Berguru Kepada Bang Fauzi Rijal
Menjadi wartawan dan sekaligus Redaktur koran pada zaman Orde Baru sungguh mengasyikkan kalau tidak disebut menegangkan. Bagaimana tidak, sensor internal dan sensor eksternal mewarnai kejadian sehari-hari. Ada tabu-tabu tertentu yang tidak tertulis resmi yang harus dipatuhi. Kalau melanggar tabu atau melawan sensor maka risiko maksimalnya media kena bredel dan karyawan pers jadi kehilangan pekerjaan. Jadi para wartawan dan sekaligus Redaktur koran harus betul-betul menyadari posisinya yang berjalan di atas titian bambu dengan jurang ketidakpastian nasib menganga di bawah kaki.
Unen unen atau semboyan Jawa yang berbunyi menawa pengin slamet kudu ngati-ati, yitna yuwono lena kena perlu dipegang teguh dan difungsikan sebagai kesadaran bertindak. Unen unen Jawa itu mengajarkan bahwa kalau ingin selamat syaratnya harus mau berhati-hati terus menerus. Siapa yang waspada selama dan kalau sampai terlena akan menerima risiko buruk.
Dengan demikian, kehidupan pemikiran, ekspresi kebenaran, jalur jalur alternatif dalam mengembangkan berita dan kemungkinan menggali fakta yang fakta riil tertutup. Apalagi kalau menyangkut berita politik dan kejadian politik. Hanya satu narasi yang boleh diikuti oleh aktivis media massa seperti koran, yaitu narasi tunggal yang diciptakan oleh negara. Kabarnya, kondisinya mirip dengan ketika Orde Lama berkuasa sebelum Orde Baru. Wartawan kawakan seperti Muchtar Lubis dan aktivis media di harian Abadi tentu bisa bercerita tentang hal ini. Dan ketika pers dibungkam, Muchtar Lubis memilih menggunakan sastra untuk melangsungkan kebebasan ekspresi. Dia pun menulis novel Senja di Jakarta. Di zaman Orde Baru, wartawan senior, Seno Gumira Ajidarma juga mengatakan hal yang sama,”Ketika jurnalistik dibungkam maka sastra berbicara.”
Karena tekanan keadaan yang seperti ini, akibatnya banyak wartawan dan redaktur koran merasa sumpek dan tertekan. Kalau ngomong kritis, dilakukan dengan bisik bisik. Atau mendatangi tempat-tempat yang menjadi suaka bagi kebebasan berfikir dan berpendapat, juga kebebasan memperbincangkan kebenaran. Dan di Yogyakarta waktu itu, bagi wartawan dan redaktur yang kreatif, cerdik, dan punya jaringan pergaulan yang banyak bisa menemukan tempat-tempat untuk menghirup hawa segar kebebasan.
Kalau di Yogya, tempat yang seperti ini adalah Pusat Studi Kebudayaan UGM yang dikomandani Umar Kayam, Lembaga Riset dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Hukum UII yang dikomandani Mahyudin Al Mudra yang kantornya di jalan Tamansiswa, kantor bantuan hukum seperti LBH di jalan Agus Salim, atau KSBH di jalan Brigjen Katamso, atau Kantor Forum LSM Yogya yang berpindah-pindah tempatnya dan bergantian pimpinannya, atau Ruang Redaksi koran atau majalah mahasiswa seperti Arena IAIN Sunan Kalijaga, Derap Mahasiswa IKIP Negeri Karangmalang dengan aktivis seperti Rusli Karim dan MT Arifin, atau Gelanggang Mahasiswa UGM, atau Remaja Masjid Sudirman, dan Yayasan Perpustakaan Hatta di Jalan Solo Yogyakarta.
Bagi wartawan dan redaktur yang ingin memelihara kewarasan berpikir dan daya kritisnya, tempat-tempat itu sungguh merupakan surga bagi kebebasan berpikir dan berpendapat. Meski kalau mendapat informasi atau bahan berita tidak selalu bisa ditulis, apalagi dimuat tetapi dengan mendatangi tempat tersebut ketika ada diskusi atau ketika wawancara atau bahkan ikut rapat untuk melakukan advokasi kepada masyarakat korban kebijakan yang tidak bijak oleh aktor resmi sungguh menyenangkan. Istilah iklan sekarang, ada asyiknya dan ada manis-manisnya. Maksudnya manis sebagai kenangan dan kebanggaan tersendiri bahwa diri kita masih menyimpan sisa keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.
