Menjadi Insan Pers, Menemukan Sumber Ilmu Tidak Terduga
Catatan Mustofa W Hasyim
Saya merasa beruntung pernah sekolah menengah di pendidikan guru agama selama enam tahun. Dalam sekolah guru agama diajarkan ilmu mikro semacam ilmu tajwid yang mencermati pengucapan huruf demi huruf. Juga ilmu teknis, tentang teknik mengajar murid lengkap dengan pendekatan ilmu jiwa anak, ilmu jiwa pendidikan, ilmu jiwa umum dan kemudian saya tambahin sendiri dengan ilmu jiwa agama. Ilmu teknik mengajar itu zaman dulu namanya didaktik metodik dan praktek mengajar lengkap dengan persiapan mengajar dan laporan hasil pembelajaran dan sejarah pendidikan dunia.
Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alat, antara lain ilmu bahasa Indonesia lengkap dengan seabrek aturan dan kemungkinan ekspresinya. Bahasa Inggris lengkap dengan pengucapan, kekayaan kosa kata, tata bahasa, perubahan kata (semacam tasrifan dalam ilmu shorof) sampai praktek menyanyikan lagu dalam bahasa Inggris. Guru bahasa Inggris saya pengucapan (semacam tajwidnya) ketat sepertinya model Inggris betulan sehingga di kemudian hari kalau saya mengucapkan lafal bahasa Inggris ditertawakan oleh anak anak saya karena dianggap kuno dan kaku.
Ilmu alat yang lain selain bahasa Jawa lengkap dengan pengetahuan budaya Jawa berupa nembang mocopat, tentu wajib belajar bahasa Arab modern dengan enam atau tujuh cabang, termasuk balaghoh dan khusus untuk nahwu dan shorof saya mendapat bonus belajar lewat kitab kuning bersama Ayah dan Pakde yang Kiai kampung.
Nah, lalu ada ilmu agama mulai dari tarikh, fikih, usul fikih, tafsir, akhlak, praktek ibadah, mengaji Al Qur’an, hadist, mustholah hadits, perbandingan agama.
Lalu ada Ilmu pengetahuan umum meliputi aljabar, ilmu ukur, ilmu hayat, ilmu alam, berhitung, sejarah nasional, sejarah dunia, ilmu musik (teori musik), ekonomi, sosiologi dan mungkin masih ada lagi tetapi saya lupa.
Lalu ada pelajaran ekstra yaitu Pramuka, olah raga, praktek jurnalistik dengan mengelola majalah dinding dan buletin sekolah dengan teknik cetak stensil.
Dengan satu ‘truk’ ilmu yang harus dipelajari terasa betapa berat menjadi siswa sekolah guru agama pada zaman itu. Itu harus ditempuh selama enam tahun. Kelas lima kadang muncul kebosanan, saya bersama dengan seorang teman yang kreatif diam diam sering membolos kalau hari Ahad. Sepeda teman diparkir di luar sekolah. Saat istirahat pertama saya dan teman tadi nggeblas ke Malioboro untuk menghadiri pertemuan rutin dengan sastrawan Malioboro (grup Persada Studi Klub) yang ketua suku dan guru besar Sastrawannya Umbu Landu Paranggi. Kalau beruntung pertemuan itu cepat, saya dan teman berdua mengayuh sepeda laki-laki (saya duduk di plantangan) cepat cepat dan sampai sekolah waktu istirahat kedua belum selesai. Saya dengan sopan dan santun mengikuti pelajaran lagi sehabis istirahat kedua ini.
Banyak keuntungan yang saya peroleh dari pelajaran ekstra mengasuh buletin sekolah. Pertama saya mengenal ilmu jurnalistik, khususnya bagaimana membuat berita kegiatan sekolah, mulai dari class meeting, peringatan hari besar Islam, pentas musik, dan berita kunjungan ke sekolah lain atau menerima kunjungan dari sekolah lain. Kedua, saya belajar menyeleksi naskah masuk (merasa sebagai editor betulan). Ketiga, saya praktek menulis karya sastra semisal puisi atau cerpen. Kadang dengan penuh gaya saya menulis dongeng dalam bahasa Inggris dan ini saya pamerkan ke seorang paman saya, dapat acungan jempol. Keempat, saya menjadi mengenai teknik stensil. Ketujuh, karena menggarap buletin ini di rumah seorang guru Pak Abdul Wahab (dia juga guru ngaji saya di masjid sehingga saya kadang memanggil dia Kang Dul Wahab) yang suatu hari dia menikah dengan anaknya Mbakyunya Mbah Putri dari Ibu, saya jadi akrab dengan beliau. Dan yang asyik, waktu menggarap buletin, suguhannya enak-enak dan minuman teh manis panas’.
Menjadi murid sekolah guru agama yang paling susah adalah kalau pas ulangan umum. Hampir setengah bulan harus dijalani. Belum lagi kalau guru hadis minta kami menghafal hadits dalam kitab mungil arba’in. Kami harus hafal nomor urutnya. Kalau pas ulangan enak aja guru menyebut hadis nomer sekian apa, nomer sekian apa. Sebenarnya agak menyebalkan, tetapi tetap harus kami jalani.
