Teladan Musyawarah Zaman Rasulullah dan KH Ahmad Dahlan
Oleh: Preli Yulianto
Musyawarah untuk menempuh jalan solusi memunculkan gagasan-gagasan yang harus terkrucutkan dalam satu tujuan yang menjadi fokus utamanya. IMM salah satu organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia menjunjung tinggi asas musyawarah dalam setiap momentum yang dinamis dalam dinamika berorganisasi.
Menurut Al-Bagdadi dalam Syakur (2013) menjelaskan bahwa lafadz musyawarah terambil dari akar kata; sya, wau dan ra, yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah atau mengeluarkan sesuatu dari yang terpendam. Arti ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat dan pemikiran, hal ini karena musytasyir atau orang yang mengajak bermusyawarah seakan-akan mengambil pendapat dari orang lain.
Kadang kala, ketika dihadapkan dengan situasi musyawarah dari berbagai tingkatan komisariat sampai pusat menuai atmosfir yang luar biasa. IMM memiliki sistem musyawarah yang fokus utama untuk pergantian tampuk pimpinan yakni: MUSYKOM (Musyawarah Komisariat), MUSYCAP (Musyawarah Cabang), MUSYDA (Musyawarah Daerah), MUKTAMAR (Musyawarah Tingkat Pusat).
Atmosfir yang mencuat hingga menimbulkan riuh suasana, sehingga forum tersebut tidak kondusif lagi. Semangat mencari keputusan terbaik dalam musyawarah harus dijadikan prinsip dalam ikatan. Prinsip menerima perbedaan persepsi harus tertanam dalam sanubari kader IMM, dan senantiasa semata-mata hanya mencari ridho Allah SWT.
Dinamika musyawarah dapat ditilik dari perspektif dari filosofis tanah pertanian seperti halnya yang diulas dalam buku Kadarusman (2005) menjelaskan bahwa perilaku positif itu dalam kalimat “Caina herang , laukana beunang” menjadi aturan main, caina herang berarti air yang tetap jernih. Laukna beunang berarti ikan yang harus ditangkap.
Selanjutnya, polemik dalam forum bisa terjadi karena biang keladi dari masalah sepele, bahkan nalar pun tidak akan mengerti hal kecil bisa menuai malapetaka yang menimbulkan perang besar. Hal tersebut dapat terjadi apabila kebenaran realif menjadi acuan dan dilandasi dengan nafsu untuk mendapatkan keinginan, tanpa menengok kedamaian ekologi.
Kemudian, prinsip yang sederhana tersebut mengajarkan kepada kita yakni, dalam mencari penyelesaian terhadap penyelisihan yang terjadi diantara sekelompok orang dengan menilik dua aspek. Pertama, aspek suasana seperti air di dalam kolam yang harus tetap jernih, maka kita harus memastikan bahwa suasana yang melingkupi permasalahan yang ingin kita selesaikan itu harus tetap jernih juga. Kedua, aspek tujuan, atau end point yang ingin dicapai seperti ikan yang harus berhasil ditangkap, kita harus memastikan masalah tersebut dapat menuai solusi atau kesepakatan.
Meneropong Teladan KH Ahmad Dahlan dalam musyawarah
K.H. Ahmad Dahlan memiliki kepemimpinan yang visioner, berempati terhadap perbedaan pandangan atau pendapat. Pandangannya tersebut bersifat inklusif relativis seperti kata Rasid (2018) bahwa KH. Ahmad Dahlan memandang positif terhadap perbedaan yang ada dan menganggap bahwa itu bukanlah perbedaan yang hakiki/mutlak namun disebabkan karena adanya perbedaan faktor-faktor luar.
Berdasarkan catatan dua orang muridnya, KRH. Hadjid dan H. Mohammad Syoedja, bahwa Kiai Ahmad Dahlan, mengatakan terkait jalan mencapai kebenaran Islam melewati musyawarah (dialog) dengan prinsip keterbukaan (inklusif) dan kejernihan hati. Tetapi, kebanyakan manusia berwatak angkuh dan takabur. Prinsip keterbukaan dan kejernihan hati sudah ditinggalkan. Kebenaran akhirnya dimonopoli oleh segelintir orang yang bertindak sebagai “pemborong kebenaran,” karena merasa paling benar sendiri.
Peristiwa K.H. Ahmad Dahlan ketika meluruskan arah kiblat dan mengajak bermusyawarah para Kiai, dan ulama. Begitu banyak dinamika dalam forum tersebut, ada yang setuju dan banyak pula yang menolak kebenaran hingga ahirnya dalam forum tersebut tidak ada kesepakatan meluruskan kiblat sholat.
Dalam hal tersebut, sikap nrimo berasal dari bahasa jawa yang bermakna “menerima” secara konteks bahwasanya K.H. Ahmad Dahlan berani mundur satu langkah untuk maju dengan beberapa langakah alis wani ngalah (berani mengalah). KH. Ahmad Dahlan memegang pendirian untuk memulai dari diri sendiri menjadikan arah kiblat Langgar Kidul lurus mengarah ke Masjidil Haram (Mekah), dengan ilmu falak yang kuasai.
