Dengan ilmu hidup menjadi mudah,
dengan agama hidup menjadi terarah,
dan dengan seni hidup menjadi indah.
(HA Mukti Ali, 1923 – 2004)
Menurut Abdurrahman (2012), khalifah atau pengganti Rasulullah Saw. yang kedua adalah Abu Hafsh Umar bin Khattab. Ibunda Umar adalah Hantamah binti Hasyim. Beliau mendapat julukan Al–Faruq berdasarkan sabda Nabi : “ Sesungguhnya Allah Swt menjadikan yang hak pada lisan dan “hati” (qalb, prefrontal cortex, otak ruhani, otak di balik tulang dahi, dianugerahkan Allah hanya pada manusia, hewan tidak; fungsinya untuk pengendali nilai; perencanaan masa depan & pengambilan keputusan) Umar. Dia adalah Al-Faruq, dengannya Allah memisahkan antara yang hak dan yang batil”.
Umar dilahirkan pada tahun ketiga belas berdasarkan penanggalan Gajah. Dengan demikian, perbedaan Umar bin Khattab dengan Nabi kurang lebih sebanyak tiga belas tahun.
Sosok Umar dapat dikatakan sebagai laki-laki berkulit putih cenderung kemerahan, dengan postur tubuh tinggi yang seolah-olah sedang menunggang kuda ketika berada di tengah-tengah orang. Rambut kepalanya jarang, beruban, dan gemar menyepuh rambutnya dengan pewarna. Perawakannya besar dengan telapak tangan dan kaki yang lebar dan tebal, tetapi kidal. Umar memiliki tubuh yang kuat, berperangai keras, tetapi sangat mudah dibuat terkesan oleh ayat-ayat Al-Quran. Beliau cerdas, banyak akal, dan berpandangan jauh. Karena kewibawaan dan kedudukannya yang terhormat di mata masyarakat Arab, di masa jahiliah Umar diangkat sebagai duta besar kabilah
Quraisy. Jika terjadi ketegangan antara Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya, Umar selalu diandalkan sebagai juru runding. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa manusia-manusia pilihan di masa jahiliah akan juga menjadi manusia-manusia pilihan di masa Islam.
Berbeda dengan kaum Muslimin yang berhijrah ke Medinah secara sembunyi-sembunyi, Umar justru melakukan perjalanan untuk hijrah ke Medinah secara terang-terangan di siang hari. Ini membuktikan keberanian Umar dan ketidakpeduliannya atas caci maki dan ancaman orang untuk tujuan kebenaran. Berkenaan keyakinan Umar yang sangat kokoh dalam beragama, Nabi menuturkan sebagai berikut : “Suatu saat ketika sedang tertidur, aku bermimpi seolah-olah ditampakkan di hadapanku sekumpulan orang yang mengenakan gamis. Ada yang bergamis sebatas dada dan ada pula yang lebih panjang dari itu. Adapun Umar, ia mengenakan gamis yang sangat panjang”. Para sahabat bertanya, “ Apakah arti mimpi itu, wahai Rasulullah?”.
Beliau menjawab, “Agama”.
Diantara para Sahabat Nabi tampaknya, tidak ada yang lebih bergairah kepada Al-Qur’an dan lebih berpegang teguh kepadanya seperti Umar, yang semasa hidupnya oleh Nabi pernah disebut sebagai seorang yang paling mungkin menjadi utusan Tuhan seandainya Nabi sendiri bukan Rasul Allah pungkasan (Madjid, 1984).
Warisan Intelektual Islam dan Dimulainya Tahun Hijri oleh Umar
Menurut Madjid (1984), Umar adalah bekas salah seorang musuh Nabi yang paling keras dan menjadi Muslim hanya gara-gara suatu kali mendengar ayat-ayat suci dibaca oleh adik perempuannya yang telah lebih dahulu menjadi Muslimah, Dan dalam hidup selanjutnya, Umar dikenal sebagai sahabat Nabi dan pemimpin kaum Muslimin yang sangat dekat dengan kalangan Al-Qurra’ dan Al-Huffadh (para ahli baca dan penghafal Al-Qur’an).
