Verba Volant Scripta Manent
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
KALAU anda ingin terkenal menulislah! Atau berbuatlah sesuatu sehingga orang menulis tentang perbuatan Anda itu. Tidak ada cara yang lain selain itu. Demikianlah kata almarhum Prof Dr Mukti Ali, Menteri Agama RI tahun 1970-an, dalam suatu kesempatan memberikan kuliah sambil secara berseloroh. Mukti Ali adalah satu di antara sedikit pejabat negara di negeri ini yang pandai menulis sendiri. Kata “sendiri” perlu ditambahkan oleh karena faktanya banyak sekali pejabat yang (sepertinya) banyak menulis (makalah, artikel, kolom, dan buku), tetapi sebenarnya dituliskan orang lain.
Pekerjaan menulis, tentu, bukan sekadar urusan keterkenalan atau popularitas. Menulis pada sejatinya adalah mengartikulasikan pikiran atau gagasan. Walhasil, seorang penulis adalah seorang yang banyak pikiran, gagasan, imaginasi. Tentu mengartikulasikan pikiran dan gagasan bisa dengan lisan (oral) dan bisa pula dengan tulisan (literal). Hanya saja artikulasi dengan tulisan jauh lebih bertahan lama. Verba volant scripta manent, kata ungkapan Latin. Yang diucapkan akan terbang, yang dituliskan akan abadi. Bahkan jika pikiran-pikiran dan gagasan itu ditulis dalam bentuk buku maka jauh lebih monumental.
Buku, seperti kata Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya Conference of the Book (University Press of America, Lanham, 2001), adalah simbol peradaban. Peradaban, kata El-Fadl, tidak dibangun di atas kenyamanan dalam kelambanan dan kebodohan. Peradaban selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada perbukuan! Buku memang memiliki kekuatan yang sangat revolusioner. Tak heran jika ayat pertama Al-Qur’an berbunyi ‘Iqra’ yang artinya “Bacalah! ”. Sebab, buku, memang seperti ragi: dapat merubah dunia persis seperti judul buku yang ditulis oleh Robert Brown: Books that Changed the World, buku-buku yang merubah dunia.
Tak ayal lagi, membaca buku secara sungguh-sungguh, bukan asal membaca, bukan membaca secara sekilas, tetapi membaca dengan penuh mengerti, akan merubah kehidupan seseorang. “Suatu hari aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah”, demikian Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra 2006, memulai novel-nya yang sangat memikat The New Life (1997). Jika membaca tulisan atau buku yang mencerahkan (enlightening) saja bisa merubah kehidupan seseorang menjadi tercerahkan (enlightened), apalagi menulis buku yang bermutu dan berbobot!
Artikulasi literal
Banyak memang orang pandai yang kaya dengan pikiran dan gagasan maju. Tentu faktanya tidak semua orang pandai bisa mengartikulasikan pikiran-pikirannya secara runtut dan sistematis. Ada empat jenis orang berkaitan dengan kemampuan artikulasinya. Pertama, orang-orang yang sangat artikulatif secara lisan, tetapi tidak secara literal; kedua, orang-orang yang sangat artikulatif secara literal, tetapi tidak secara lisan; ketiga, orang-orang yang artikulatif baik secara lisan maupun tulisan; dan keempat, ada juga orang-orang yang tidak artikualtif baik secara lisan maupun tulisan. Orang jenis ini bicara tidak bisa, menulis apalagi!
Tak heran jika kita sering bertemu dengan orang yang memiliki kemampuan berpidato luar biasa hebat tetapi tidak bisa menuliskannya. Atau kalau dipaksa menulis maka tulisannya tidak karu-karuan: bahasanya tidak baik dan tidak benar, bahkan tidak jelas mana subyek, mana predikat, dan mana obyek atau keterangannya. Kita pun pasti juga pernah menemukan orang yang tulisan-tulisannya sangat bagus, lancar, dan enak sekali dibaca, tetapi giliran diminta berbicara –apalagi berpidato– terasa kalimat-kalimatnya tersendat, tidak lancar, sulit dipahami, dan cenderung berputar-putar sampai-sampai pendengar kesulitan bahkan tidak tahu apa yang dimaksudkannya.
