Tak Salah Hijrah

Tak Salah Hijrah

Tak Salah Hijrah Foto Dok Tirai

Fenomena beramai-ramai orang kembali kepada agama merupakan hal positif. Tidak instan, agama perlu dipelajari mendalam. Tren hijrah jangan berhenti di penampilan, namun harus mewujud dalam akhlak keseharian. Hijrah adalah proses tak berkesudahan, tidak merasa diri suci dari kesalahan.

Sedang terjadi euforia beragama. Ruang-ruang publik memfasilitasi kesemarakan menjalankan ritual agama. Fenomena orang berduyun-duyun kembali ke agama pernah diulas Tempo edisi 9 Desember 1978. Orang seperti terkejut ketika diperkenalkan kembali dengan agama yang belum sempurna diterimanya. Abdurrahman Wahid melihat fenomena dekade 70-an itu sebagai jasa kader Muslim yang pertama masuk bangku sekolah pada 1966-1969 pasca-kemerdekaan Indonesia. Sampai muncul guyonan saat itu, “banteng mulai sembahyang” untuk menggambarkan abangan yang tertarik pada agama.

Tren serupa kembali menggejala, yang dikenal dengan sebutan hijrah. Hijrah dimaknai sebagai perubahan orientasi kehidupan keagamaan. Biasanya diikuti dengan perubahan secara ekstrem dalam hal penampilan fisik dan perilaku. Hal ini bisa kita saksikan dari banyak wajah pesohor di layar kaca. Mereka yang sebelumnya berkostum panggung dengan pakaian minim dan bermake-up tebal di berbagai program acara televisi, kini berpenampilan berbeda. Berpeci dan berbaju koko bagi laki-laki, berhijab dan menutup rapat aurat bagi perempuan. Kerap hadir di berbagai forum pengajian.

Beberapa di antara mereka sampai meninggalkan dunianya bermain sinetron secara total. Mereka kini memilih berbisnis pakaian syar’i, hijab, kuliner, hingga produk oleh-oleh. Ada juga musisi yang setelah berhijrah, memilih meninggalkan dunia musik. Mereka menyakini bahwa bermusik adalah perilaku haram yang tidak sesuai dengan syariat. Mereka pun mantap berhijrah meninggalkan gemerlap duniawi. Ada di antara pesohor yang kini beralih menjadi penceramah yang kerap tampil mengisi berbagai forum pengajian.

Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, Pradana Boy ZTF menyatakan bahwa leluasanya ekspose identitas dan simbol keagamaan di wilayah publik ikut memengaruhi posisi agama dalam kehidupan masyarakat. Agama yang pernah diramalkan para sosiolog akan mengalami peminggiran di era modern, ternyata justru memainkan peran yang semakin penting. Tempo menyebutnya, “Ini adalah zaman, seperti sering dikatakan, ketika orang kecewa kepada harapannya sendiri terhadap modernisasi dan buahnya.”

“Kondisi ini diperkuat dengan situasi ketidakpastian politik, krisis global, dan sejenisnya, yang menjadikan masyarakat semakin yakin bahwa agama adalah jalan paling penting untuk mengatasi kondisi ini,” tutur Boy. Fakta ini menunjukkan bahwa orang membutuhkan pegangan di tengah suasana ketidakmenentuan masa depan. Orang sedang berusaha menemukan ketenangan hidup setelah mengalami suatu fase ekstase keduniaan. “Ada kasus di mana para sufi merambah jalan spiritual setelah mereka lelah dengan ekstase duniawi.”

Fenomena hijrah di antaranya didorong oleh kesadaran individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Peningkatan ghirah keagamaan disebabkan oleh salah satunya karena terjadi peningkatan kemakmuran, yang mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan lainnya dalam rangka mencari kebahagiaan. Terutama di kalangan kelas menengah atas dan para pesohor yang akhir-akhir ini banyak kembali ke agama. Mereka telah memperoleh popularitas, kemewahan, kekayaan, kenyamanan, namun ekstase keduniaan itu tidak membawa ketenangan dalam hidup. Perasaan ada sesuatu yang kurang itu mendorong mereka mencari alternatif sandaran.