Tampaknya di antara para Sahabat Nabi itu tidak ada yang berpikiran kreatif seperti Umar. Kreativitas itu memberi kesan kuat sekali bahwa Umar, sekalipun beriman teguh, namun tidak dogmatis. Umar adalah seorang beriman yang intelektual, yang dengan intelektualitasnya itu berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan tindakan-tindakan inovatif yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Nabi, bahkan kadang-kadang sepintas lalu tampak seperti tidak sejalan, kalau tidak malah bertentangan, dengan pengertian harfiah Al-Kitab dan Al-Sunnah. Contoh ide inovatif Umar yang tanpa preseden di zaman Nabi ialah yang bersangkutan dengan Kitab Suci sendiri. Umar mengusulkan kepada Abu Bakar, ketika menjabat sebagai Khalifah pertama, untuk membukukan Al-Qur’an yang pada waktu itu masih berupa catatan-catatan dan hafalan pribadi yang tersebar pada para Sahabat Nabi, menjadi sebuah mushaf atau buku berjilid.Mula-mula Abu Bakar menolak ide semacam itu, persis karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya. Tetapi atas desakan Umar yang sangat kuat, disertai alasan-alasan yang tepat, dan setelah dimusyawarahkan dengan Sahabat-sahabat yang lain, usul Umar itu diterima dan dilaksanakan. Zaid bin Tsabit, seorang Sahabat yang terkenal karena keahliannya dalam tulis baca, dan kedekatannya kepada Nabi dalam hal pencatatan wahyu setiap kali turun, ditunjuk untuk memimpin panitia pembukuan Al-Qur’an itu, dan berhasillah ia membuat satu naskah pertama Kitab Suci Islam.
Zaid itu pula yang kelak oleh Utsman bin Affan, sebagai Khalifah ketiga, ditunjuk kembali memimpin pembuatan naskah al-Kitab dengan berpegang kepada naskah peninggalan masa Abu Bakar, untuk disebar ke kota-kota terpenting dunia Islam saat itu. Karena kebijaksanaan Ustman yang dengan tegas memerintahkan kaum Muslimin untuk memusnahkan naskah-naskah pribadi Kitab Suci yang ada dan selanjutnya agar hanya mencontoh naskah-naskah resmi tersebut, umat Islam beruntung memiliki kesatuan dan keutuhan Kitab Suci yang kemurniannya dipelihara dengan kesungguhan yang luar biasa sampai saat ini.
Tidak diragukan lagi bahwa keutuhan Al-Qur’an merupakan warisan intelektual Islam yang terpenting dan paling berharga. Sekalipun mushaf yang ada sekarang secara istilah disebut sebagai “Mushaf menurut penulisan Utsman” (Al-Mushaf ‘ala al-rasm al-Utsmani), tetapi gagasan pembukuannya mula-mula timbul dari pikiran inovatif Umar bin Khattab.
Menurut Haekal (2000), dengan terbentuknya persatuan Arab di bawah naungan Islam, itulah yang mengilhaminya untuk menjadikan hijrah Rasulullah Saw sebagai permulaan kalender Arab. Selama itu yang mereka gunakan kadang tahun Gajah dan kadang peristiwa-peristiwa besar lainnya dalam sejarah peperangan orang-orang Arab. Kalau tahun-tahun itu semua mengacu kepada tahun-tahun jahiliah, Islam sudah menghapus segala yang sebelumnya. Umar berpendapat bahwa hijrah Nabi ke Yasrib itu merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah Islam masa Rasulullah Saw., sebab dengan hijrah inilah permulaan pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan agama-Nya diperkuat.
Persatuan Arab itu justru menjadi kuat karena pilihan yang telah membawa sukses ini, dan lebih sukses lagi karena ini terjadi pada tahun keenam belas Hijri, tatkala tokoh-tokoh Muslimin berangkat membawa kemenangan di daerah-daerah Kisra dan daerah-daerah Kaisar, menyerbu Mada’in dan menerobos terus sampai ke Iwan (Balairung) Agung, membebaskan Baitulmukadas dan membangun Masjidilaqsa di samping Gereja Anastasis. Sesudah Umar membandingkan kalender ini dengan kalender-kalander Persia dan Rumawi, ternyata kalender ini lebih cemerlang; kalender ini telah menerjemahkan suatu peristiwa terbesar dalam sejarah dunia.
Sudah tentu dipilihnya kalender ini merupakan ilham yang sukses. Atas dasar itulah Umar menjalankan kebijakannya dalam menghadapi berbagai macam persoalan negara yang dalam perkembangannya yang berubah-ubah begitu cepat, dengan selalu mencari yang dipandangnya lebih baik dan lebih praktis untuk mencapai tujuan.
Umar diakui, baik oleh para sarjana Muslim sendiri maupun kalangan bukan Muslim karena ide-ide kreatifnya, bahwa ia orang kedua sesudah Nabi Muhammad Saw. sendiri yang menentukan jalannya sejarah Islam (Madjid, 1984).
