Agus Edy Santosa: Bermula dan Berakhir di Muhammadiyah

Agus Edy Santosa: Bermula dan Berakhir di Muhammadiyah

Agus Edy Santosa: Bermula dan Berakhir di Muhammadiyah

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

JIKA pada tahun 1808-1809 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Williem Daendels (1762-1818) “membangun” Java Great Post Road Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 km, maka pada tahun 1978 seorang laki-laki muda belia menyusuri jalan itu dari arah Panarukan menuju Anyer (Banten). Di Banten itu Si Laki-Laki Muda Belia itu banyak melakukan advokasi untuk rakyat Badui, dan bolak-balik Banten-Jakarta, kemudian menyeburkan diri dan banyak mangkal di bantaran kali Ciliwung, Jakarta. Di tempat terakhir inilah dia mangkal, tinggal, dan meninggal serta dimakamkan: empat bulan setelah mendirikan Tji Liwoeng Coffe (akhir 2019). Memang dari Panarukan (1978), sebuah kota kecamatan Panarukan, di Jawa Timur, tempat kelahirannya, dia mampir di Yogyakarta selama hampir empat tahun memenuhi amanat orang tuanya untuk dididik menjadi mubaligh Muhammadiyah di FIAD (Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah) Muhammadiyah, Yogyakarta.

FIAD yang semula bernama Akademi Tabligh Muhammadiyah (1958) memiliki misi: “Mencetak mubaligh Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar”. Sebagai mahasiswa FIAD maka setiap bulan dan liburan semester dia dikirim ke berbagai daerah untuk praktik menjadi mubaligh Muhammadiyah. Si Muda belia, mubaligh dan dai muda berkacamata bulat yang rajin berkeliling ke daerah-daerah dan pelosok desa di Jawa itulah teman kita yang bernama Agus Edy Santoso ini! Walhasil, ibarat shalat yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam, Agus Edy Santoso sebenarnya bermula dari Muhammadiyah dan berakhir di Muhammadiyah pula: bermula dari Panarukan, FIAD (1978) dan berakhir di LAZISMU (Lembaga amil Zakat, Infak dan Shadaqah) Muhammadiyah (2020). Bayangkan, siapa yang menyangka Agus Edy Santoso yang pemikirannya agak liberal dan mendahului zaman itu pada sejatinya adalah mubaligh muda Muhammadiyah?

Agus Edy Santoso yang kelak di kemudian hari sering dipanggil dengan Agus Lenon (karena selalu mengenakan kaca mata bulat ala John Lenon) atau Agus Misbach (karena menjadi pengagum Haji Misbach, seorang aktifis Islam di Solo yang kemudian lebih dikenal sebagai tokoh komunis yang sangat radikal yang dibuang Belanda ke Digoel itu) adalah mubaligh muda Muhammadiyah. Jika pengertian mubaligh atau da’i itu adalah dan hanyalah orang yang pekerjaannya ceramah agama atau khutbah secara lisan (da’wah bi lisan) memang Agus sepertinya berhenti sebagai mubaligh. Pasalnya, Agus hampir tidak pernah lagi menjadi mubaligh atau dai, apalagi khatib shalat Jumat seperti ketika masih di FIAD. Agus sudah mulai menggeser pengertian dan paradigma dakwah dari dakwah lisan secara verbal ke dakwah aksi. Tapi bila berdakwah diberi pengertian secara luas Agus tetaplah tidak berubah: berdakwah dengan aksi (da’wah bil hal). Bukankah ajakan dengan aksi itu lebih tajam (afshah) dari pada ajakan dengan lisan (lisanu l-hal afshahu min lisani l-maqal)?

Agus adalah anak lelaki Pak M. Budi Santoso, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Saya sempat beberapa kali berkunjung ke rumah keluarga Agus di Panarukan, apalagi jika kebetulan ada agenda ke daerah Tapal Kuda. Kebetulan rumah keluarga itu berada persis di pinggir jalan raya kota Panarukan, di seberang Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah yang cukup tua usianya yang pendiriannya dulu ikut dirintisnya. Sebagai seorang wiraswasta, rumah kediaman keluarga Bapak M. Budi Santoso itu sekaligus dijadikan took, yang untuk ukuran kota kecil tingkat kecamatan, lumayan besar yang menjual alat-alat dan perlengkapan sekolah.

