Ajaran Nabi tentang Pengelolaan dan Pelestarian Energi
Revolusi industri pada pertengahan abad ke 17 menandai gencarnya pemanfaatan energi sebagai bahan utama gerak kehidupan, yang kini kebutuhannya semakin meningkat. Energi yang sebagian besarnya tak terbarukan itu suatu saat akan habis. Setiap manusia yang merasakan kenikmatan revolusi industri seharusnya ikut andil dalam pelestarian energi ini dengan dua pilihan, melestarikan energi tak terbarukan itu atau mencari sumber daya alternatif. Pertanyaannya, adakah nilai-nilai syariat Islam yang mengatur tentang pelestarian energi? Bagaimana prinsip-prinsip pelestarian tersebut diterapkan? Jawaban normatifnya ada pada Hadits-Hadits berikut ini.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :أَطْفِئُوا الْمَصَابِيحَ بِاللَّيْلِ إِذَا رَقَدْتُمْ وَغَلِّقُوا (وَأَغْلِقُوا) الْأَبْوَابَ وَأَوْكُوا الْأَسْقِيَةَ وَخَمِّرُوا الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ قَالَ هَمَّامٌ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَلَوْ بِعُودٍ يَعْرُضُهُ
Dari Jabir ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Matikanlah lampu-lampu pada malam hari ketika kalian hendak beristirahat, dan tutuplah pintu-pintu, tutuplah bak-bak air, tutuplah makanan dan minuman.” Hammam berkata, “Tutuplah walau hanya dengan sebatang ranting.”
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5624 dan 6296 pada bab Ighlaq al-Bab bi al-Lail. Juga oleh Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 1837 dengan redaksi hanya pada kalimat athfiu al-mashabih. Melalui hadits ini, Rasul mengajarkan umatnya untuk selalu menghemat energi, bahkan pada hal-hal kecil, sekalipun hanya pemakaian lampu rumah tangga. Asbabul wurud Hadits ini adalah peristiwa salah satu rumah warga yang terbakar karena tetap menyalakan lampu (waktu itu bersumber dari api) pada malam hari. Perintah itu berdampak positif secara langsung pada penghematan minyak yang digunakan sebagai bahan bakarnya, terlebih jika diterapkan pada masa kini. Energi listrik tidaklah mudah dihasilkan sehingga harus dilakukan penghematan. Anjuran lainnya diperkuat sabdanya dengan kandungan makna yang lebih umum berikut:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: ” كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا مَخِيلَةٍ “
Dari Nabi saw. beliau bersabda, “Makan dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa disertai rasa sombong.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman nomor 6152, bab al-Iqtishad fi an-Nafaqah. Juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak nomor 7188 tanpa lafal “walbas” disertai komentar, “Hadits ini sanadnya shahih meski tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.” Dalam hadits tersebut, setiap muslim diajarkan untuk menghindari sifat berlebih-lebihan pada segala aspek kehidupan yang dibubuhi sifat sombong, termasuk berlebihan (israf) dalam hal mengkonsumsi dan memanfaatkan energi sebagai kebutuhan dasar manusia, seperti listrik dan gas alam.
Dua Hadits tentang pelestarian energi di atas merupakan pedoman kepada setiap individu dan pemerintah sebagai regulator yang berperan mengatur dan memproduksi segala bentuk sumber energi yang ada, untuk kemudian dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tidak diperkenankan adanya praktek-praktek eksploitasi yang melampaui batas dan monopoli yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Mengenai peran pemerintah ini, Rasulullah saw. memberikan contoh yang sangat baik:
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ ، فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى ، قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، فَرَجَعَهُ عَنْهُ ، قَالَ : يَعْنِي بِالْمَاءِ الْكَثِيرِ
Dari Abyadh bin Hammal bahwasannya ia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta kepada beliau agar memberikan tambang garam kepadanya, maka Rasulullah saw. memberikannya. Setelah Abyadh berlalu, salah seorang dari sahabat berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang baru saja engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti “air yang mengalir–sumber air”. Kemudian Rasulullah saw. mencabut kembali pemberiannya kepada Abyadh.
Hadits ini terdapat dalam kitab-kitab Sunan, diantaranya Sunan At-Tirmidzi (no. 1380, hasan menurut al-Albani), Sunan Abu Dawud (no. 3066), Sunan al-Kubra lil-Baihaqi (no. 11608) dan Sunan al-Kubra lin-Nasa’iy (no. 5736), dimana redaksi Hadits di atas oleh an-Nasa’iy.
Rasulullah saw. dalam peristiwa tersebut berperan sebagai seorang pemimpin negara Madinah. Oleh karena itu, beliaulah yang dimintai izin oleh Abyadh ketika ia hendak memiliki sebuah lahan. Sebenarnya lumrah saja ketika Rasulullah saw. memberikan lahan tersebut kepada Abyadh, karena pada waktu itu masih banyak lahan yang tak bertuan dan Abyadh ternyata telah memanfaatkan lahan tersebut sebelumnya.
Pada waktu itu berlaku aturan bahwa siapa saja yang dapat memanfaatkan lahan tak bertuan, maka lahan itu menjadi miliknya. Namun setelah Rasulullah saw mengetahui bahwa sebenarnya lahan tersebut adalah suatu tambang garam yang hasilnya banyak sekali, maka beliau mencabut hak kepemilikan Abyadh dan kemudian menjadikannya hak milik umum. Hal itu karena tidaklah pantas suatu lahan yang terkiat dengan hajat hidup orang banyak, dikuasai hanya oleh satu atau segelintir orang saja.
Beragam Sumber Energi
Peristiwa tersebut dapat dijadikan contoh yang sangat baik untuk pemerintah kita. Pemerintah seyogyanya melindungi dan memberdayakan segala macam sumber daya yang dimiliki untuk kemudian diberikan kepada segenap rakyatnya agar mereka dapat hidup sejahtera, tidak bergantung kepada pihak lain. Dimana dalam konteks pemerintahan, tidak bergantung kepada negara lain/impor dalam memenuhi kebutuhan sumber daya pokok bagi rakyatnya.
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya yang melimpah ruah. Berbagai macam sumber energi terbentang dari Sabang hingga Merauke. Jika pemerintah kita dapat memanfaatkan secara mandiri sumber-sumber tersebut dan kemudian dikembalikan kepada rakyat, niscaya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang makmur, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu A’lam.
Aulia Abdan Idza Shalla, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan UAD Yogyakarta
Sumber: Majalah SM No 24 Tahun 2017