Perjalanan Cinta dan Jihad Menuju Jabal Nur dan Jabal Tsur: Pelajaran untuk hidup yang lebih bermakna
Oleh: Alif Sarifudin
Bagi anda yang membayangkan wisata yang landai, nyaman dan memanjakan, maka anda akan kaget. Begitu kami datang ke tempat ini, kami disuguhi kondisi yang lumayan curam dan menantang. Sebenarnya, tinggi bukit ini “hanya” mendekati 640 meter (sekitar 2.100 kaki), tetapi sudutnya curam. Usaha untuk mendaki menjadi terasa cukup berat terutama bagi anda yang memasuki usia paruh baya. Untuk diketahui, jalur pendakian Jabal Nur ini sudah disediakan tapak-tapak tangga, jadi anda tidak perlu membayangkan pendakian seperti halnya hiking, tetap bisa dilalui oleh kita yang bukan pendaki gunung. Hanya saja, anak tangganya curam dan lumayan berkelok-kelok.
Sebagian besar masih tanpa terpasang pipa pembatas/pegangan tangan di tepi tangga, hanya berupa pembatas alami berupa bongkahan batu, bahkan ada yang tanpa pembatas sama sekali, langsung menghadap jurang tebing batu. Jadi tetap berhati-hati. Tapi sebagian lainnya sudah ada pipa pegangan. Pada tahun haji 2018 penulis berhasil mencapai titik tujuan Gua Hiro dengan lama tempuh sekitar 1 jam.
Dengan pendakian lancar santai, menyempatkan transit sekitar 5 kali dan sempat salat subuh berjamaah pukul 04.45 WAS (Waktu Arab Saudi) di salah satu titik transit di area bibir tebing datar. Alhamdulillah, sekitar jam 05.15 WAS penulis mencapai titik tujuan di Gua Hiro. Kami berempat (Penulis, dokter Fikri, Alfi, Fathonah) cukup takjub, bahwa para pendaki ini tidak sedikit yang merupakan golongan S3 (Sangat Sepuh Sanget) alias Lansia. Jempol melihatnya mendaki tertatuh-tatih, tapi senyumnya merekah setelah sampai ke gua Hiro.
Gua Hiro, Gua Kecil dengan Cerita Besar
Masya Allah, merinding rasanya, membayangkan di tempat ini dulu Nabi Muhammad
SAW, Nabi akhir zaman, pada usia akhir 30-an memasuki usia 40 tahun, beliau mendaki bukit ini naik- turun selama 3 tahun terakhir untuk ber-uzlah (pengasingan diri) di dalam gua hiro sebagai bentuk perenungan Muhammad SAW merespon jurang pemisah antara pemikiran bersih Muhammad SAW dengan kondisi bangsa Arab. Coba para pembaca bayangkan, 3 tahun, bukan 1-2 kali pendakian saja.. tapi rutin selama 3 tahun.
Apalagi membayangkan istri beliau, Siti Khodijah dengan beda usia 15 tahun lebih tua dari suaminya (berarti usia sekitar 55 tahunan) juga naik- turun bukit ini dengan setia mengantar perbekalan makanan minuman untuk suami tercinta Muhammad SAW setiap hari, dengan medan yang masih terjal berbatu. Benar-benar semangat dan tangguh. Sampai akhirnya nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya saat genap berusia 40 tahun di dalam gua Hiro.
Kami berkesempatan bersujud syukur dan duduk sesaat di lantai yang sama dengan yang dulu nabi Muhammad Sallallohu Alaihi Wasallam duduki saat menerima Wahyu.. benar-benar merinding. Gua Hiro bukan gua yang luas. Ia merupakan gua yang sempit. Untuk masuk ke dalamnya harus melewati jalan di antara 2 batu selebar 60 cm saja. Memasuknya cukup sulit terutama saat padat dengan pengunjung lain yang berjubel untuk masuk, dan berdesak pula dengan orang yang akan keluar. Harus ada yang mengatur supaya antre.Bagian dalam juga tidak luas. Panjangnya hanya sekitar 3 meter. Ketinggian sekitar 2 meter. Dan lebarnya tidak menentu, sisi yang paling lebar sekitar 2 sampai 3 meter. Hanya cukup untuk sujud untuk 2 orang. Kami tidak berlama-lama di dalam karena antrean yang berjubel. Alhamdulillah jibaku selama pendakian terbayar lunas.