Kuliah di IAIN: Pengagum tokoh kiri

Di samping menjadi mubaligh muda di FIAD, Agus bersama saya merangkap kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta angkatan 1980. Kebetulan waktu itu kami sedang musim senang-senangnya sekolah sampai rangkap-rangkap. Di Fakultas Ushuluddin itulah kami bertemu Taufik Rahzen yang merangkap kuliah di Teknik Kimia, UGM. Di Fakultas Syariah ada Rizal Panggabean dan Wajid Fauzi (sekarang Dubes RI di Damaskus) yang merangkap kuliah di HI UGM. Namanya juga sedang senang-senangnya sekolah, Fakultas Ushuluddin pun kamu masuki juga! Ilmu Ushuluddin yang sebenarnya artinya kira-kira adalah “ilmu tentang pokok-pokok agama”, oleh Agus suka di-pelesetkan dengan menerjemahkannya sebagai “ilmu tentang seluk beluk Tuhan”, meniru kalimat yang persis sama seperti yang digunakan oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog. Agus malah menempelkan tulisan yang berbunyi “Ahli ilmu tentang Seluk Beluk Tuhan” di pintu depan kamar kos-nya di daerah Ambarukmo, Yogyakarta. 

Tentang Tan Malaka, Agus memang sejak lama menjadi pengagum tokoh-tokoh kiri. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja. Hampir semua buku, pamflet dan tulisan tokoh-tokoh kiri dia punya. Semua buku-buku kiri itu dia kasih sampul untuk kamuflase agar tidak diketahui orang. Maklum itu tahun 1980-an alih-alih mengoleksi buku-buku kiri, membawa copi novel Pramoedya Ananta Toer saja bisa menjadi perkara serius kalau sampai tercium aparat keamanan. Dia juga banyak mengoleksi tulisan-tulisan Haji Misbach dan KH. Achmad Dasoeki Siradj, dua orang tokoh Islam Solo yang dibuang ke Digoel oleh Penjajah Belanda karena ketokohannya dalam aksi-aksi dan gerakan-gerakan kiri radikal revolusionernya. Keduanya adalah kyai haji yang menjadi pemimpin PKI Solo. Sementara Haji Misbach meninggal di pembuangan di Digoel atau Merauke, KH Achmad Dasuki Siradj berhasil lolos dari Digoel, bisa pulang kembali ke Solo, dan malah kemudian terpilih menjadi anggota Konstituante dalam Pemilu 1955 mewakili PKI daerah pemilihan (Dapil) Solo, Jawa Tengah. Tak heran jika Agus senang bukan kepalang ketika mendapatkan buku Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 yang menjadikan Haji Misbach sebagai obyek kajiannya. Mungkin karena simpatinya yang tinggi pada orang-orang kiri itu sampai anaknya laki-laki diberi nama Castro! Lengkapnya Muhammad Castro Santoso yang mirip nama mendiang Fidel Castro, Presiden Cuba.

Di Fakultas Ushuluddin itulah saya berteman dengan Agus sebagai mahasiswa baru angkatan 1980 tingkat Propodeuse (demikian dulu mahasiswa tingkat pertama disebut). Pada tahun itu IAIN belum menggunakan sistem kredit semester (SKS), melainkan menjalankan sistem kenaikan tingkat yang sangat jadoel itu (…hehehe...). Kebetulan saya dan Agus mempunyai latar belakang keluarga yang sama: bapak saya ketua PDM Muhammadiyah, Karanganyar, Jawa Tengah; Bapaknya Agus Ketua PCM Muhammadiyah, Panarukan. Bedanya adalah Agus, sebagai anak pantai, sejak kecil sudah biasa makan ikan; sementara saya orang Jawa pedalaman jangankan makan ikan, kenal ikan laut pun tidak! Hanya ikan asin alias gereh yang saya tahu. Kami orang pedalaman hanya kenal ikan wader yang sekecil kelingking itu, ikan lele, dan udang sungai yang juga kecil-kecil itu saja. Tak heran jika sebagai pemakan ikan yang berprotein tinggi sejak usia yang sangat dini itu, Agus jauh lebih cerdas, berani dan pintar daripada saya yang sebagaimana lazimnya orang Jawa pedalaman dari kecil makannya tahu, tempe dan telur satu buah dibagi anak bertujuh! Jauh dari kebutuhan protein yang diperlukan untuk menopang kesehatan dan kecerdasan. 

