Berguru Kepada Darmanto Yatman
Yang jelas penyair besar mulitilingual kelahiran Jakarta dan besar di Yogyakarta ini sangat menghormati tamu. Ketika suatu hari saya datang ke rumah dia di jalan Menoreh Raya untuk wawancara dan mengurus bukunya saya ditempatkan di kamar paling atas rumah dia. Sebuah kamar yang indah, wingit dan hening. Disitu ada pusaka pusaka dan ruang kosong. Suasananya mirip pesholatan atau langgar pribadi di dalam rumah Jawa santri kaya.
Sebelum tidur saya shalat di ruang ini dan terasa pas. Tentu saja saya berdoa membaca ayat kursi, takut kalau ruang wingit ini ada penghuninya dan mengganggu saya dalam tidur. Setelah saya deteksi ternyata aman atau penghuninya sementara mengungsi saya tidak tahu.
Sebelum tidur saya sempat merenung. Jangan jangan kamar ini ruang khusus mas Darmanto untuk merenung, bersama di atau apa saja yang bersifat spiritual. Dengan menyuruh saya tidur di kamar ini barangkali Mas Darmanto menganggap saya seorang spiritualis atau orang yang suka melakukan olah jiwa dengan ritual agama. Padahal saya orang Muhammadiyah yang cara beragama, termasuk cara berdoa biasa-biasa saja.
Yang jelas saya bisa tidur nyenyak malam ini karena udara di dalam kamar memang segar, harum dan sejuk. Maklum rumah Mas Darmanto Yatman ini berada di dekat sebuah sungai besar kota Semarang.
Ketika pagi sehabis mandi saya turun sambil membawa tas punggung saya.
“Angler ta turune?” Tanya dia ramah.
“Ya, saking anglernya saya sampai lupa bermimpi.”
Mas Darmanto terkekeh.
“Mas, itu kamar, kamar khusus untuk mengheningkan cipta nggih? Kok suasananya hening, ada benda purba semacam pusaka dan dipenuhi hawa sejuk dan harum. Saya merasa seperti di sebuah kamar ibadah.”
Kali ini Mas Darmanto tidak tertawa, hanya mengangguk dan tersenyum lebar.
“Kok tahu?”
“Tahu wae. Suasana kamar itu relijius sekali. Cocok untuk saya yang kadang gelisah memikirkan dunia. Kamar itu membuat saya memikirkan dunia, Mas.”
“Ya, salahmu sendiri. Sebuah kamar yang secara obyektif adalah ruang untuk istirahat kok kamu tafsirkan macam-macam. Kamar ya kamar,” kata dia, kumat kebiasaan dia menggoda orang.
“Pengalaman subyektif saya semalam menunjukkan itu mas.”
“Ya kenyataan atau realitas obyektif dengan realitas subyektif memang beda. Dan kebanyakan penyair Yogya seperti sampeyan memang mengagungkan realitas subyektif,” katanya memojokkan saya.
“Kalau tidak memakai pendekatan subyektif saya tidak bisa menulis puisi Mas. Yang saya tulis jadinya berita atau ilmu pengetahuan. Puisi itu memang tulisan paling subyektif, kata Bang Hadi.”
Mendengar saya berlindung di balik kata-kata Bang Hadi atau Ashadi Siregar ini, dia diam sebentar.
“Wah, kalau dengan Mas Ashadi, saya menyerah. Ilmu komunikasi saya belum ada apa-apanya dibanding beliau.”
Pagi itu saya sedikit bahagia bisa mengalahkan Mas Darmanto Yatman dalam berdebat. Biasanya penyair yang juga disebut bocah tua nakal (diambil dari tokoh silat serial Memanah Burung Rajawali) sulit menyerah. Rupanya dia menaruh hormat kepada Bang Hadi sebagai tokoh senior di Yogya bidang ilmu komunikasi dan jurnalistik. Saya tadi tidak sengaja memanfaatkan rasa segan Mas Darmanto kepada Bang Hadi untuk memenangkan perdebatan tentang obyektif reality dan subyektif reality.