Lukisan alam tebing jazirah Arab
Selama pendakian sampai atas bukit, kita bisa melihat pemandangan kota Makah
dari ketinggian. Juga pemandangan tebing-tebing batu yang luar biasa curam memanjakan mata, sepertinya sulit kita temui di negeri tropis seperti Indonesia. Pengunjung yang datang berasal dari berbagai bangsa. Selain warga Indonesia, Penulis banyak melihat wajah Turki yang cukup mendominasi, juga bisa melihat warga seperti India, Bangladesh, China. Juga dari benua lainnya.
Beberapa sesama muslim sempat berpapasan dan bertegur sapa dengan kami, ada yang dari Kosovo, Iraq juga dari Iran. Hal yang menarik lainnya adalah, terlihat juga penghuni lain bukit ini yaitu binatang kucing dan kera gunung yang bergerombol di tepian tebing. Harap berhati-hati ketika memotret kera tersebut, karena bisa saja tiba-tiba sekawanan kera merebut HP atau barang lainnya seperti tas.
Peminta-minta yang Unik
Ketika berkunjung ke tempat ini, jangan lupa menyediakan pecahan 1 Riyal, karena anda akan bertemu dengan puluhan peminta-minta yang berderet sepanjang jalur pendakian. Mereka tahu banyak pengunjung Indonesia, sehingga sebagian menyapa kita dengan bahasa Indonesia, “Hai Hajji, sedekah jariyah.. sedekah jariyah.. Selamat.. selamat.. Haji Mabrur, Haji Mabrur.. ”
Ada gaya mereka meminta-minta yang jarang kita lihat, yaitu mereka menyebutnya sedekah “Tangga”. Ya, mereka banyak yang membuat rataan semen 1 atau 2 anak tangga, entah sebenarnya diperlukan atau tidak. Dengan bekal itu, mereka meminta-minta dengan gayanya yang khas. Jangan kaget kalau melihat sebagian dari mereka, ada yang tangannya buntung. Ada yang menyampaikan, itu merupakan hukum potong tangan karena mencuri. Hukum Qishosh di Arab Saudi cukup tegak dilaksanakan. Ada juga peminta-minta kebingungan yang minta tukar rupiah menjadi riyal ke pengunjung Indonesia.
Penurunan Bukit
Setelah keluar dari Gua Hiro. Kami beristirahat sejenak. Memakan perbekalan yang kami bawa. Kami sarankan membawa cukup air (utamanya air zamzam) karena selama pendakian membuat kita membutuhkan cukup cairan. Untung satu-satunya jamaah perempuan yang ikut serta, Bu hajjah Fathonah atau biasa kami panggil bu Oong, menyiapkan perbekalan buah yang cukup. Potongan apel dan jeruk sangat menyegarkan tubuh setelah pendakian. Juga kurma membuat energi kembali penuh.
Di puncak pendakian banyak juga yang berjualan makanan minuman yang bisa dibeli oleh pengunjung. Jangan lupa siapkan kamera untuk dokumentasi yang optimal, untung saja ada kamera HP dari “seksi dokumentasi” kami mas haji Alfie yang bagus tangkapan gambarnya. Setelah lama kita menikmati puncak gunungi, kami mulai penurunan. Selama penurunan bukit, penulis sambil bercerita kembali kisah masyhur tentang uzlah Nabi Muhammad SAW yang penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat untuk menambah perenungan dan semangat beribadah.
Sensasi spiritual tapak tilas ini sangat meresap di hati. Tiap tapak melangkah, selalu terbayang langkah yang sama ketika Rasul melangkah.Batunya, Pasirnya, Guanya, dan saksi alam lainnya seakan membawa kami ke masa Rasul dulu. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kami mengambil hikmah dan lnspirasi tentang perjuangan Rasul dan Siti Khodijah..