Agus memang orangnya cerdas dan agak lain: setiap kuliah tidak pernah tidak mendebat dosen. Beberapa dosen melayani perdebatannya, beberapa yang lain marah dan emosi setengah mati karena merasa ditantang dan dipojokkan oleh mahasiswanya yang masih bau kencur itu. Para mahasiswa peserta kuliah yang cukup besar (120-an mahasiswa/i) juga terbelah menjadi dua: banyak yang jengkel dan geregetan dengan Agus karena kengeyelan-nya mendebat dosen dianggap sebagai selalu mengganggu jalannya kuliah dan menyita waktu; tapi banyak juga juga mendukungnya agar terus bersemangat dalam mendebat setiap dosen, sekurang-kurangnya untuk tujuan hiburan segar di tengah kebosanan mendengarkan kuliah yang monolog itu. Tapi Agus jalan terus dengan kebiasaannya mendebat dosen itu! Walhasil, nama Agus menjadi beken di seantero kampus karena menjadi pembicaraan di mana-mana, bahkan di kalangan dosen! Jangankan di kampus, Pakde saya yang veteran Masyumi Jawa Timur, almarhum Chamim Thohari, yang baru dikenalnya ketika Agus main ke desa saya di Karanganyar, juga dipancing berdebat habis-habisan tentang Masyumi. Bayangkan sesama tamu berdebat di depan tuan rumah.

Agus memang pribadi yang hangat dan sangat rajin bersilaturahim, termasuk ke keluarga saya, hatta saya tidak sedang di rumah sekalipun. Agus mengenal dengan baik dan akrab dengan semua tujuh saudara saya. Sampai menjelang akhir hayat bapak ibu saya, Agus masih suka mengunjunginya, apalagi kalau sedang beraktivitas menggerakkan aksi-aksi di daerah Solo dan sekitarnya. Biasanya kalau Agus datang ke rumah di Karanganyar dan kemudian akan pergi kembali, Ibu saya selalu membekalinya dengan membuatkan nasi arem-arem untuk bekal Agus di perjalanan.

Masih sebagai mahasiswa tingkat pertama, atau awal tingkat kedua, Agus sudah mulai menulis opini. Salah satu tulisannya yang berjudul “Kesalahpahaman Kaum Agamawan terhadap Teori Positivisme Auguste Comte” sempat bikin heboh dan menjadi polemik panjang yang berlangsung berminggu-minggu di harian Kedaulatan Rakyat. Tak ayal Agus dipanggil oleh Dekan Fakultas Ushuluddin, dan di-ultimatum untuk tidak lagi menulis artikel kontroversial yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat! Dasar Agus, dia nyengir saja dengan teguran itu. Bacaannnya yang luas telah menjadikannya kaya sekali akan ide untuk menulis dan aktif berbicara dalam fora diskusi yang di awal 1980-an itu lagi marak-maraknya di Yogyakarta. Agus sejak mahasiswa tingkat awal sudah melahap tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Haji Misbach, KH Achmad Dasuki Siradj, dan tokoh-tokoh kiri lainnya meskipun hanya dalam bentuk copy atau stensilan. Agus juga sudah akrab dengan nama-nama ilmuwan seperti Rudolf Mrazek, Harry A. Poeze, WF. Wertheim, Anton Lukas, dan lain-lainnya. Agus sangat rakus dengan bacaan buku-buku terpilih. Saya rasa dia mahasiswa dengan  koleksi perpustakaan pribadi terbanyak yang pernah saya lihat.

Dia juga sering membagikan buku-buku langka dan terlarang dalam bentuk stensilan atau kopian kepada teman-teman yang dia rasa suka membaca. Tentu dengan ganti ongkos cetak seperlunya. Bahkan dia pernah membagi-bagikan buku kopi Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Politik Prof. Deliar Noer di IKIP Jakarta yang tidak jadi dibacakan dan juga buku tipis karangan W.F. Wertheim yang berjudul, kalau tidak salah, “Paralelisme Yang Mencolok: Kebijakan Kolonialisme dan Neokolonialisme terhadap Islam”. Saya agak sedikit lupa apa judul persisnya tulisan itu. Pokoknya asal buku terlarang, Agus punya! Keluasan bacaan itu yang membuat Agus yang sekolahnya jurusan agama bisa bertukar pikiran secara intensif dan ekstensif dengan para aktifis mahasiswa dan para dosen dengan latar belakang keilmuan apapun dan universitas manapun.

Masih dalam tingkat itu juga Agus sudah biasa bertamu ke rumah para ilmuwan kelas satu di Yogyakarta terutama yang baru kembali dari studinya di luar negeri dengan gelar doktor (Ph.D)-nya yang waktu itu masih sangat langka dan istimewa. Di antara beberapa doktor baru tersebut, almarhum Dr. Kuntowijoyo lah yang pemikirannya paling disenangi dan banyak oleh Agus dan karena itu beliau banyak “diganggu” dengan kedatangannya bertamu. Sebagai intelektual muda dengan bakat yang menjanjikan, apalagi tingkat keberanian dan karakter percaya dirinya yang menyala-nyala ala orang Madura Panarukan yang mengalir dalam jiwanya, Agus juga mulai tampil sebagai aktivis mahasiswa.

