Berguru Kepada Kiai Hamam Jakfar
Saya diajak mas Syahril Chili, wartawan senior majalah Tempo untuk wawancara dengan Kiai Hamam Jakfar, pengasuh Pondok Pesantren Pabelan Magelang.
Syahril Chili, dia dulu wartawan Harian Masa Kini, mengikuti workshop wartawan di Jakarta lalu pindah atau ditarik majalah Tempo. Hubungan dia dengan wartawan yang lebih muda baik. Dia sering ngajak saya meliput berita yang mendalam.
Saya pernah diajak mas Syahril untuk mewawancarai narasumber di Desa Pancasila. Malam hari. Karena wawancara mendalam kami menginap di rumah pak Lurah. Waktu itu hujan lebat sehingga maksud kami untuk mewawancarai warga desa di gardu ronda tidak jadi dilakukan. Sebenarnya kami mau konfirmasi dengan warga desa tentang Desa Pancasila ini. Dalam laporan yang diketik rapi dan dijilid, kondisi desa ini cukup maju.
Pagi pagi sehabis Subuh, kami jalan kaki keliling desa untuk mengetahui keadaan desa. Desa ini termasuk subur dan penduduknya ramah. Termasuk desa makmur. Sepertinya tidak ada hal yang menyimpang di desa ini. Karena tahu kami tamu Pak Lurah, penduduk menghormati kami. Kami kesulitan untuk menggali yang pelik-pelik. Tapi nggak papa, lain waktu bisa dilakukan dengan cara yang tidak kentara.
Zaman itu memang zaman sulit, bagi wartawan untuk menggali hal yang mendalam tentang kejadian atau kondisi yang menyimpang. Saya pernah wawancara dengan seorang camat tentang kenapa mfi kecamatan dia banyak gedung SD Inpres yang mangkrak dan kosong. Pak Camat ketakutan dan jarinya menunjuk ke atas, “Itu yang menentukan yang sana Mas. Kami tidak tahu.’
Juga saya pernah mau wawancara dengan seorang Kepala Desa, dan begitu tahu saya wartawan dia malah sembunyi. Ini saya alami di dua desa. Satu desa di pegunungan, satu desa di dekat kota.
Tentu berbeda kalau wawancara dengan seorang Kiai, apalagi Kiai pengasuh Pondok Pesantren Modern. Dia terbuka, ramah, mau menjawab pertanyaan yang kami ajukan, bahkan diberi bonus cerita yang menarik, lucu, walau kadang untuk informasi yang sensitif dia minta off the record.
Tentu sebagai wartawan kami menghormati hak dia untuk mengatakan off the record untuk hal yang sensitif. Bayangkan, zaman Orde Baru, nada dan pendapat yang bersifat oposisi adalah tabu untuk diungkapkan dan dimuat di koran. Mungkin ada wartawan yang nekad menulis hal seperti ini tetapi dijamin didep atau disembunyikan oleh Redaksi alias tidak dimuat. Apalagi harian Masa Kini yang sebelumnya bernama Harian Mertju Suar yang Wartawannya punya tradisi dan keberanian untuk melakukan investigasi dan berani menulis hal yang sensitif. Karena pernah dibredel, diundang ke kantor sangar dan sering mendapat telepon untuk menyensor berita menyebabkan redaksi dan wartawan hati hati.
Dengan Kiai Hamam waktu itu saya bertanya kenapa dia memilih terjun ke dunia pendidikan, bukan ke dunia politik yang menjanjikan kekayaan. Kiai tertawa berat lalu katanya sambil menunjuk pohon kelapa di halaman.
“Di pendidikan, kita seperti menanam pohon keras. Pohon kelapa, nangka, pohon sukun atau durian. Harus dirawat lama tapi hasilnya bagus dan mendatangkan manfaat yang sifatnya strategis. Misalnya, menghasilkan pemimpin. Jadi hasilnya baru bisa dipetik dalam jangka panjang.”
“Kalau politik?”
” Itu ibarat menanam pohon sayurn hasilnya bisa menghasilkan uang banyak. Tetapi hasil dan manfaatnya lebih bersifat teknis dan jangka pendek.”
Kiai lalu bercerita tentang pengalaman di Jakarta mengikuti gerak politik yang katanya mendebarkan karena musiman dan tiba-tiba angin berubah arah.
“Yang kokoh itu memang pendidikan, juga kebudayaan, ‘ kata Kiai yang sebelum membangun kembali pondok pesantren warisan orang tua dan kakeknya dia suka berguru di Malioboro, bergabung dengan murid Umbu Landu Paranggi yang lain.
Kadang ada murid Umbu yang tidak paham, siapa ini orang berkulit kehitaman bertubuh gempal dan lebih sering diam ketimbang bicara. Mau bertanya sungkan. Orang ini menghilang, maksudnya pulang kemana hampir tidak ada yang tahu. Emha Ainun Najib yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Modern Gontor sesungguhnya kenal dia, tetapi membiarkan orang ini hadir tampak misterius, walau tidak bermisterius guru mereka, Umbu Landu Paranggi.
Kejadian yang membuktikan kalau Emha Ainun Najib kenal dengan Kiai Hamam Jakfar sebagai sesama alumni Gontor adalah ketika Biro Pentas Teater Yogya mengadakan serangkaian workshop tester dengan narasumber tokoh atau jagoan teater, salah di antaranya, Arifin C Noer.