Para pembaca, di tengah recovery tubuh selepas menunaikan jihad inti haji sejak dari Tarwiyah, berlanjut ke Wukuf di Arafah, kemudian Mabit di Muzdalifah, Mabit di Mina, Lempar Jamarat, dan Tawaf Ifadah, Alhamdulillah kami masih berkesempatan melengkapi pendakian 1 dari 2 Gua paling penting dalam sejarah Islam yaitu Gua Tsur di Jabal Tsur yang kami naiki tepat 2 pekan, yang sebelumnya kami sudah mengunjungi Gua Hiro di Jabal Nur. Gua Tsur adalah Gua tempat terjadinya peristiwa nyata laksana dongeng, Saat itu Rasululloh dan Abu Bakar bersembunyi di dalam gua dari kejaran orang-orang
kafir quraisy dan Allah SWT melindungi dengan mengirimkan laba-laba yang membuat jaring menutupi mulut gua dan burung merpati yang bersarang dan terlihat ada telurnya di dekat tempat Rasululloh serta Abu Bakr berdiam diri. Hal itu membuat kafir quraisy berpikir mustahil ada orang di dalamnya. Pendakian kali ini terasa lebih menantang dari pendakian sebelumnya.
Pertama, ketinggian Jabal Tsur lebih tinggi 2 kali lipat dari Jabal Nur. Selisihnya mencapai
800-an meter. Jabal Tsur memiliki tinggi 1.405 meter (4.610 kaki) mengungguli Jabal Nur yang “hanya” memiliki tinggi 642 meter (2.106 kaki).
Kedua, jalur pendakian bukit Tsur sebagian besar masih berupa tapak batu besar,
belum berupa anak tangga yang banyak ditemui pada bukit Nur. Namun, di beberapa titik sudah berupa anak tangga. Pendaki harus lebih cermat saat menempatkan pijakan supaya tidak terpeleset.
Ketiga, sisi-sisi jalan dakian nyaris tanpa pembatas jalan di satu sisi. Langsung
berbatasan dengan jurang tebing batu. Penulisi berangkat bersama dokter Fikr hanya berdua hari Ahad, 26 Agustus 2018 M. bertepatan dengan tanggal 15 Zulhijjah 1439 H. menurut kalender Arab Saudi. Meluncur dari hotel jam 05.30 WAS menggunakan taksi. Dengan proses tawar menawar yang longgar, akhirnya kami dikenakan biaya 50 Riyal. Perjalanan sekitar 15 menit, sampai di lokasi jam 05.45. Dan kami mulai mendaki.
Jalur pendakian nampak tidak seramai saat kunjungan ke gua Hiro, tapi makin siang makin bertambah. Kali ini tidak terlalu banyak wajah tanah air yang ikut mendaki, hanya berpapasan sedikit dengan beberapa pendaki yang terdengar ber-aksen Sunda. Selebihnya didominasi corak wajah India, Arab dan Turki. Tidak sedikit dari mereka yang berusia lanjut. Nampak juga seorang anak yang ikut pendakian. Dengan pendakian yang santai, kami sampai ke lokasi Gua Tsur jam 07.05 WAS dengan lama perjalanan sekitar 1 jam 20 menit. Menjalani sendiri pendakian ini, kami sulit membayangkam bagaimana beratnya pendakian yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar saat mengantarkan makanan untuk Rasululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan ayahnya selama 3 hari. Ia yang tengah hamil mendapatkan amanah untuk membawakan makanan ke sana.
Bayangkan, seorang wanita hamil, berjalan kaki tujuh Kilometer, dengan jalan yang tidak selamanya datar. Ada jalan mendaki, ada jalan menurun ketika pulang. Total 14 Km sekali pulang pergi. Dengan resiko nyawa jika sampai ketahuan kafir quraisy. Tetapi itu dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Itulah pengorbanannya. Dan yang kemudian dicatat sejarah, saat itu ia tidak punya tali untuk mengangkut makanan untuk Rasulullah. Maka ia membelah
selendangnya menjadi dua; satu sebagai selendang hamil dan satu untuk mengangkut makanan tersebut. Maka abadilah nama Asma’ binti Abu Bakar dengan gelar Dzatun Nithaqain; sang pemilik dua selendang.
Sampai lokasi, perjuangan belum berakhir. Di depan kami ada antrean panjang menanti. Nampak rombongan India mendominasi. Ada beberapa yang mau menyerobot antrean, kemudian para pengunjung ramai berteriak dalam bahasa India “Peechhe..!!