Sebagai mahasiswa tingkat propoedeuse Agus mengajak saya mengikuti Maperca HMI dan kemudian pengkaderan Basic Training (Batra). Seperti biasanya anak orang Muhammadiyah waktu itu, Agus lebih tertarik memasuki HMI. Akhirnya, kami mengikuti pelatihan kader HMI tersebut. Tapi oleh karena tidak utuh mengikuti Batra sampai selesai, saya memang lulus Batra dan sempat mendapatkan sertifikat training dengan predikat “Lulus dengan Terpaksa”, suatu tingkat kelulusan yang oleh Agus dijadikannya sebagai materi ledekan kepada saya sepanjang hidupnya. Agus terus berkecimpung di HMI walau sering berada di luar struktur kepengurusan, dan saya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tingkat Cabang. Agus sempat menjadi redaksi majalah berkala HMI Korkom IAIN Sunan Kalidjaga (yang saya juga lupa apa nama persisnya karena kayaknya cuma terbit dua atau tiga kali saja: kala-kala terbit kala-kala tidak). Sebagai redaksi Majalah Himpunan tersebut saya bersama Agus menemui Dr. Arif Budiman di Univeristas Satya Wacana, Salatiga, untuk sebuah wawancara. Saya kaget (tidak sampai setengah mati) menyaksikan Agus sudah sangat akrab dengan Arif Budiman. Anak ini memang luar biasa pede-nya dan memiliki talenta mudah berkenalan dan bersilaturahim dengan kalangan yang sangat luas dan majemuk yang lintas umur/generasi, golongan, ideologi, dan agama/aliran.

Melanjutkan pengembaraan ke Jakarta

Saya selesai sarjana muda Fakultas Ushuluddin lebih dulu dari pada Agus. Membaca skripsi sarjana muda saya yang berjudul Magi dalam Agama Primitif, Agus yang kadang usil itu ngakak menertawakan skripsi saya itu. Apa relevansi dan signifikansi teoritis dan praktis dari topik skripsi seperti itu untuk masa sekarang? Saya hanya bisa nyengir saja. Yang penting saya sudah lulus sarjana muda lebih cepat dari dia dan kemudian masuk tingkat doktoral memilih jurusan Ilmu Perbandingan Agama di bawah asuhan langsung Prof. Dr. Mukti Ali yang mantan Menteri Agama dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu. Menjadi mahasiswa Prof Mukti Ali pastilah menjadi kebanggaan tersendiri bagi para mahasiswa IAIN waktu itu. Agus suka curi-curi menanyakan kepada saya bagaimana kuliah Prof Mukti Ali itu. Rupanya dia penasaran sekali. Bagaimana mungkin para mahasiswa IAIN tidak dibikin penasaran, lha wong Prof Mukti Ali itu mengajar kami bisa tiga atau empat kali setiap pekan  sepanjang satu semester. Padahal kami kuliah sepanjang empat semester yang diasuh langsung oleh beliau: nama mata kuliahnya Ilmu Perbandingan Agama 1, 2, 3, dan 4.

Saya tidak tahu pasti waktu itu apakah dia sempat lulus sarjana muda dalam Ilmu Ushuluddin ataukah tidak. Saya rasa bagi mahasiswa yang sepintar Agus lulus atau tidak lulus juga tidak penting-penting amat. Kalau toh lulus, saya juga lupa apa judul skripsi sarjana muda dia waktu itu. Suatu ketika setelah beberapa lama tidak bertemu saya mencoba melihat kost-nya di Ambarukma yang ternyata sudah berganti penghuni: Pendekar dari Panarukan itu sudah raib entah kemana. Konon katanya dia pulang ke kampungnya di Jawa Timur di daerah Tapal Kuda sana. Tapi konon juga kabarnya dia pergi ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Benar atau salah, wallahu a’lam.

Tidak lama berselang kemudian saya mendengar Agus masuk PB HMI di bawah ketua umum Harry Azhar Azis. Tentu masuknya Agus ke PB HMI menimbulkan sedikit kontroversi di sebagian senior HMI Yogyakarta. Pasalnya, Agus alih-alih pernah berpengalaman menjadi Ketua Cabang, menjadi pengurus Cabang pun kayaknya tiada pernah. Bagaimana bisa masuk jajaran  pengurus PB HMI? Tapi dasar anak yang punya talenta tinggi dalam berkomunikasi dan menjalin relasi sosial-politik yang sangat luas, Agus nyatanya benar-benar menjadi PB HMI. Bagi seorang dengan talenta aktivis seba bisa seperti Agus tidak penting apa jabatannya dalam organisasi: di manapun dan apapun posisinya akan bisa diberdayakannya. Ketika bermain ke Jakarta saya diajak menginap di PB HMI di jalan Diponegoro, di kawasan elite Menteng itu! Dia  memperkenalkan saya kepada Bang Harry Azhar Azis, Yamin Tawari, Iqbal Santoso, dan lain-lainnya sebagi teman pengurus HMI Cabang Yogya. Padahal saya tidak pernah menjabat apapun di sana! Saya jadi malu hati setengah mati, tapi Agus cuek saja sambil nyengir dan mengedipkan mata!