Pagi itu ngobrol ditemani minum teh dan kue-kue. Suasananya mirip dengan ketika dua priyayi Jawa menikmati suasana pagi. Mas Darmanto Yatman memang priayi tulen. Di Yogya, rumah keluarga dia di kawasan elit di selatan bioskop Rahayu, dekat sebuah gereja Kristen. Dia memang pemeluk agama Kristen tetapi tidak fanatik sekali. Dia pengagum Ki Ageng Suryomentaram dan suka menggunakan idiom Islam kalau berkomunikasi. Waktu jaman gencarnya anak muda Yogya berproses bersama Umbu Landu Paranggi, Mas Darmanto sudah bergabung dengan generasi Bang Hadi bahu ikut berkomplot dengan Umat Kayam mendinamisasi hubungan Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi Ag sehingga keduanya berpacu dalam karya. Hubungan Mas Darmanto dengan mas Kuntowijoyo baik, ternyata akrab karena rumahnya relatif berdekatan. Dia sering berkunjung ke rumah mas Kuntowijoyo dan nafsu menggoda saat sastrawan asal Ngawangga itu menulis. Tentu saja mas Kuntowijoyo tidak bisa digoda atau diinterupsi. Mas Darmanto biasa disuruh menunggu sampai tulisan mas Kuntowijoyo selesai. Kena batunya dia.
Pagi itu saya bisa ikut menikmati pagi seorang priayi, seperti pak Umar Kayam yang juga priayi. Padahal biasanya saya menikmati pagi sebagai orang Jawa biasa. Karena saya memang keturunan orang biasa. Mbah-mbah saya agak berbau priayi karena ulama dan pengusaha batik.
Kami ngobrol cukup lama. Hari libur. Tidak ada yang tergesa berangkat kerja. Rupanya, dengan ngobrol pagi yang dibuat lama menjadi ngobrol agak siang ini ada maksudnya. Mas Darmanto sengaja mengulur waktu karena dia sedang menunggu orang yang dia minta untuk membeli sesuatu sebagai penyempurna penghormatan dia kepada tamu, saya. Untung ada kue pengganjal perut sehingga rasa lapar terkurangi. Sebab biasanya, dalam bioritmik atau irama hidup saya, pagi pagi saya sarapan. Ini pagi pagi sarapannya obrolan.
Orang yang ditunggu datang, sebentar kemudian saya diajak ke ruang makan. Nasi sayur siap dan ada sesuatu yang diberi penutup lauk, belum dibuka.
“Sampeyan saya beri kehormatan untuk menikmati lauk yang paling lezat sedunia,” kata Mas Darmanto Yatman dengan irama kata dramatik sambil membuka tutup lauk. Saya langsung pucat.
“Apa ini Mas?’ tanyaku tergagap.
“Tongseng otak kambing,” katanya bangga.
Tambah gemetar saya. Bisa pulang tinggal nama kalau saya nekad memakan tongseng otak kambing ini. Saya mengidap darah tinggi tersembunyi. Kalau ada makanan pemicu langsung kumat. Juga kolesterol saya harus saya kontrol. Darah tinggi dan kolesterol adalah dua sejawat yang harus saya waspadai. Selain makanan terlalu pedas yang membuat kumat maag saya. Menjadi wartawan harian yang bekerja keras di bawah tekanan waktu dengan kesempatan makan yang sempit dan seadanya membuat wartawan seperti saya rawan penyakit perut dan darah tinggi, maag dan asam urat. Sebab kalau ada acara makan enak kami wartawan suka membalas dendam dengan makan sebanyak-banyaknya dan sekenyang kenyangnya.
Melihat muka saya pucat dan tubuh agak gemetar, Mas Darmanto terkejut.
“Lho, ada apa? Tidak suka makanan paling lezat di dunia ini?”
“Saya mohon maaf Mas, mohon ampun. Saya sangat suka dengan tongseng seperti ini. Saya sangat berterima kasih Mas Darmanto menghormati saya sebagai tamu dengan menyuguhi saya makanan lezat ini. Akan tetapi Mas, tubuh saya tidak kuat menanggung akibatnya. Darah tinggi saya dijamin langsung kumat hebat kalau saya nekad. Bisa-bisa saya klenger Mas. Karena itu kalau saya boleh memilih saya lebih memilih sayur sederhana yang menyehatkan badan Mas. Mungkin Mas Darmanto akan mengejek saya dadi wong kok ora mbakat sugih. Nggak papa Mas, yang penting tubuh saya sehat dan selamat dari sakit,” kataku berpanjang lebar seperti membaca naskah monolog.
Mas Darmanto mengangguk-angguk, sambil menjabat tangan saya berkata,”Nggak papa, nggak papa. Maafkan saya karena saya tidak tahu. Tetapi kamu masih berbakat jadi orang kaya lho kalau suatu hari saya suguhkan bangsa ikan ikanan?”
“Wah, kalau bangsa ikan saya oke banget Mas. Ikan darat, ikan laut saya tidak menolak.”
“Kepiting?”
“Boleh dicoba. Tapi jangan sekarang ya Mas “Iya. Nanti pada kesempatan lain.”
Jadilah saya makan pagi agak siang dengan sayur rumahan yang juga sangat lezat.
Rupanya Mas Darmanto selalu mengingat kejadian ini. Dan dia sepertinya berjanji kepada dirinya untuk tidak membuat kesalahan. Buktinya, ketika suatu hari saya diundang untuk memberikan pelatihan jurnalistik di Semarang, di Kota Lama, dekat Masjid Agung lama saya menginap di kompleks itu. Saya memberi tahu mas Darmanto bahwa saya ada di Semarang dan saya sebutkan lokasinya. Beberapa jam kemudian dia menjemput saya pakai mobil diajak ke restoran seafood makanan dari laut dan ikan laut. Yang tersaji kemudian adalah kepiting dengan saus yang enak. Untuk menaklukkan kepiting diperlukan alat berat semacam catut dan gunting. Sendok untuk mengambil daging di sela cangkang yang keras. Untuk yang pesanan dilengkapi kakap bakar yang cara menaklukkan biasa biasa.
Sambil ngobrol, kami membahas naskah-naskah Mas Darmanto yang siap diterbitkan.
Waktu itu saya masih merangkap kerjanya. Kerja di penerbit buku dan kerja di media cetak.
Dengan Mas Darmanto keperluan saya bisa dua. Wawancara dengan dia untuk saya muat di media cetak dan meminta naskah dia untuk diterbitkan jadi buku dan saya jadi penyunting.
Dari dua jenis keperluan ini saya bisa berguru kepada beliau.
Wawancara dengan dia saya beruntung bisa ikut mengenal dan mendalami psikologi sosial. Waktu itu dia menjelaskan asal usul perilaku diskriminasi terhadap orang atau sekelompok orang. Pelaku diskriminasi awalnya menderita trauma berat karena perbuatan pihak yang kemudian menjadi korban diskriminasi. Untuk mengatasi trauma ini pelaku diskriminasi melakukan balas dendam. Caranya, dengan membuat stigma negatif kepada korban diskriminasi. Stigma ini disebarkan seolah-olah memang korban diskriminasi ini layak diberi stigma negatif atau pihak yang punya masa lalu gelap, hitam dan menakutkan.
Setelah stigma berhasil ditempelkan atau dituduhkan kepada pihak korban yang kemudian menjadi korban diskriminasi maka pelaku diskriminasi kemudian melakukan labelling. Membuat dan melabeli korban diskriminasi dengan label label yang buruk, sebagai kelompok ancaman, label sebagai pihak yang potensial membuat kisruh dan sebagainya.
