulullah membesuknya. Saad punya banyak harta dan cuma memiliki seorang anak perempuan. Saad ingin menyedekahkan 2/3 hartanya. Dilarang Rasulullah. Lalu dikurangi 1/2, masih dilarang. Diturunkan 1/3, disilakan. 1/3 itu banyak. Kata Rasulullah, “Meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan meminta-minta kepada manusia.”
Ustazah bilang, “Cukup ini dulu pak. Nanti kalau masih ada yang perlu, saya tanyakan lagi. Terima kasih atas pencerahannya.”
Sejam kemudian ustazah tanya lagi. Menurut Islam barang selawat itu digunakan untuk apa? Maaf saya cerewet.
Aku harus memeras otak. Lantas menasihatkan, “Sebaiknya selawat digunakan bayar hutang si mayit. Jika lebih, dipakai untuk perawatan si mayit. Setelah itu untuk keluarga yang sangat membutuhkan. Sisanya diinfakkan ke masjid atau madrasah, seperti yang umum dilakukan banyak orang.”
Selanjutnya aku berkesimpulan. Ternyata cerewet bertanya sangat berfaedah. Aku menjadi tertantang memecahkan masalah selawat. Otomatis aku harus banyak baca, baca, dan baca. Berikutnya menulis. Sekiranya jawabanku benar, datangnya dari Allah. Sedang bila ada kesalahan, berasal dari diriku sendiri.
Mushlihin, PRM Takerharjo Solokuro Lamongan