Saya melihat peran-peran Agus cukup menonjol di PB HMI waktu itu. Sebagai aktifis yang mengambil posisi anti kebijakan Asas Tunggal, Agus dikejar-kejar intel dan harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lainnya. Keberadaannya di dalam struktur PB HMI itu benar-benar menjadi momentum bagi Agus untuk berinteraksi secara intensif dengan bukan hanya tokoh-tokoh pergerakan Islam papan atas, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan nasional kelas wahid, dan para aktivis lainnya secara lintas ideologi dan golongan. (Beragamnya latar belakang suku, agama dan ideologi dari sahabat-sahabatnya yang menungguinya dengan setia ketika sakit sampai wafatnya, dan mengantarkannya ketika pemakaman, serta juga tulisan-tulisan yang sempat dihimpun dalam beberapa buku kenangan, menggambarkan dengan sangat baik luasnya lintasan pergaulan dan pertemanan Agus).

Dengan bakat dan kesenangannya bersilaturahim yang luar biasa itulah Agus makin mengokohkan dirinya di kalangan para aktifis. Saya tidak menangkap ada ambisi politik kekuasaan dalam dirinya. Bersilaturahim dengan politisi, pejabat, dan tokoh pergerakan memang dia lakukan secara intensif dan ekstensif, tetapi tidak untuk jabatan. Posisi itu tetap kokoh dipertahankan, bukan hanya selama Orde Baru, bahkan sampai setelah masa reformasi sekalipun! Saya rasa testimoni Bang Hariman Siregar di samping pusara almarhum pada saat pemakamannya dengan sangat bagus sekali merefleksikan pribadi dan karakter Agus sebagai aktifis sejati! Maka bersama teman-temannya yang sangat luas itu ia mendirikan pusat studi Proklamasi, KIPP, Penerbit Teplok, Kontras, dan sederet lagi Lembaga-lembaga lainnya yang saya tidak bisa menyebutkan semuanya di sini satu persatu. Dia bergaul rapat dengan hampir semua elemen bangsa, terutama aktifis, sehingga hampir semuanya merasakan kedekatannya dengan dirinya tanpa kecuali. Dia dekat dengan Bang Adnan Buyung, Munir, Mulyana W. Kusuma, Hariman Siregar, Fanny Habibie, Amir Daulay, Nuku Selaiman, Wiji Thukul, dan sederet nama lagi, sebagaimana juga dengan Cak Nur, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan lain-lainnya.

Dia berhasil meyakinkan Cak Nur untuk menerbitkan buku kumpulan tulisannya Islam, Kemoderan dan Keindonesia dan satu lagi: Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan yang dalam hal buku yang terakhir ini entah bagaimana caranya dan gigihnya melacaknya dan mendapatkannya karena merupakan tulisan-tulisan lama sekali dari Cak Nur. Agus memang sangat berobsesi tokoh-tokoh Islam itu berbicara tentang buruh, tani dan nelayan. Dan Cak Nur dalam bukunya yang tersebut terakhir itu menulis tentang topik itu, meski hanya beberapa judul. Mungkin saking dekatnya, ketika Agus menikah dengan Tati Krisnawaty di Krawang, Cak Nur datang dalam acara akad nikah dan bersedia memberikan Nasihat Perkawinan secara tertulis dalam bentuk makalah. Kata Cak Nur waktu itu “Baru sekali ini seumur-umur saya diminta memberikan  nasehat perkawinan secara tertulis dalam bentuk sebuah makalah. Ini seminar ataukah walimatu l-ursy!?” Tentu ratusan undangan yang terdiri dari para aktifis pergerakan lintas ideologi dan golongan itu menjadi ger-geran. Cak Nur pun, persis seperti seorang pemakalah dalam suatu seminar, membacakan “keynote speech”-nya di walimah l-ursy yang istimewa itu. (Saya masih menyimpan makalah tersebut). Oh ya, begitu fenomenalnya pernikahan Agus tak heran kalau Mas Adi sasono, yang juga hadir ke Krawang waktu itu, menamakan pernikahan Agus sebagai Pernikahan Akbar dan menuliskannya dalam sebuah tulisan berjudul Perkawinan Akbar di rubrik Resonansi harian Republika! Agus memang lumayan akbar!