Lulus sekolah guru agama, untuk menghindari kewajiban menjadi guru agama sekolah dasar saya kuliah di Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah yang lokasi kampusnya di SD Pawiyatan Kauman (sekarang SD Muhammadiyah Ahmad Dahlan Kauman), Dekannya ustadz Ahmad Azhar Basyir. Saya kuliah disini tiga tahun lalu lebih memilih ‘kuliah’ di Malioboro. Waktu saya sudah bisa mencari uang dengan menulis di koran dan kalau malam menjadi guru privat agama di tiga rumah orang kaya Kotagede.
Lalu saya dilempar oleh keluarga agar merantau ke Jakarta dengan harapan menjadi birokrat di Departemen Agama. Tetapi saya memilih jalan sendiri. Masuk Balai Pendidikan Wartawan yang penuh praktek mengedit berita dan praktek memburu berita di lapangan. Untuk menentukan kelulusan saya harus membuat tulisan semacam mini skripsi, Alhamdulillah nilai saya bagus
Selain di Balai Pendidikan Wartawan, saya . mencari uang dengan menulis cerita anak di majalah Kawanku, saya. Ikut di komunitas sastra Bulungan, komunitas sastra Sembilan dan di Sanggar Enam Dua Menteng Raya (PP Muhammadiyah Jakarta) saya ikut ke Muktamar Muhamadiyah ke 40 di Surabaya, tampil main drama di Gelora 10 Nopember dan Balai Pemuda. Sementara itu secara rutin saya mengirim berita ke Harian Masa Kini Yogyakarta sehingga ketika redaksi tahu saya pulang dari Jakarta, saya dikirimi surat untuk bekerja di Harian Masa Kini. Jadi saya tidak melamar, tetapi dilamar koran itu, sebagaimana sepuluh tahun kemudian saya dipanggil Pemimpin Umum Suara Muhamadiyah, Dr M Amien Rais untuk membantu beliau di Suara Muhamadiyah. Begitu saya datang saya diminta kesanggupan saya untuk bekerja di Suara Muhammadiyah, Pak Amien Rais langsung membuat surat keputusan (SK) yang ditulis tangan ditandatangani Pak Amien sendiri. Dalam SK itu disebut jabatan saya sebagai Redaktur Pelaksana Suara Muhamadiyah dengan gaji Rp 60.000,-. Apa yang dilakukan Pak Amien Rais sepengatahuan Pak Ahmad Basuni sebagai Pemimpin Redaksi Suara Muhamadiyah dan pak Abdullah Sabda sebagai Pemimpin Perusahaan. ( Sebelum itu saya pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Masa Kini).
Mantaplah saya terjun ke dunia pers dengan pengalaman lapangan yang mengasyikkan, dengan pengalaman Pendidikan Wartawan untuk meningkatkan kualitas Insan pers, termasuk yang diadakan UGM bersama Departemen Penerangan, saya dinyatakan menjadi peserta terbaik mendapatkan hadiah uang lumayan, bisa untuk beli mesin ketik merk Brother, karena saya menulis kertas kerja yang dinilai oleh dosen UGM, terbaik.
Selama menjadi wartawan lapangan dan kerja di balik meja saat menjalankan tugas sebagai Redaksi Pelaksana Suara Muhamadiyah, yang saya rasakan dan saya alami, saya bersyukur karena dengan basis ilmu di sekolah guru agama yang amat luas ditambah.dengan kuliah fakultas ilmu agama jurusan dakwah dan saya matangkan di LSM saat mereka melakukan advokasi dan pendampingan masyarakat, ternyata saya menjadi mudah untuk membuka pintu-pintu ilmu yang baru.
Mungkin karena saya beruntung mendapatkan banyak teman yang kalau bekerja serius, mendalam, tekun, menguasai detil dan relasi antar detil dalam membentuk struktur atau konstruksi fakta berikut maknanya.
Ilmu menyerap fakta saya pelajari ketika saya kadang diminta ikut penelitian tertentu, ilmu investigasi saya dapatkan dari wartawan senior dan berpengalaman dalam hal ini ( saya dulu aktif di PWI), sedikit semacam ilmu intelijen saya serap dari seorang perwira tentara yang pernah mendapat pendidikan special troop di Inggris.
Nah dengan seabrek kunci lembut ilmu dan rahasia fakta saya beruntung menjadi insan pers selama hidup.
Nah berbukit-bukit bahan tulisan hasil serapan saya sebagai wartawan dan sastrawan memudahkan saya menulis delapan belas novel, satu mendapat penghargaan Balai Bahasa dan IKAPI DIY beberapa buku kumpulan cerpen, kumpulan esai, dan puisi. Hasil penelitian kecil kecilan ketika saya tulis di Jurnal Pradnyaparamita Museum Nasional Kemendikbud empat kali dimuat.
Saya bersyukur menjadi dan berproses menjadi Insan Pers (juga Insan Sastra) yang masih produktif di usia kembar (66 tahun) saya. Jadi intinya, mengembangkan diri menjadi insan pers, kalau itu pilihan, tidak salah dan tepat. Istilah Jawanya: wis bener tur pener. Nah.
Yogyakarta, 9 Februari 2021
Mustofa W Hasyim, Sektretaris Dewan Redaksi Suara Muhammadiyah