Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab?

Majelis Tarjih Muhammadiyah Tidak Bermadzhab

Peserta Musyawarah Nasional Tarjih ke-30 di Makassar 2018

Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wb.

Saya sebagai warga Muhammadiyah di Malang kadang merasa bingung, kenapa Muhammadiyah tidak bermadzhab seperti NU yang cenderung ke Imam Syafi’i dan mengapa Muhammadiyah tidak menggunakan qunut dalam shalat baik di waktu Shubuh ataupun waktu shalat Tarawih karena di Negara kita sekarang lagi banyak terkena bencana? Terima kasih atas jawabannya karena jawaban ini akan semakin meneguhkan keyakinanku bahwa Muhammadiyah adalah salah satu ormas yang bertujuan untuk pemurnian agama Islam.

Wassalamu’alikum wr.wb.

Fahmi Abdul Halim, Malang Jawa Timur (disidangkan pada: Jum’at, 4 Jumadal Ula 1429 H / 9 Mei 2008 M)

Jawaban:

Untuk memperjelas permasalahan, jawaban atas pertanyaan saudara kami kelompokkan dalam 2 (dua) nomor sebagai berikut:

Menjawab pertanyaan tentang, Mengapa Muhammadiyah tidak bermadzhab?, ada baiknya kami paparkan sedikit isi dari salah satu di antara pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih yang berbunyi “Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat”.

Dari sana dapat difahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para imam-imam madzhab, namun bagaimana pun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah. Pendapat-pendapat para imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Apa yang dilakukan Muhammadiyah -melaksanakan agama bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah – ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

عَنْ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ. [رواه مالك في الموطأ]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. [Diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwattha’].

Dan juga apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal yang berbunyi :

لاَ تَقَلَّدْنِي وَلاَ تَقَلَّدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِي وَلاَ اْلأَوْزَاعِي وَلاَ الثَّوْرِي وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا .[ابن القيم في إعلام الموقعين]

Artinya: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Auza’i dan Imam ats-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah) darimana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu al-Quran dan as-Sunnah)”.

Singkatnya, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak menghormati pendapat para imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi sebenarnya hal penting yang perlu diikuti  adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw yang shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.

Permasalahan qunut sebenarnya telah dijawab pada keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa dan sudah termaktub dalam buku Himpunan Putusan Tarjih hal. 366-367, dan telah dijawab oleh Tim PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2.

Pengertian qunut secara definitif adalah tunduk pada Allah dengan penuh kebaktian dan juga bisa berarti tulul qiyam (طُولُ اْلقِيَامِ) atau berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan ini termasuk ada tuntutannya (masyru’), berdasarkan  hadis Nabi saw:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ اْلقُنُوتِ. [رواه مسلم وأحممد وابن ماجه والترمذى وصححه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: Shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca doa qunut).” [HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi].

Adapun qunut diartikan dengan arti khusus yakni berdiri lama ketika i’tidal dan membaca doa: Allahummahdiny fiman hadait … dan seterusnya di waktu shalat Subuh hukumnya diperselisihkan ulama, di samping doa tersebut juga sebagai doa qunut witir berdasarkan hadis:

وَعَنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّك تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إنَّهُ لاَ يَذِلُّ مِنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ. [رَوَاهُ الْخَمْسَة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, ia berkata: Rasulullah saw telah mengajarkan kepadaku tentang kalimat-kalimat yang aku baca ketika melakukan qunut witir: Allahumma-hdini fiman hadait, wa’afini fiman ‘afait, watawallani fiman tawallait wabarikli fima a’thaita wa qini syarra ma qadzaita fainnaka taqdzi wala yuqdza ‘alaika innahu la yadzillu man wallaita tabarakta rabbana wa ta’alaita”. (HR. lima ahli hadis)

Majelis Tarjih memilih untuk tidak melakukan doa qunut karena melihat hadis-hadis tentang qunut Subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. Di samping itu terdapat hadist yang menguatkan tidak adanya qunut Subuh. Dalam riwayat beberapa imam disebutkan sebagai berikut:

مَا رَوَاهُ الْخَطِيبُ مِنْ طَرِيقِ قَيْسِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُلَيْمَانَ، قُلْنَا لِأَنَسٍ: إنَّ قَوْمًا يَزْعُمُونَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ: كَذَبُوا إنَّمَا قَنَتَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُو عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْمُشْرِكِينَ.

Artinya: “Khatib meriwayatkan dari jalan Qais bin Rabi’ dari Ashim bin Sulaiman, kami berkata kepada Anas: Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu tidak putus-putus berqunut di (shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah berdusta, karena beliau tidak qunut melainkan satu bulan, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum musyrikin.” [HR. al-Khatib]

Begitu pula doa qunut witir yang dibaca sesudah i’tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir di malam shalat witir baik dalam bulan Ramadan maupun dipertengahannya, tidak disyariatkan. Karena itu tidak perlu untuk diamalkan. Dalil-dalil yang menyatakan adanya doa qunut seperti riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa’i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif.

Adapun yang ada tuntutannya itu ialah qunut NAZILAH yakni dilakukan setiap shalat selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan dan tidak hanya dikhususkan untuk shalat tertentu saja. Dan ini berdasarkan hadis Nabi saw bahwa beliau pernah melakukannnya selama sebulan kemudian meninggalkannya setelah turun peringatan Allah SWT.

قَالَ اْلبُخَارِى قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلاَنَ عَنْ نَافِعٍ  عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى رِجَالٍ مِنَ اْلمُشْرِكِينَ يُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْئٌ) الأ ية – (ال عمران)

Artinya: “Berkata al-Bukhari: Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi’, dari Umar, katanya: Pernah Rasulullah saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan ayat 127 surah Ali Imran: Laisa laka minal-amri syaiun (tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”

Pemahaman yang dapat diambil dari riwayat tersebut ialah:

  1. Bahwa QUNUT NAZILAH tidak lagi boleh diamalkan.
  2. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata-kata kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2008

Exit mobile version