Dalam konteks ini Bang Fauzi Rijal atau Bang Fauzi Rizal sebagai Kepala Yayasan Perpustakaan Hatta sangat berperan, khususnya sebagai teman diskusi atau sebagai narasumber untuk masalah yang pelik.
Perpustakaan Hatta Yogya yang berada di jalan Solo berseberangan dengan pintu utara kampus IAIN Sunan Kalijaga gedungnya megah. Berhalaman luas dengan taman dan tempat parkir yang rapi. Koleksi bukunya lebih dari 30 ribu judul, termasuk buku kuno yang berusia lebih dari satu abad. Ruang baca longgar dan ada tempat yang nyaman untuk diskusi atau seminar.
Bang Fauzi orangnya ramah dan gampang ditemui. Di perpustakaan bergengsi dan berjaya di tahun 1980 ini banyak diselenggarakan diskusi kritis dan dialog yang hangat. Termasuk ketika ada sebagian anak muda yang suka bersastra mempersoalkan atau semacam menggugat dominasi sastrawan Malioboro, sastrawan aktivis Persada Studi Klub yang diasuh Umbu Landu Paranggi. Dominasi wacana sastra, budaya, bahkan teater oleh ‘orang orang Malioboro’ terasa mengganjal dan menggannggu regenerasi sastrawan berikutnya. Demikian kira-kira prasangka dari generasi sastra pasca Persada Studi Klub.
Bang Fauzi memfasilitasi dialog untuk menjernihkan masalah ini. Wakil dari generasi Malioboro, saya lupa namanya, menjelaskan bahwa tidak ada niat sama sekali mendominasi dan memonopoli wacana sastra di Yogya oleh generasi Malioboro. Disebutkan, waktu zaman indahnya Malioboro sebagai salah satu tonggak pergaulan kreatif di Yogyakarta, menjalin hubungan baik dengan kampus ASRI, Sanggar Bambu, Asdrafi. UGM, IKIP Negeri Karangmalang dan IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
Ada pertemanan dan pergaulan kreatif di poros Gampingan (seni rupa)-Malioboro-Bulaksumur yang diikuti tumbunya poros Ngasem-Karangmalang-Tamansiswa-Sidikan. Yang ada waktu itu hanyalah ajakan untuk terus berkarya bagi siapapun. Sikap generasi Malioboro ini ditunjukkan oleh alumni Malioboro yang waktu itu memegang halaman sastra budaya di koran dan majalah di Yogya.
Mas Sutirman Eka Ardhana di Remaja Nasional harian Bernas, saya mengasuh lembar Insani harian Masa Kini, ada sastrawan senior memegang rubrik sastra di Mingguan Eksponen, ada Mas Hadjid Hamzah dan mas Munif di Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi, ada mas Suwarno Pragolapati di majalah Semangat Bintaran.
Bahkan setahu saya yang mengasuh ruang sastra di Radio Swasta Niaga adalah anak-anak muda generasi pasca Malioboro. Hanya RRI yang diasuh oleh Pak Bandi, dosen IKIP Negeri Karangmalang, dan rubrik sastra budaya Suara Muhamadiyah pasca meninggalnya Mohammad Diponegoro diasuh pak A Adjib Hamzah, generasi pra Malioboro.
Para alumni Malioboro yang kebetulan menjadi penjaga rubrik sastra itu sangat terbuka terhadap karya generasi pasca Malioboro. Tidak pernah menonjolkan atau mengkampanyekan apa disangkakan sebagai wacana sastra Malioboro itu. Seingat saya, lembar Insani malah membuka tulisan polemik pasca dialog di Perpustakaan Hatta ini. “Kami berharap kalian lebih baik dari kami yang belajar di Malioboro. Mari dibuktikan dengan karya,” begitu kata teman yang secara individu mewakili generasi Malioboro. Tentu ajakan atau tentangan ini disambut tepuk tangan hadirin. Bang Fauzi ikut bertepuk tangan.
Pertemuan usai, gugatan itu tidak terbukti dan hadirin bersalaman dengan damai, melanjutkan pergaulan ala Yogyakarta.