Nah setelah labelisasi oleh pelaku diskriminasi berhasil meluas bahkan bisa membentuk opini publik maka langkah berikutnya adalah langkah diskriminasi itu sendiri. Diciptakan kondisi dan situasi yang membuat korban diskriminasi layak didiskriminasi. Caranya yang paling mudah dengan melakukan langkah kriminalisasi, bullying, tekanan berat lewat usulan agar kelompok korban itu ditindak secara maksimal dan optimal.
Celakanya kalau kemudian langkah diskriminasi ini dilakukan oleh pejabat publik sebagai keputusan politik dan kebijakan hukum. Maka korban diskriminasi menerima penderitaan yang berkepanjangan. Nah dalam hal ini mas Darmanto menjelaskan bahwa diskriminasi ini bisa berlaku terhadap kelompok minoritas (yang dikembangkan dalam berita sebagai isu) juga diskriminasi dilakukan terhadap kelompok mayoritas sebagai korbannya. Saya jadi teringat dengan hasil wawancara teman terhadap Romo Magnis Suseno yang mengatakan bagaimana Indonesia akan bisa tenteram kalau kelompok mayoritas hampir selalu dijadikan korban diskriminasi?
Mas Darmanto juga mahir kalau diwawancarai tentang psikologi dan sosiologi orang Jawa yang intinya sikap dan fikirannya bisa mulur mungkret. “Maka orang Jawa bisa bertahan terhadap tekanan yang bagaimana pun beratnya,” katanya. Termasuk tekanan berat berupa bencana, gempa misalnya. Ia menyebut gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 itu, “Total mas, total!”
Dia mengatakan ini waktu berkunjung ke kantor Suara Muhammadiyah lantai dua setelah dia berkunjung ke tempat kenalan dia yang jadi korban gempa.
Memang hubungan saya dengan mas Darmanto ini seimbang. Saya sering ke Semarang, ke rumahnya atau ke kantor dia atau ke kampus dia waktu launching bukunya. Dan kalau di Semarang saya selalu dia muliakan sebagai tamu. Diajak makan enak lalu diantar ke tempat pemberangkatan bis antar kota.
Kalau dia berkunjung ke Yogya ya saya layani dengan sebaik-baiknya. Bahkan waktu saya masih kontrak rumah di Gunungketur dia berkunjung bersama isterinya. Ternyata istri mas Darmanto dulu pernah kost di Gunugketur dan masih ingat posisi rumahnya. Tentu waktu itu mas Darmanto masih berpacaran. Dia hanya tersenyum ketika saya singgung ini.
Waktu saya kontrak di Kauman dia juga sempat dolan. Apalagi kalau ke kantor Suara Muhammadiyah, tempat dulu dia sering berbincang bincang tentang filsafat eksistensialisme dengan Pak Ajib Hamzah.
Banyak naskah mas Darmanto yang saya edit kemudian menjadi buku. Termasuk kumpulan puisi berjudul Golf untuk Rakyat yang dilarang dibacakan di Purna Budaya karena dianggap membahayakan proyek pembangunan lapangan golf di dekat puncak Merapi. Rupanya dia puas dengan editing saya sehingga dia pernah menghadiahi saya royalti buku dengan alasan saya lebih membutuhkan uang itu dibanding dia.
Mas Darmanto kadang memang kemaki dalam arti baik seperti itu.
Pernah saya dan mas Hari Leo sebagai wong SPS (Studio Pertunjukan Sastra) Yogyakarta mengundang dia membaca puisi di Taman Budaya Yogyakarta. Saya dan mas Hari Leo sudah memesan hotel dan menyiapkan honor yang pantas. Dia menolak sambil tertawa. “Kowe wis sugih pa?”
Memang ketemu dengan Mas Darmanto Yatman menyenangkan, kadang menggemaskan. Yang jelas saya beruntung karena selalu diberi ‘proyek’ mengedit naskah menjadi buku. Termasuk buku berjudul Menguji Cinta yang berasal dari skripsi anaknya yang kemudian dijadikan cenderamata ketika dia mantu. (Mustofa W Hasyim)