Sebagaimana ditulis oleh Haedar Nashir (2010), K.H. Ahmad Dahlan memperkenalkan wacana pentingnya pelurusan kiblat pada tahun 1897. Hingga tahun 1898, wacana tersebut terus digelindingkan dan menjadi isu keagamaan yang banyak menyita perhatian. Pro dan kontra mewarnai dan mengiringi wacana tersebut. Setelah mengalamai berbagai musyawarah, tapi tidak menghasilkan kesepakatan, K.H. Ahmad Dahlan tidak merasa kecewa. Sebaliknya, K.H. Ahmad Dahlan merasa telah menyampaikan apa yang diyakini benar, meski pendapatnya belum sepenuhnya dapat diterima. Yang juga membuat K.H. Ahmad Dahlan bersyukur dan puas adalah kenyataan bahwa, perdebatan dengan para ulama yang tidak bersetuju dengannya itu dapat berjalan dengan baik dan dilakukan dengan sopan tanpa ada hujatan dan rasa paling hebat.
Salah satu dalil yang dijadikan acuan KH. Ahmad Dahlan adalah sabda Rasulullah SAW. yakni: “Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda apabila kamu hendak shalat maka sempurnakanlah wudhu kemudian menghadap kiblat lalu bertakbir…” (Shahih Bukhari Muslim).
Petuah K.H. Ahmad Dahlan terkait musyawarah mencari kebenaran yakni: “Kita bermusyawarah mencari kebenaran dengan hati yang sabar. Tidak boleh jemu dan putus asa hingga berasil mendapatkan kebenaran, dapat bersatu paham dalam persatuan yang hakiki, dan perdamaian yang abadi”.
Bermusyawarah merupakan suatu upaya ikatan dalam mewujudkan organisasi yang kokoh, dan berkemajuan dengan menjunjung tinggi musyawarah atas dasar iman dan taqwa serta hanya mengharap ridha Allah SWT. Musyawarah harus ditempuh dengan jiwa yang bersih, dan ulet dalam komitmen mencari kebenaran sampai timbul kesepakatan yang hakiki.
Meneropong Teladan Rasulullah SAW dalam musyawarah
Allah SWT. memerintahkan agar umat Islam beriman, dan menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Jikalu menghadapi masalah maka, harus ditempuh dengan jalan musyawarah. Rasulullah SAW mengajak pula kepada para sahabatnya agar senantiasa bermusyawarah dalam segala urusan, kecuali terhadap masalah-masalah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Menurut Syukur (2013) menjelaskan hal penting yang perlu juga diperhatikan dalam musyawarah adalah mengenai peserta musyawarah hendaknya orang-orang yang dapat dipercaya yang dimaksud dengan orang-orang yang dapat dipercaya adalah mereka yang ahli di bidangnya sesuai dengan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam (dimusyawarahkan); ini sesui dengan sabda Rasulullah bahwa: “serahkanlah urusan itu kepada ahlinya”. Misalnya masalah keagamaan tentunya ahlinya adalah para alim, ulama, dan fuqaha. Sedangkan masalah kenegaraan tentu membutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti, ekonomi, sosial, politik dan ilmuan-ilmuan lainnya. Dalam kajian Fiqh Siyasah, peserta musya-warah (ahl alsyura) disebut juga ahl al-hall wa al-aqd.
Mengenai musyawarah dalam kitab al-Thobary menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam dalam strategi perang Uhud, bermusyawarah menghadapi pasukan Quraisy yang armada kekuatannya 3.700 orang, polemik dalam forum itu apakah pasukan Muslim bertahan di dalam kota Madinah atau berangkat menyongsong pasukan musuh yang datang dari Mekah. Nabi berpendapat pasukan Muslim untuk menunggu di dalam kota, tetapi mayoritas sahabat berpendapat lebih baik menyongsong keluar kota Madinah, dan ahirnya, Nabi pun mengikuti pendapat mayoritas. Keputusan tersebut dipegang teguh dengan konsisten walaupun ditengah perjalanan mereka ada kebimbangan yang berpendapat mayoritas ingin menarik kembali pendapat mereka dan memberikan kebebasan kepada Nabi untuk merubah keputusan. Tetapi Nabi tetap pada keputusan semula, sedangkan Abdullah bin Ubay (pimpinan kaum Munafik Madinah) bersama pengikutnya menarik diri dan kembali ke Madinah.
Perang Uhud untuk pertama kalinya pasukan kaum Muslim menelan kekalahan perang, sejumlah juru panah lupa akan pesan nabi, mereka tergoda dengan harta rampasan perang yang mengakibatkan Nabi beserta pasukan Muslimin mengalami kekalahan. Kisah tersebut terabadikan dalam Q.S. Ali-Imran ayat 159 sebagai berikut:
“Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya” (Q.S. Ali-Imran (3):159).
Pesan tentang musyawarah ditegaskan dalam Q.S. Asy-Syuura ayat 38 yakni: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”. (Q.S. Asy-Syuura: 38)
Penjelasan surat tersebut, sesuai tafsir Ibnu Kastir Asy-Syuura ayat 38 yang dimaksud firman Allah, (Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan), yaitu mereka yang mengikuti Rasul-Nya dan mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. (Dan melaksanakan shalat), merupakan ibadah teragung kepada Allah SWT. (Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka) maksudnya mereka tidak mau memutuskan suatu perkara atau mengambil suatu keputusan, kecuali mereka musyawarahkan terlebih dahulu. Musyawarah ini membantu mereka memutuskan perkara-perkara seperti perang dan lainnya.
IMM merupakan organisasi Islam yang berlandas Al-Quran, dan As-Sunnah dalam menjalankan dakwah amar mahruf nahi mungkar. Maka dari itu, memegang teguh sikap, cakap, dan perbuatan dari baginda Rasulullah SAW dalam menghelatkan roda organisasi. Sebagai organisasi Islam yang menebarkan risalah kebenaran sudah seharusnya menempuh jalan musyawarah dalam mengambil keputusan agar terwujud keselarasan dalam organisasi.
Preli Yulianto, PC IMM Universitas Muhammadiyah Palembang