JAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Menjadi guru besar adalah awal saya belajar,” ucap Abdul Mu’ti saat penyampaian orasi ilmiah atas pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Acara tersebut dihadiri oleh Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim, dan Mantan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin.
“Jujur, pengukuhan Guru Besar ini begitu emosional bagi saya untuk berdiri dan menyampaikan pidato di sini. Ini sesuatu yang begitu emosional bagi hidup saya. Sebelumnya saya begitu gugup dan emosional ketika diminta bapak untuk melamar calon istri pertama saya dan ketika mengucap ijab sah bahwa saya adalah seorang suami yang harus cinta dan setia kepada istri,” ujarnya.
Dalam orasi ilmiah dengan judul “Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembaruan” Sekretaris Umum PP Muhammadiyah tersebut menyampaikan, pluralitas merupakan realitas yang terbentang di alam semesta. Manusia berbeda-beda secara basyariah (fisik), syuubiyah (suku bangsa), dan diniyyah (agama) karena sebab-sebab alamiyah, ilmiah, dan amaliyah. Pluralitas atau kemajemukan memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan tanawwu, ikhtilaf, taaddud (Arab), diversity dan plurality (Inggris).
Secara umum masyarakat Indonesia hidup dalam nuansa yang rukun dan damai. Masyarakat yang berbeda-beda tersebut hidup secara berdampingan dengan rukun dan damai. “Kerukunan adalah DNA bangsa Indonesia. Di berbagai forum Internasional, Indonesia adalah model sekaligus champion dalam hal mengelola keragaman budaya dan agama,” ungkapnya.
Berdasarkan penelitian Balitbang Kementerian Agama menyebutkan, indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia masih terbilang tinggi. Akan tetapi berdasarkan penelitian PPIM Jakarta menunjukkan bahwa sikap dan perilaku intoleran siswa SLTA terus mengalami peningkatan. Sikap intoleran disebabkan antara lain, materi Pendidikan Agama Islam, pengaruh Islamisme guru agama, kinerja pemerintah, dan media internet. “Intoleransi tumbuh di tengah masyarakat yang kecewa terhadap kinerja pemerintah seperti, keadilan sosial dan penegakan hukum,” paparnya.
Ia menambahkan, untuk menciptakan kehidupan yang harmoni dan masyarakat yang rukun sebagaimana tertulis dalam PP No. 55 tahun 2007, diperlukan sebuah model Pendidikan Agama Islam yang pluralis. Nilai ini dikembangkan atas lima point dalam Al-Qur’an yaitu, Ketuhanan, Kebebasan, Keterbukaan, Kebersamaan, dan Kerjasama.
“Islam tidak mengajarkan rivalitas dan permusuhan antar manusia, walaupun mereka berbeda agama dan keyakinan.”
Pendidikan Agama Islam Pluralistis diharapkan dapat membentuk murid yang berjiwa pluralis dan inklusif, yaitu mereka yang memahami ajaran dan nilai-nilai Islam secara mendalam. Taat beribadah, berakhlak mulia, bersikap toleran. Menghormati, menerima, akomodasi, dan bekerjasama dengan pemeluk agama lain. “Murid yang berjiwa pluralis diharapkan dapat menjadi pelopor dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa yang rukun dan damai di tengah pluralitas budaya, suku, dan agama, berdasarkan ajaran dan nilai-nilai pluralism dalam Islam,” tuturnya. (diko)