Tentu, ada juga orang yang pandai bicara atau berpidato dan lancar pula menulis. Buya Hamka adalah contoh orang yang sangat artikulatif secara lisan dan sekaligus tulisan. Lihat saja, tulisan-tulisan Buya Hamka itu, baik esai maupun novel-novelnya, dan dengarkan pula pidato-pidatonya: keduanya sama-sama enak dan memikat. Buya Hamka itu pandai pidato dan pandai menulis atau mengarang. Dia penulis dan pengarang, sekaligus orator. Para pemimpin politik Indonesia di masa lalu yang tidak terlalu jauh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Sahrir, Tan Malaka, dan masih banyak lagi juga orator sekaligus penulis yang sangat artikulatif.
Sejak reformasi 1998 kita menyaksikan fenomena yang sangat mengesankan dalam dunia penulisan di negeri ini. Suasana yang sangat kondusif berkat demokrasi dan kebebasan memberikan inspirasi bagi bagi lahirnya penulis dan penerbitan buku. Penulis-penulis baru bermunculan bak cendawan di musim hujan. Penerbitan buku mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Beberapa penerbit buku bahkan membuka “klinik penulis” untuk memberikan bimbingan dan pembinaan bagi lahirnya penulis-penulis baru. Meski belum sepadan dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, tetapi sulit untuk menolak kesimpulan bahwa dunia kepenulisan mengalami kemajuan yang sangat mengesankan dalam satu dasawarsa terakhir ini.
Yang lebih hebat lagi akhir-akhir ini banyak sekali tokoh, pejabat negara dan mantan pejabat, juga para pemimpin, yang tampil sebagai penulis. Bahkan banyak di antara mereka yang menulis biografi, otobiografi, memoir, catatan hidup, atau apapun namanya, yang dimaksudkan sebagai monumen kehidupannya. Ada yang menulis sendiri dan lebih banyak lagi dituliskan oleh orang lain atau bahkan penulis profesional yang terkenal. Tradisi menulis biografi itu sejak lama dilakukan orang. Ketika tahun yang lalu saya berkunjung ke New Delhi, India –karena harga buku yang sangat murah meriah– saya membeli banyak buku-buku tebal yang sebenarnya tidak begitu urgent untuk dibeli, seperti Baburname, Akbarname, dan lain-lainnya, yang merupakan memoar atau catatan harian Sultan Babur dan Sultan Akbar ketika mereka memerintah Mughal Empire pada beberapa abad yang lalu.
Mendorong menulis
Dalam konteks dan perspektif ini sungguh fenomena pesatnya perkembangan penerbitan buku di Indonesia sejak satu dasawarsa terakhir ini menjadikan hati kita membuncah. Kuantitas dan kualitas penerbitan buku berkembang secara sangat mengesankan. Demikian juga halnya aktivitas penerjemahan buku-buku asing hampir telah menjadi sebuah gerakan yang cukup masif. Para penerbit buku pantas dikategorikan sebagai pejuang perbukuan. Betapa benarnya hal ini terlebih lagi bila kita menyaksikan fakta bahwa persoalan buku sejak dulu luput dari perhatian dan kepedulian negara.
Sangat meyakinkan, bangsa Indonesia ini bangsa yang besar dan berpotensi untuk maju karena ternyata menyenangi buku dan gemar membacanya. Mereka berpotensi untuk maju dan besar karena ternyata mau membaca buku, sang induk dan penggerak peradaban. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang full hearing seperti sinyalemen Amin Sweeney, melainkan bangsa yang beraksara. Tradisi keberaksaraan yang hebat ini telah ditenggelamkan oleh kemiskinan dan kemelaratan sebagai akibat dari ketidakbecusan pemimpin-pemimpin bangsa menghela negeri yang sejatinya mempunyai apa saja ini.
Rasanya tidak sulit untuk mendorong bangsa ini maju dan berjaya. Jika kita memiliki pemimpin bangsa yang ikhlas, tulus, dan sedikit saja mempunyai visi, kita akan menjadi bangsa yang sangat maju. Semua prasyarat untuk maju dan mandiri ada di negeri ini. Verba volant scripta manent. Ayo, membaca! Ayo menulis!
Hajriyanto Y. Thohari, mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2017