Agama dan Kesehatan Spiritual
Kata agama berasal dari Bahasa Sanskerta gam yang artinya pergi, seperti halnya Bahasa Inggris go yang artinya juga sama pergi, karena kedua cabang bahasa itu berasal dari pohon bahasa yang sama Proto-Eropa. Kata gam dapat awalan a dan akhiran a, menjadikannya kata benda, sehingga agama adalah “jalan” menuju Tuhan (road to Allah) yang mengantar pemeluknya menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (Shihab, 2006).
Islam adalah sebuah agama yang barangkali paling banyak dikenal dan sekaligus paling sering disalahpahami. Meski mengaku bertuhan dan bernabi yang sama, umat Islam dewasa ini menampakkan banyak wajah yang masing-masing mengklaim sebagai representasi Islam yang paling sah. Orang pun bertanya-tanya : manakah Islam yang sesungguhnya ?
Arti Islam. Pentingnya itu dinamakan Islam, karena menunjukkan hakikat dan esensi agama itu. Arti kata “Islam” adalah “masuk dalam perdamaian”, dan seorang “Muslim” adalah orang yang “membikin perdamaian dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan manusia dan dengan lingkungan alam”. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh kepada kehendak-Nya; damai dengan diri sendiri, antara lain, menjaga kesehatan dirinya; damai dengan manusia tidak hanya berarti meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain; dan damai dengan lingkungan alam tidak membuat kerusakan lingkungan alam. Keempat makna “perdamaian” itu merupakan esensi dari agama Islam. Dengan itu, maka Islam pada asasnya adalah agama perdamaian, dan ajaran pokoknya adalah keesaan Tuhan dan keesaan seantero umat manusia (Ali, 1991).
Jika Islam ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang – egoistik, penuh retorika murahan – ibarat monster, pasti akan menakutkan dan dibenci banyak pihak yang berpikiran jernih, siapa pun mereka, apa pun agamanya. Sebuah monster yang sering berbicara atas nama Tuhan, jelas terlepas dari kawalan syari’ah dalam maknanya yang benar, dalam karya Khaled Abou El Fadl berjudul Speaking in God’s Name, amat penting untuk dibaca, terutama oleh mereka yang sering membajak Tuhan untuk meraih tujuan-tujuan yang sebenarnya bersifat duniawi (Maarif, 2009).
Menurut Shihab, et al., (2000) Al-Qur’an sebagai Kitab Suci terakhir dimaksudkan sebagai petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan. Tetapi juga bagi anggota masyarakat manusia hingga akhir zaman. Kitab ini memuat tema-tema yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti pola hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minaallah), hubungan dengan diri sendiri (hablun minafsihi), hubungan antar sesama manusia (hablun minannas), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun minalalam).
Sebagai Kitab Suci yang menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat kealaman (sciences)
dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi dan etika rekayasa masyarakat (social engineering) dan rekayasa teknik (technical engineering).
Rekayasa masyarakat adalah penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi obyektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan Al-Qur’an. Substansi ajaran Al-Qur’an tidak bermaksud menciptakan masyarakat seragam di seluruh belahan bumi dan sepanjang masa, tetapi memberikan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat tertentu, dan pada gilirannya suasana ketentraman di bawah ridha Tuhan, atau menurut istilah Al-Qur’an terciptanya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Salah satu pejuang bangsa WR Supratman mewanti-wanti bangsa Indonesia lewat lirik lagu Indonesia Raya (1928), Stanza I : “Bangsaku Rakyatku Semuanya, Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya” ; Stanza II : “Marilah kita mendoa Indonesia bahagia, Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya, Semuanya, Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya untuk Indonesia Raya”; dan Stanza III : “Marilah kita berjanji Indonesia abadi, S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya, Majulah negrinya, Majulah Pandunya untuk Indonesia Raya”. Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Schopenhauer, 1788-1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kata spiritual, berasal dari Bahasa Yunani spiritus yang artinya menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Orang yang beragama Islam, apapun kehidupan maupun strata sosial-ekonominya, hidupnya akan penuh makna (meaningful) jika berusaha dengan sungguh-sungguh mengejawantahkan nilai-nilai (values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci dan yang dicontohkan oleh Nabi implementasinya. Dengan demikan, orang Islam yang sehat spiritual , jika aqidah, syariah dan akhlaknya baik dan benar ! Hidupnya bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia, contohnya Umar jelas sehat spiritual, maka mampu mengejawantahkan kepemimpinan spiritual. Oleh karena itu, kepemimpinannya pun dihargai Tuhan maupun manusia. Bersambung
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD