Berguru Kepada A Adjib Hamzah
“Wartawan itu penjelajah. Berani mendatangi tempat-tempat baru yang belum pernah dia datangi. Bahkan keterangan alamatnya minim,” begitu kata Pak Adham Adjib Hamzah, Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah waktu itu, menggantikan pak Basuni yang meninggal dunia.
Begitu yang saya tangkap dari nasehat pak Adjib Hamzah waktu saya mengurus yang transport sekaligus pamit untuk melakukan wawancara lapangan, semacam investigasi kecil-kecilan tentang pemanfaatan dana zakat untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa di ‘pedalaman’ Klaten. Jangan bayangkan Desa di Klaten seperti sekarang, jalan aspal mulus sampai pelosok. Suasana desa kota sekarang sangat terasa dan dua tahun lalu saya dan teman-teman yang melakukan perburuan informasi tentang tenun tradisional di Klaten, pangling. Tempat yang dulu sepi sekali sudah ada restoran ikan bakar. Dulu suasana desa sangat terasa, hampir tidak ada restoran mahal.
Untuk menuju desa itu saya harus naik bis ke Klaten. Sampai terminal, ganti minibus menuju Jatinom mencari kantor LSM yang mengurusi program pemanfaatan zakat untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Saya ketemu koordinator lokal LSM Nasional yang memantau kegiatan ini.
Saya diberi alamat di Bayat. Nama desa dan kontak orangnya.
Saya balik ke terminal Klaten dan naik minibus menuju Bayat. Lokasi desa itu di dekat Rawa Jombor. Untung beberaps tahun sebelum itu ketika saya menjadi Yuri baca puisi pelajar di Pedan, sehabis lomba oleh panitia baik mobil dolan ke dekat Rawa Jombor. Jadi saya merasa familiar dengan suasana desa di situ. Apalagi waktu jadi wartawan harian Masa Kini saya membantu Panitia Pasar Seni UGM masuk desa-desa DIY dan Jawa Tengah, termasuk mencari perajin tenun gendong yang tahun-tahun itu masih banyak jumlahnya.
Saya sengaja turun di depan KUA Kecamatan Bayat untuk menanyakan tempat lokasi program pemanfaatan zakat. Saya tanya petugas di KUA, dan saya bisa bertanya kepada orang yang tepat. Petugas KUA mengetahui kegiatan ini, bahkan kenal dengan penggeraknya. Saya diantar naik motor, sebab kalau berjalan kaki dari KUA ke desa yang saya maksud cukup jauh.
Penggerak program pemanfaatan zakat untuk meningkatkan ekonomi warga desa seorang guru dan siang itu dia sudah pulang ke rumah.
Dengan ramah dia menemui saya, menunjukkan masjid yang dipergunakan untuk pertemuan warga, juga warung kecil yang dibina masjid.
Agak lama juga saya berada disitu. Saya mencatat banyak data tentang kemajuan warga yang semula ekonominya lemah menjadi kuat dan lebih kuat dengan adanya bantuan berupa pinjaman modal dari masjid yang berasal dari dana zakat. Sore saya diantar pakai motor dan turun di tempat ada . minibus jurusan terminal Klaten. Dari Klaten, naik bis dari arah timur menuju Yogyakarta.
Nasehat Pak Adjib Hamzah, di kemudian hari sangat bermanfaat ketika saya mencari kenalan saya yang pernah kontrak rumah di dekat kontrakan saya di Gedongkuning. Rumah kenalan saya ini di sebuah kampung di kota Payakumbuh Sumatera Barat, sebuah tempat ribuan kilometer yang belum pernah saya kunjungi.
Waktu itu saya ada temu sastrawan internasional di Jatutanam. Begitu ada waktu luang, saya naik bus menuju Bukittinggi lewat lembah Anai yang indah dan Padangpanjang yang sejuk. Sampai di terminal Bukittinggi saya ganti bis besar jurusan Pekanbaru. Saya turun di terminal Payakumbuh dan mencari angkutan kota jurusan kampung itu.
Tidak ada nomor telepon, belum ada handphone dan belum ada GPS penunjuk arah. Saya mencermati alamat itu m ada kode pos untuk nomor Kelurahan disitu. Saya menuju ke kelurahan itu, bingung juga karena orang tidak kenal dengan kenalan saya.
Saya ingat nasehat pak Adjib Hamzah, seorang wartawan adalah penjelajah, harus bisa menemukan alamat orang di manapun berada. Saya membuat langkah taktis. Karena kenalan saya aslinya orang Pantura, maka saya tanya apakah ada orang Jawa di sekitar situ. “Ada. Mari saya antar,” kata seseorang.
Orang Jawa itu punya warung, dia seorang ibu setengah baya.
“Bu, ajeng nyuwun pirsa alamatipun Mas Yono saking Kudus?” tanya saya dengan bahasa Jawa halus.
Ibu itu kaget, ini ada orang asing bertanya dengan bahasa Jawa halus.
“Panjenengan saling pundi?’ tanya Ibu itu minta kepastian.
“Kula saking Ngayojakarta. Rencang kontrak griya teng mrika” jawabku.
Dengan senang hati ibu itu mengantarkan sebuah rumah yang ternyata rumah mertua kenalan saya. Mertua kenalan saya menyambut dengan ramah. Dia lalu telepon ke kantor kenalan saya dan meminta saya menunggu jam pulang kantor. Saya diajak makan siang dengan menu masakan Minang asli or yang aroma rempahbya sangat kuat. Ini jamu atau jangan sayur, batinku. Lezat juga, tentu rasanya tidak banyak manisnya seperti masakan Minang yang sudah terpengaruh kuliner Yogya.
Kenalan saya datang bersama isteri naik mobil. Isterinya seorang guru dan pedagang kain.
Sebelum pulang ke rumahnya di luar kota, di lereng gunung,, saya diajak keliling kota Payakumbuh, keluar masuk toko untuk mengambil dan mengantar dagangan sampai malam dan makan malam sate Minang gaya Payakumbuh dilengkapi minum teh telur. Saya menginap di rumahnya, kami pun ngobrol asyik.
Pengalaman ketiga sebagai wartawan menjelajah justru saya alami di Jakarta, bersama mas Ton Martono wartawan foto Shara Muhamadiyah. Waktu itu saya ditugasi untuk mewawancarai Prof Dr Deliar Noer.
Untuk menemui pak Deliar Noer tidak mudah. Beliau termasuk tokoh yang kritis pikirannya dan tidak disukai Orde Baru. Untung saya punya jalur khusus, anak-anak muda aktivis yang memproteksi pak Deliar Noer. Saya kontak tokohnya dan saya bilang mau wawancara dengan beliau. Saya diberi alamat dan semacam password agar Pak Deliar Noer mau menerima saya. Saya dan Ton Martono berangkat ke Jakarta baik kereta api, turun di Stasiun Gambir. Lalu jalan kaki menuju Menteng Raya 62. Kantor PP Muhammadiyah untuk transit, mendapat kamar, mandi dan makan pagi. Dengan Menteng Raya saya familiar. Tahun 1978-1979 hampir setiap hari saya dolan kesini, walau saya gagal melamar menjadi pegawai Kantor PP. Jakarta, entah karena apa, saya menjadi anggota Sanggar Enam Dua, Grup tester yang main di Muktamar Muhamadiyah ke 40 di Surabaya. Saya Sanggar ini nebeng di Kantor PP IPM dan saya bisa punya kenalan anak IPM dan IPMwati disini.
Ketika saya datang bersama Ton Martono untuk melaksanakan tugas wawancara dengan Pak Deliar Noer, kantor PP Muhammadiyah sudah berubah menjadi gedung bertingkat, bukan lagi gedung kuno berarsitektur kolonial atau Indies. Masjid yang dulu sederhana menjadi lumayan bagus. Ada kantin dan toko buku, ini yang dulu belum ada. Tahun 1978-1979 saya kalau sarapan atau makan siang di warung 58, tempatnya di dekat Kantor PB PII yang seorang guru ngaji saya pernah menjadi Ketua Umum PB PII ini.
Dari petugas toko buku saya mendapat keterangan tentang arah dan alamat yang harus kami tuju. Nomor bis kami catat dan lokasi turun juga kami catat.
Wartawan adalah penjelajah. Memalukan kalau sampai tidak bisa menemukan alamat orang. Padahal tahun 1970an saya memang penjelajah, sering memimpin grup hiking melewati pegunungan timur jauh Imogiri, Dlingo ke Utara sampai ke wilayah Patuk. Saya sering membuat jalan atau peta sendiri ketika harus menerobos punggung bukit.
Ternyata menemukan rumah Pak Deliar Noer memerlukan ketangguhan seorang penjelajah.
Kami naik bus kota nomor jalur sesuai petunjuk lalu turun di titik tertentu. Ternyata no rumah itu tidak ada. Saya dan Ton Martono tanya banyak orang, tidak ada yang tahu. Tanya kepada pegawai sebuah apotik, dijawab tidak maaf tidak tahu. Wah, piye iki?
Saya berfikir keras dan berusaha mengingat-ingat pola perubahan jalan di Jakarta. Saya ingat, ada saudara yang punya makam keluarga terpaksa makam itu terbelah oleh jalan baru. Saya juga ingat ada seorang sastrawan besar yang rumahnya dengan halamannya terpisah, terbelah oleh jalan baru, demikian juga kampungnya. Barangkali pola ini yang membuat jalan memanjang ini terbelah atau terpotong jalan baru. Setelah menunggu traffic light menyala hijau, saya dan Ton Martono setengah berlari menyeberang jalan.
Ketemu nama jalan yang sama dengan jalan di depan apotik tadi. Kami menyusuri jalan itu lumayan jauh tetapi tetap belum juga ketemu alamat yang kami tuju.
Kami berbalik arah dan menemukan anak jalan yang ternyata dulu jalan asli. Nah nomor rumah pak Deliar Noer ketemu. Saya mengetuk pintu dan membuka percakapan dengan password yang diberikan teman aktivis Yogya.
Mendengar saya mengucapkan password itu, Pak Deliar Noer menjadi ramah dan mempersilakan kami berdua masuk rumah yang penuh dengan buku.
Wawancara berjalan lancar karena kami telah menyusun daftar pertanyaan yang runtut. Tentang strategi perjuangan umat Islam. Kami disuguh minum teh panas dan kue-kue.
Sehabis wawancara kami pamit sambil bercerita tentang sulitnya mencari rumah beliau. “Ya, sebelum jalan di sana dipotong oleh jalan baru, mencari rumah saya ini sangat mudah,”katanya.
Nah ; nasehat pak Adjib Hamzah memang ajaib, kami selalu bisa menentukan alamat baru bagaimana pun sulitnya.
Tentang penulisan berita, karena saya pernah menjadi wartawan harian, pak Adjib Hamzah tidak banyak komentar. ” Tolong gaya tulisanmu dibuat nyastra, agar tidak kaku dan menarik dibaca orang.
Nasehat ini saya patuhi. Lebih-lebih kalau menulis laporan utama. Apalagi kalau mendapat tugas menulis feature. Feature artinya kan berita kisah. Jadi fakta-fakta disusun dalam bentuk kisah yang menarik. Tetep fakta bukan fiksi, tetapi bahasanya bertenaga dan bisa meliuk-liuk mempesona. Apalagi pak Adjib Hamzah adalah orang teater dan film. Dengan demikian beliau juga mengajarkan bagaimana menyisipkan hal-hal yang dramatis di dalam tulisannya. Untung saya juga aktivis teater sehingga mudah menyerap dan mempraktekkan apa saja yang dia nasehatkan kepada saya. (Mustofa W Hasyim)