Waktu itu bulan puasa. Peserta dan panitia workshop kumpul di Purna Budaya Bulaksumur lalu naik mobil bersama Arifin C Noer menuju Pondok Pesantren Pabelan. Malam hari. Acara workshop dirancang sampai makan sahur.
Sesampai di pondok pesantren Pabelan, Kiai Hamam Jakfar menyambut tamu dengan ramah. Tampak akrab dengan Emha Ainun Najib. Ketemu kanca lawas, apalagi yang datang rombongan jape methe (cahe dhewe) dari Yogyakarta.
Malam menjelang dinihari itu Arifin C Noer dengan suara serak serak basah berbicara tentang teater, menceritakan naskah drama dia mengapa menggarap dunia mimpi masyarakat bawah. “Ya, masyarakat kita kan suka bermimpi. Buktinya yang namanya lotere kan laris sekali,” katanya.
Ia juga bicara soal kenapa panggung dia cenderung muram muram mistis. “Kalau itu buatan Roedjito. Dia menafsirkan naskah saya menjadi setting panggung begitu, ” tutur Arifin C Noer.
Kiai Hamam Jakfar dengan khusyuk mendengarkan apa yang disampaikan Arifin C Noer, sambil mengamati wajah hadirin. Ia sepertinya ingat kembali suasana malam malam di Malioboro bersama anak muda komunitas sastra Persada Studi Klub.
Ia yakin kalau jalur pendidikan dan kebudayaan memang tepat untuk ndandani urip menungsa lan ndandani srawunge menungsa di masyarakat.
Ini dia buktikan dengan kesediaan Kiai Hamam Jakfar menerima Chaerul Umam, Rendra, Bagong Kusudiarjo, Wahab Abdi, Soultan Saladin, Wisnu Wardhana dan lainnya untuk menjadikan pondok pesantren Pabelan sebagai lokasi pembuatan film kultural relijius berjudul Al Kautsar di tahun 1977. Film yang skenarionya ditulis Asrul Sani melejit pamornya di tahun 1970-1980. Merupakan film yang segar dan mampu menggeser posisi film adegan ranjang dalam perfilman Indonesia.
Kiai Hamam Jakfar menikmati suasana pembuatan film ini sehingga kemudian melakukan eksperimen memajukan desa dengan menampilkan orang pesantren sebagai lurah desa Pabelan. Hubungan pesantren dengan birokrasi kelurahan dan masyarakat menjadi harmonis.
Selain berkunjung untuk wawancara dengan Kiai Hamam Jakfar bersama Syahril Chili, saya juga pernah berkunjung ke pesantren ini bersama rombongan Panitia Pasar Seni UGM seksi Bazaar Kerajinan Rakyat yang dipimpin oleh Ahmad Fanani, arsitek yang menggarap bangunan berbasis arsitektur tradisional di Pondok Pesantren Pabelan sehingga mendapat penghargaan Agha Khan Award.
Waktu itu kami baru saja berputar putar ke daerah Magelang, masuk pelosok Secang dan sekitarnya untuk bertemu perajin tanduk dan penyu.
Kami di terima di bangunan timur, tempat menerima tamu. Dengan dipimpin oleh Ahmad Fanani, rombongan pun dimuliakan dengan makan siang lauk pauk sayur memenuhi meja makan, semua lezat. Saya ikut nderek mulyo makan siang sampai kenyang. Hari itu kami tidak perlu jajan di warung kuliner, walau di lain hari jajan juga masakan mangut lele di warung makan yang ada di antara para perajin batu hitam Muntilan.
Waktu bertamu di Pesantren Pabelan, Mas Fanani sempat bertanya kepada Kiai Hamam Jakfar kenapa agak jauh dari masjid hadir bangunan dengan arsitektur modern? ” Itu bantuan dari pemerintah. Paket bangunan seperti itu. Tidak bijaksana kalau kami menolak.
Kiai Hamam Jakfar yang kompak dengan Romo Mangun dan Cak Nun dalam ikut memperjuangkan nasib petani yang tergusur oleh proyek pembangunan bendungan Kedung Ombo ini memang piawai menjaga hubungan baik dengan siapapun. Termasuk dengan seniman. Dia pernah membujuk pelukis Afandi untuk menunaikan ibadah haji.”Saya memang beragama Islam, tetapi saya kan belum menjalankan ibadah shalat,” kata Afandi keberatan.
“Lho, Pak Afandi kan pelukis yang kerjanya menyebabkan kebaikan dan keindahan hidup. Itu pahalanya setara dengan shalat. Jadi nggak papa pak Afandi berangkat ke tanah suci naik haji,” rayu Kiai Hamam.
Afandi pun beribadah haji, kemudian menghafishksn lukisan ribuan orang thawaf mengelilingi Ka’bah. Sebuah lukisan yang sangat indah dan fenomenal. Lukisan itu dipasang di ruang tamu pondok pesantren yang sekaligus rumah kediaman Kiai Hamam, tempat beliau menerima Syahril Chili dan saya. Saya mendengar kisah Afandi naik haji bukan dari Kiai Hamam Jakfar sendiri, tetapi dari santri sekaligus teman dialog Kiai Hamam, bernama Muhammad Jihad Gunawan.
Di kemudian hari Kiai Hamam Jakfar dengan Pondok Pesantren Pabelan mampu melahirkan kader intelektual muslim Indonesia seperti Prof Dr Komarudin Hidayat dan Dr Agung Danarto. (Mustofa W Hasyim)