Kedekatan mereka itu pula mungkin yang menjadikan Agus berhasil meyakinkan Cak Nur dan Mas Adi Sasono (yang nota bene juga keponakan Roem) untuk diijinkan menerbitkan surat-menyurat antara Mr. Muhammad Roem dan Cak Nur. Surat-menyurat yang dipicu oleh pernyataan Pak Amin Rais tentang “Tidak Ada Negara Islam” di majalah Panji Masyarakat yang beredar luas dari satu tangan ke tangan yang lain, itu dikumpulkan dalam bentuk buku Tidak Ada Negara Islam yang terkenal itu. Buku itu atas prakarsa Agus juga dibedah dalam suatu acara yang sangat meriah di gedung RNI tepat pada hari Kelahiran Partai Islam Masyumi, 18 November. Ini lagi-lagi akal cerdik-nya Agus! Hasil bedah buku itu digabungkan dengan buku yang sebelumnya dan terbitlah edisi revisi yang lebih lengkap.

Mungkin juga saking perhatiannya, Cak Nur beberapa lama berselang sempat berpesan kepada saya tentang Agus: “Agus itu tidak bisa terus begitu. Dia juga harus memikirkan dirinya sendiri, apalagi sudah mulai berkeluarga”. Mungkin yang dimaksudkan Cak Nur adalah agar Agus jangan terus-terusan hidupnya hanya memikirkan orang lain saja dan melupakan dirinya sendiri. Agus memang orang yang sangat peduli pada orang miskin, anak yatim yang terlantar, pengemis, dan apalagi orang tertindas. Dia juga agak romantis dan cenderung sentimentil. Pernah kami bepergian di musim kemarau yang panjang di tahun 1990-an di sepanjang pantura Jawa: tiba-tiba dia mengajak berhenti dan turun dari mobil dan berjalan menuju persawahan yang kering kerontang dan tanahnya terbelah-belah karena kekeringan panjang. Dia menangis terisak dan mengatakan bagaimana nasib para petani dan buruh taninya. Pribadi yang kadang usil itu memang sangat pro-orang kecil, tertindas dan orang-orang yang tidak beruntung.  

Berakhir di Lazismu

Pada tahun 2015 setelah empat periode berkarir di lapangan politik yang landai-landai saja itu, saya kembali ke PP Muhammadiyah dan terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 2015. Saya memilih menjadi Ketua Bidang Kebencanaan, Pemberdayaan Masyarakat, Lingkungan, dan Lazismu yang saya rasa agak jauh dari politik. Saya mengajak Agus untuk bergabung lagi di Muhammadiyah secara formal. Sesuai dengan jiwa filantropisme dan semangat voluntarianisme (kerelawanan)-nya yang luar biasa tinggi itu, dia bersedia menjadi Wakil Ketua Badan Pengurus Lazismu Muhammadiyah Pusat. Saya surprise sekali ketika bersama dengan para pengurus Lazsimu lainnya yang diketuai oleh Hilman Latif, seorang Ph.D muda di bidang Filantropi, Agus mengantarkan Lazismu menjadi lembaga zakat terbesar di Indonesia sejak 2017! Meski masih tetap aktif dengan hobi lamanya mengorganisasi dan menggerakkan demonstrasi menentang apa saja yang dipandangnya sebagai kemunkaran, Agus sangat bersungguh-sungguh dengan Lazismu.

Bersama teman-temannya di Lazismu, Agus sangatlah gigih membuat program-program dan agenda kemanusiaan. Agus mengadakan Kapal Klinik yang kemudian diberi nama Kapal Klinik Said Tuhulele yang berharga milyaran rupiyah itu dan kemudian dikirimkan ke Ambon, Maluku, untuk memberikan pelayanan kesehatan dari pulau ke pulau. Dalam acara peresmian beroperasianya Rumah Sakit Klinik Said Tuhulele di Ambon itu, Agus sendiri sepertinya sengaja tidak hadir. Dia lebih suka berada di balik layar saja. Perlu dicatat Said Tuhulele adalah teman Agus sebagai sesama aktifis yang sempat menjadi Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta, HMI Cabang Yogyakarta, dan kemudian Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah untuk beberapa periode.

Kami tetap menjadi sering bersama. Hampir setiap minggu kami berdua berburu Mie Jawa di Jakarta, seperti Mie Jawa Mas Tok Yogya, Mie Jawa Mbah Surip, atau Mie Rebus Siaga, (Agus sangat anti mie instan), tapi Agus mulai jarang membicarakan aksi-aksi demonstrasinya dan isu-isu politik seperti biasanya. Padahal dia tahu banyak soal isu-isu politik. Apalagi dia juga sangat dekat dengan beberapa teman lamanya yang berkecimpung dalam Lembaga-lembaga survei. Agus selama ini memang tidak begitu menganggap dan memeperlakukan saya sebagai politisi. Bahkan dia beberapa kali mengatakan kepada saya dengan penuh keyakinan bahwa “Kamu itu bukan politisi! Mul juga bilang begitu tentang kamu kepada saya.” Mul di sini maksudnya adalah Moelyana W. Kusuma, teman akrab Agus yang sangat setia satu sama lain.