Peechhe..!!” yang artinya “kembali..!! Kembali..!!” Kami mengantre sekitar 55 menit. Masuk pukul 07.55. WAS Berjubel dengan pengunjung lainnya Kami hanya jalan lewat dan ambil dokumentasi saja, sambil merunduk karena atap gua Tsur termasuk rendah, hanya bisa diisi beberapa orang tanpa berdiri tegak.
Bergetar rasanya hati ini melihat mulut gua yang dikisahkan ditempeli sarang
laba-laba kiriman Allah untuk melindungi Rasul. Saat melewati lorong gua, kami sambil mengedarkan pandangan dan membayangkan, oh mungkin di sudut itu ya Rasul dan Abu Bakar duduk bersembunyi. Masya Allah, merinding, akhirnya pukul 08.03 WAS kami keluar gua. Sekitar 8 menit kami menyusuri gua. Langsung lanjut turun ke bawah, berangkat pukul 08.05. Sampai bawah pukul 09.00.
Perjalanan 55 menit. Mampir sebentar di stand tempat istirahat yang disediakan
pengelola. Dapat minum 1 botol air mineral. Dapat leaflet (bahasa Indonesia), booklet (bahasa Indonesia) dan CD (bahasa Arab) tentang Jabal Tsur. Pulang menaiki taksi. Meluncur pukul 09.15 WAS sampai hotel di Raudah Makah pukul 09.35. WAS Sekitar 20 menit perjalanan. Biaya yang kami keluarkan hanya 40 Riyal.
Para pembaca yang budiman, ada beberapa pelajaran penting antara Jabal Nur dan Jabal Tsur yang dapat penulis sampaiakan.
- Jabal Nur simbol perjuangan suami istri yang setia antara Rasululloh dan Khadijah Rodhilahu Anha
- Jabal Tsur simbol perjuangan dua saudara muslim yang saling menjaga
- Jabal Nur pelajaran penuh dengan perenungan pencarian sehingga turun wahyu pertama
- Jabal Tsur simbol ikhtiyar dalam menghadapi tantangan dari luar atau musuh
- Jabal Nur simbol wanita kuat yang selalu setia kepada suaminya membawa
makanan konon bolak sampai beberapa tahun
- Gua Tsur simbol perjuangan wanita tidak cengeng. Walau hamil Asma binti Abu Bakar selama 3 hari membawa makanan untuk ayahnya dan Rasululloh.
Dari tulisan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa cinta dan jihad merupakan dua kekuatan untuk sebuah kebahagian di dunia dan di akhirat. Ketika cinta anak manusia dibatasi oleh ajal, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa cinta antara Rasulullah dan Khadijah adalah simbol cinta dan kasih sayang dunia akhirat. Kasih sayangnya untuk sebuah perjuangan hidup yang bukan hanya untuk kebahagian sendiri tetapi lebih dari itu yaitu untuk menapak kehidupan masa depan bahagiakan sesama umat manusia.
Perjuangan luar biasa yang diabadikan dalam kisah ikhtiarnya dan jihadnya nabi Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar ke Jabal Tsur merupakan simbol perjuangan umat manusia ketika menghadapi kesedihan, dan kekhawatiran bukan karena yang menimpa dirinya saja tetapi lebih khawatir tentang cahaya yang akan redup kalau tidak diperjuangkan dan jihad saat itu. Kita bisa membayangkan, seandainya nabi Muhammad dan Abu Bakar terbunuh saat itu maka ceritanya dalam alur yang sangat menyedihkan.
Kita harus bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan generasi yang unggul. Allah SWT telah berfirman agar kita jangan meninggalkan generasi yang lemah.
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةًۭ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًۭا سَدِيدًا [٤:٩]
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. QS. An-nisa 9)
Mudah-mudahan pelajaran ini bisa menjadikan solusi ketika kita akan memperjuangkan sebuah kehidupan yang semakin banyak tantangannya. Dengan cinta dan perjuangan, kita tidak boleh lemah. Dakwah untuk mencerahkan tidak boleh berhenti walau badai selalu datang. Antusias, bercita-cita untuk sebuah kemajuan, serta mendekatkan diri kepada Allah merupakan bukti dari lahirnya cinta dan perjuangan mukmin yang mengakar di dada.
Alif Sarifudin, Ketua PDM Kota Tegal