Kesemarakan beragama ini menjadi hal positif yang perlu disyukuri, namun jangan sampai berhenti di tataran artificial yang mudah dikapitalisasi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Dalam kehidupan masyarakat modern yang penuh kesibukan, mereka ingin mendapatkan panduan agama instan. Sikap ini, menurut Amin Abdullah, menggambarkan psikologi orang yang ingin belajar agama secara terburuburu dan tidak mendalam. Media daring, ustaz seleb, dan ceramah online menjadi pilihan dan rujukan mereka yang hijrah.

Belajar agama secara instan dan tidak mendalam, dapat membawa petaka. Muncul misalnya pengingkaran pada ilmu pengetahuan dan teknologi hingga menjadi anti terhadap sesuatu yang dianggap tidak islami. Beberapa waktu yang lalu misalnya sempat heboh para penganut paham bumi datar, karena tafsir yang keliru terhadap Al-Ghasiyah: 20. Pada tahap ekstem sampai ada yang tidak mau mengikuti tatanan negara yang dianggap tidak islami.

Pencarian Jalan Tuhan

Pelaku hijrah yang sedang mencari makna hidup, seharusnya terus dibimbing untuk memahami agama secara mendalam, yang mencapai substansi. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar mengingatkan bahwa proses pencarian jalan Tuhan, bergerak dinamis dan tidak pernah berhenti (Al-Ankabut: 69). Nabi Ibrahim menjadi contoh dalam hal proses pencarian kebenaran (Al-An’am: 75-78). Sehingga agama menjadi nilai yang hidup dalam keseharian, tidak berhenti sebagai kulit identitas.

Peter L Berger menyebut bahwa agama seharusnya menjadi the sacred canopy. Menurut Wakil Rektor UMM Syamsul Arifin, fungsi kanopi agama adalah, pertama, fungsi estetika. Agama berfungsi memperindah. Perilaku umat beragama harusnya selalu indah, berakhlak karimah. Kedua, fungsi protektif. Agama berfungsi melindungi dan memberi kenyamanan serta menjadi perekat sosial. Almuslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi (HR Bukhari).

Dalam kenyataannya, ada yang ketika memilih berhijrah justru menjadi ekslusif, menutup diri secara sosial dan melupakan realitas. Ia membangun tembok dengan orangorang yang dianggap masih berkalang dosa. Muhammad Iqbal menyebut bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang Nabi, karena ketika isra’ mi’raj justru kembali ke bumi yang penuh persoalan. Nabi tidak memilih berasyik masyuk dengan Tuhan. Padahal kebahagiaan tertinggi seorang pecinta adalah bertemu dengan Tuhan yang dicintainya. Nabi justru kembali ke bumi karena memikirkan umatnya, tidak hanya berpikir keshalihan sendiri. Di antara ciri kenabian adalah menebarkan rahmat untuk semesta.

Kenabian berhenti di Nabi Muhammad, tetapi fungsi kenabian harus terus dirawat. Di antara tanda kenabian adalah membaca teks kitab suci dan menggunakan teks untuk membaca tanda-tanda zaman. Itulah yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah yang kini sudah berusia lebih dari seabad dan terus berkiprah untuk kemanusiaan. Dengan beragam tugas organisasi yang menguras energi, Muhammadiyah perlu juga memikirkan nasib warganya supaya tidak mengalami situasi hampa dan memilih paket agama yang instan.

Kita harus mampu menjadikan agama sebagai risalah yang diturunkan untuk mencapai kehidupan yang baik. Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Wakil Ketua Majelis Tarjih, Hamim Ilyas menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah teladan yang baik bagi umat Islam (Al-Ahzab: 21). Sejatinya meneladani beliau adalah dengan menjadikan diri kita sebagai teladan di lingkungan masingmasing. Peristiwa maulid Nabi perlu menjadi momentum meneladani kembali kehidupan Nabi, yang berhijrah ke Madinah untuk membangun peradaban manusia. (ribas)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 23 tahun 2019

Exit mobile version