Pada suatu pagi kami telpon-telponan untuk sekadar bercerita bahwa dia sedang menyuci baju seabrek, dan setelah itu mau mengajak saya naik KRL menyaksikan Aksi 212. Pasalnya, pada hari itu akan sulit sekali mendekati kawasan Monas jika membawa mobil sendiri. Kami berdua berdesakan naik kereta api KRL dari stasiun Pasar Minggu yang dekat sekali dengan rumah kami. Sak jek jumbleg saya baru sekali itu naik KRL. KRL penuh sesak dengan masa yang berpakaian serba putih. Rupanya ada banyak juga yang mengenal saya sebagai mantan Wakil Ketua MPR. Kami banyak diajak foto-foto selfi bersama di dalam gerbong KA. Sesekali Agus berteriak “takbir…!!!” dan disambut oleh masa di dalam kereta dengan “Allahu akbar!” Dia berbahagia sekali dan saya melihatnya dia sesekali tertawa terkekeh. Ketika kereta sampai di stasiun Manggarai saya melihat jalan-jalan sudah penuh sesak dengan massa. Apalagi ketika kereta mulai memasuki kawasan Menteng. Kereta terus melaju di atas jalan layang menuju Gambir: dari atas kereta kami berdecak menikmati pemandangan yang sangat menakjubkan. Sampai di stasiun Juanda para penumpang KA nyaris sudah turun semua, dan kereta menjadi kosong.

Saya dan Agus meneruskan perjalanan dengan gerbong yang sudah kosong itu menuju Stasiun Kota sambil mengamati situasi Jakarta. Sesampai di Stasiun Kota kami turun dan sempat makan pagi di sana. Beberapa saat kemudian kami kembali lagi menuju arah Gambir. Kereta melewati lagi kawasan Monas yang sudah penuh masa. Akhirnya kami turun di stasiun Gondangdia, berjalan melewati lorong-lorong dan jalan di sekitar stasiun Gondangdia yang juga sudah penuh sesak dengan massa yang membentuk shaf shalat Jumat. Waktu itu sekitar jam 11.00. Kami berjalan beringsut melewati lautan massa yang penuh sesak itu dengan melepas sepatu karena mesti menginjak tikar atau sajadah para jamaah. Hampir satu jam kami baru sampai kantor PP Muhammadiyah di Jl Menteng Raya 62 yang jaraknya dari stasiun Gondangdia sebenarnya hanya seratusan meter itu. Rupanya gedung Dakwah Muhammadiyah juga penuh sesak dengan masa yang kelihatannya datang dari berbagai daerah. Mereka menumpang mandi dan beristrahat di sana. Di halaman banyak sekali ambulance kesehatan dari berbagai PKU Muhammadiyah dan mobil-mobil lapangan MDMC yang dikoordinir Lazismu untuk memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Agus sebagai pribadi yang sangat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan sangat berbahagia menyaksikan itu semua.

Penutup: Akhirnya

Kamu masih tetap terus sering bertemu sebagaimana dia juga tetap terus bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Suatu ketika, Agus datang ke rumah saya di Pejaten ketika saya sedang berolah raga treadmill di gazebo lantai atas di depan ruang perpustakaan. Seperti biasanya dia menyusul saya ke lantai atas. Tapi kali itu saya agak terkejut: Agus terlihat sedikit sesak napas alias menggeh-menggeh hanya karena menaiki tangga yang tidak seberapa tinggi itu.  Saya terkejut oleh karena Agus itu hidupnya sangat sehat: rajin olah raga, bahkan jogging di bawah sinar matahari (agar kulitnya hangus, katanya), tidak minum, tidak pernah, dan pengetahuan umumnya tentang kesehatan luar biasa detil. Dia praktikkan betul pengetahuan kesehatan yang elementer, seperti banyak minum air putih, berapa kali orang mesti mengunyah makanan seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, menghindari makanan cepat saji, seminggu hanya boleh makan mie instan maksimal sekali, dan lain-lain resep kesehatan praktis sejenis itu, demi untuk tetap fit dan segar bugar dan pencegahan penyakit.  

