Tadabbur Surat An-Nisa Ayat 9 Di Penjara
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Menjadi petugas penjara seringkali membuat saya melihat hal-hal yang baik, tetapi tidak pernah diketahui oleh khalayak publik. Semisal, pembinaan yang humanis dilakukan oleh para petugas lapas hingga waktu kunjungan keluarga narapidana yang kadang membuat saya berderai air mata.
Seperti saat sebelum covid-19 melanda, saya pernah mendapatkan tugas untuk mewawancarai salah seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tepat saat waktu kunjungan tiba. Memang waktu kunjungan narapidana selalu memiliki cerita uniknya. Mungkin karena waktu kunjungan ini adalah momentum bertemunya rasa dan cinta antar manusia yang terpisah.
Kali ini yang membuat saya terenyuh saat melihat seorang anak kecil (saya taksir sekira 6 tahunan) memeluk erat seorang napi yang menggunakan jas oranye. Pelukannya erat dan berulang kali. Kadang diiringi tawa renyah yang menambah suasana semakin ramah. Mungkin napi tersebut adalah ayahnya. Saya tidak tahu pasti, tetapi sebagai seorang ayah juga, insting saya mengatakan demikian.
Lalu, saya mendapat konfirmasi langsung darinya bahwa dugaan saya benar. Hal yang lebih menarik adalah ketika sang narapidana ini berkeluh kesah kepada saya tentang anaknya. Dia merasa sedih dan kasihan, karena anaknya menjadi malu akibat perbuatannya. Bahkan dia khawatir anaknya tadi akan mencotohnya atau malah menjadi depresi akibat stigma yang telah melekat sebagai “anak seorang napi”. Dari ucapan narapidana tersebut saya jadi terpikirkan tentang salah satu firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Dalam surat An-Nisa ayat 9, Allah berfirman yang artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Memang pada dasarnya seorang ayah ingin agar anaknya dapat lebih baik dan melampauinya dalam hal apapun, termasuk urusan dunia maupun akhiratnya. Harapan agar di masa yang akan datang anak bisa lebih baik dari saat ini akan selalu terbesit dalam pikiran seorang ayah. Seorang ayah akan selalu bersusah payah setiap hari untuk mencari nafkah bagi anaknya, namun saat melihat senyum sang anak, rasa lelah luluh menjadi rasa bungah.
Padahal secara logika kita yang capek dan lelah, malah yang menikmati orang lain. Namun bukannya sedih atau kecewa melainkan bangga dan bahagia ketika anak dapat terpenuhi segala kebutuhannya. Malah yang menjadi kesedihan mendalam ketika melihat anak kita tidak bisa memperoleh kebahagiaan seperti anak-anak lainnya. Apalagi sampai meminta tetapi kita tidak dapat memenuhinya karena keterbatasan yang ada. Sungguh sangat menderita sekali ketika berada diposisi itu.
Mungkin perasaan demikian juga pernah dirasakan oleh ayah-ayah di seluruh dunia, bahkan termasuk narapidana itu. Bisa jadi karena perasaan ingin memenuhi kebutuhan dan menyenangkan anak, ia (narapidana) rela melakukan hal yang dilarang oleh hukum. Tujuannya agar anaknya tetap tersenyum dan bahagia memiliki ayah sepertinya. Ironisnya hal-hal seperti ini lebih sering menjumpai ayah-ayah yang memiliki keterbatasan, baik ekonomi, pendidikan maupun kekuasaan. Bukan berarti membenarkan pelanggaran, tetapi berempati sebagai sesama ayah tentu tidak salah bukan.
Menyaksikan romantisme pertemuan antara anak dan ayah di penjara membuat saya menjadi semakin berempati kepada para narapidana. Jarak yang memisahkan antara ayah dan anak tersebut telah membuat perasaan rindu mencabik-cabik batin mereka. Bukan hanya soal jarak, hinaan serta cacian disematkan kepada ayahnya oleh masyarakat, bisa jadi sering didengar oleh anak tersebut. Tidak muncul rasa benci di hati anak terhadap ayahnya saja sudah bersyukur, apalagi kalau sang anak masih mau memeluk dan mencintainya sebagai ayah. Mungkin sosok ayah sudah terpatri dalam sanubarinya sebagai pahlawan bagi kehidupannya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kerinduan seorang ayah yang menjadi narapidana itu kepada anak-anaknya karena terpisahkan oleh dinding hukuman. Mungkin bukan hanya kerinduan saja yang terbesit di hatinya, perasaan khawatir bagaimana dengan nasib anak-anaknya sehari-hari, bagaimana kesehatannya, bagaimana tumbuh kembangnya bisa jadi selalu menghantuinya setiap waktu.
Maka, sebenarnya perintah Allah dalam surat an-nisa ayat 9 agar tidak meninggalkan generasi lemah sesudah kita berlaku bagi siapapun, termasuk seorang ayah yang ada di penjara. Mereka pun harus merasa khawatir apabila keturunannya menjadi lebih buruk atau sama dengan dirinya. Sehingga muncul semangat untuk berubah lebih baik dan menafkahi keluarga dengan cara yang baik pula. Jika muncul hal demikian di kemudian hari, maka itu adalah tanda bahwa Allah akan sangat mudah untuk membolak-balikkan hati manusia sekaligus merubah nasib seseorang asalkan mereka senantiasa berusaha dan berdoa.
Wallahu a’lam bisahawwab
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Mu’allimin dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Bapas Kelas II Pekalongan