Sambil ngobrol ngalor ngidul saya meneruskan treadmill. Setelah merasa basah kuyup mandi keringat, saya berhenti, dan Agus iseng-iseng gantian mencobanya. Belum ada dua setengah menit berjalan sedikit cepat di atas treadmill, nafas Agus sudah tersengal-sengal. Dia berhenti dan tidak kuat melanjutkannya lagi. Saya menanyakan apa yang dirasakannya. “Anda harus check up, Gus!”, kata saya. “Iya, kapan-kapan saya mau periksa”, jawab dia. Lalu kami turun dan makan nasi pecal buatan Mbak Mar, yang sudah ikut keluarga saya lebih dari 25 tahun sehingga dia sudah hapal betul dengan kesukaan Agus.

Setelah itu kontak-kontak kami melalui telpon atau WhatsApp didominasi oleh soal sakit jantungnya yang menurut diagnose dokter sudah harus di-by pass. Bahkan pernah sudah dijadwalkan kapan tindakan operasi akan dilakukan. Tetapi karena beberapa alasan teknis dan medis ditunda. Agus selalu menceritakan bahwa Bang Hariman Siregar yang nota bene seorang dokter selalu mengikuti perkembangannya. Juga banyak teman-teman yang lain. Banyak benar orang yang menyayangi Agus. Untuk sementara dia dipasang beberapa ring di pembuluh jantungnya. Meski demikian Agus tetap saja ringan kaki: ketika saya menikahkan putri saya pada 1 Desember 2019, dia tetap menjadi panitia walimatu ‘l-ursy. Saya terkekeh menyaksikan Agus mengenakan pakaian tradisional Jawa lengkap dengan keris dan blangkon, juga kaca mata John Lenon-nya!

Demikianlah pertemuan langsung saya dengan Agus berakhir ketika saya mesti berangkat ke Beirut. Dia agak terkejut ketika tahu saya mau menjadi Duta Besar di Lebanon: intinya merasa lucu saja dengan keputusan saya itu. Saya menjelaskan ke Agus tentang Negeri Syam (Arab Levant) yang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Lebanon. “Gus, saya ingin tinggal di negeri Syam, sebuah kawasan yang sangat unik dalam Sejarah Islam. Tokoh-tokoh pembaharu seperti Abduh dan Rasyid Ridha konon pernah tinggal di sana. Di sana juga pusatnya pemikir-pemikir kebangkitan nasionalisme Arab. Ibnu Arabi, mistikus Islam ternama, itu malah pernah mengatakan “Bagi kalian yang memiliki waktu dan kesempatan, tinggal lah beberapa tahun di negeri Syam. Di sana ada rahasia-rahasia Tuhan dan barakah-Nya”, demikian kata saya agak kesufi-sufian yang membuat dia nyengir dan kemudian terkekeh. Saya sudah hapal apa arti senyuman, kenyengiran dan keterkekeh-an dia itu. Keterkekeh-an orang pintar! 

Saya memang merasa Agus itu orang pintar: dia sepertinya tahu, setidaknya merasa, ketika hendak meninggalkan dunia yang fana ini. Takdir Allah, kebetulan saja sore itu saya tiba-tiba berada di Jakarta, padahal sehari sebelumnya masih Di Beirut, ketika Agus dirawat secara intensif di RS Harapan Kita. Mbak Sukesi, isteri Agus sekarang, memberitahu saya kalau Agus sedang ditidurkan dan mohon doanya. Malam itu juga saya berjanji dengan Mas Din Syamsuddin akan menjenguknya ke RS Harapan Kita. Di tengah jalan menuju RS Harapan Kita, Mbak Kesi mengabarkan Agus baru beberapa menit yang lalu berpulang: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Agusmeninggalkan seorang isteri dan empat orang anak: si kembar Latonia Lantang Santoso dan Luna Lukita Santoso, Muhammad Castro Santoso, dan Aisyah Charlotte Santoso.

Benar, saya rasa Agus itu orang pintar. Beberapa orang “dekat”-nya yang menemui saya di rumahnya di Tji Liwoeng Coffe, Jalan Pucung Raya, Balekambang, Condet, di malam meninggalnya Agus itu, menyampaikan beberapa pesan dan wasiatnya yang disampaikan Agus sekitar tiga minggu sebelum meninggalnya. Pesan Agus seperti layaknya orang yang sudah tahu akan pergi jauh: berpamitan, dan minta maaf atas segala kesalahannya selama ini. Kepada isterinya Agus berwasiyat minta disegerakan dimakamkan, minta dimakamkan di tanahnya sendiri, dan…jangan kaget…tidak boleh diadakan selamatan tahlilan di rumah: wow…Islam sekali, bahkan Muhammadiyah banget, pesan dan wasiyatmu, Gus! Ada-ada saja surprise dari kamu itu! Agus,,,Agus..,kamu memang orang baik, bahkan baik sekali! Insya Allah kamu husnul khotimah. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai. Selamat jalan ya, Gus…*

Exit mobile version