Bang Fauzi yang menyebut dirinya saksi zaman, dia segenerasi dengan Bang Hadi (Ashadi Siregar), Darmanto Yatman, Umbu Landu Paranggi, sering mengikuti pertemuan sastra di Malioboro. Bang Fauzi sendiri tidak menulis puisi, cerpen, esai. “Saya hanya penikmat karya sastra teman-teman. Merasa beruntung bisa mengenal pemikiran teman teman dalam pergaulan kreatif yang indah. Suasana pergaulan kreatif yang penuh tegur sapa ini yang saya rawat selama hidup saya,” kata Bang Fauzi ketika saya wawancarai suatu hari.
Dengan semangat merawat pergaulan kreatif ini dia membina persahabatan dan jaringan dengan banyak orang, termasuk alumni Malioboro yang kemudian berdiam di luar kota.
Ketika suatu hari Halim HD mengundang teman teman Yogya ke Solo, Bang Fauzi ikut menyempatkan hadir bersama rombongan dari Yogya yang dimotori oleh Emha Ainun Najib. Saya ikut ke Solo waktu itu. Ngobrol gayeng, jajan di warung hik merasakan bakmi Solo yang sama persis rasanya dengan bakmi Kotagede Surakarta (dulu Kotagede terbagi dua Kawasan akibat perjanjian Giyanti, Kotagede Surakarta atau Kotagede Ska dan Kotagede Yogyakarta atau Kotagede Yka). Tempat tinggal Halim HD adalah kantor penerbit Jatayu yang pertama kali menerbitkan buku karya Emha Ainun Najib berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Kami semua menginap di Solo, hanya Bang Fauzi yang karena ada keperluan dia mendahului pulang ke Yogya.
Bang Fauzi terus memimpin Perpustakaan Hatta dan berani mengadakan acara yang berani dan fenomenal. Termasuk menampilkan baca puisi oleh penyair ‘ radikal kiri’ Wiji Thukul. Waktu itu Wiji Thukul dan temannya menampilkan atau menghadirkan puisi kritik sosial yang keras, yang bukan termasuk puisi klangenan karya penyair salon menurut istilah Rendra. Saya ikut terkejut, merasa kalah berani dalam hal mengekspresikan kegalauan jiwa menghadapi zaman akhir Orde Baru itu.
Bang Fauzi tampak tenang tenang saja, menikmati sajian puisi Wiji Thukul yang terasa memanaskan suasana. Saya sungguh lupa apa judul puisi yang dia baca, tetapi hawa dan suasana kritis masih terasa sekarang.
Pergaulan dengan teman-teman Malioboro terus dipelihara oleh Bang Fauzi, ia dikenal dekat dengan aktivis LSM juga. Ketika saya minta ketemu untuk wawancara hal-hal pelik soal penderitaan masyarakat bawah, dia tidak pernah menolak. Kemudian saya jadi sering ketemu Bang Fauzi saat beliau hadir di pengajian Maiyahnya Cak Nun.
Yang saya kagumi kemudian adalah, Bang Fauzi berhasil menyembunyikan kealimannya di balik penampilan di yang sekuler. Suatu hari sehabis Maghrib saya bertamu ke rumah beliau di timur Gedongkuning.
Dia menemui saya lalu mempersilakan saya duduk menunggu di ruang tamu. “Maaf Mus, tunggu ya, saya mau merampungkan dulu mengaji saya,” katanya dengan suara rendah.
Hah? Bang Fauzi Rijal mengaji? Bertadarus Al Qur’an? Sungguh saya tidak pernah membayangkan. Dan saya sungguh merasa tertampar keras sebagai lulusan sekolah guru agama yang karena kerja di koran jarang baca Al Qur’an kecuali bulan puasa. Bang Fauzi yang saya sangka hidupnya sekuler justru krbih relijius ketimbang saya.
Dan penjelasan Bang Fauzi ketika saya tanya tentang kebiasaan mengaji membuat saya lebih terkejut lagi
“Lho, Mus. Saya rajin mengaji sejak kecil. Orangtuaku tokoh Muhammadiyah di tempat kelahiran.”
Bang Fauzi selain bisa menyembunyikan kealimannya, juga berhasil menyembunyikan identitas Muhamadiyah sementara saya yang bangga dan kadang menonjolkan kemuhammadiyahannya justru kalah relijius dalam kehidupan sehari-hari.
Sepulang dari rumah Bang Fauzi saya jadi merenung. Orang tidak boleh menilai kualitas seseorang dari penampilan lahiriahnya. Saya juga merenung, alangkah lucunya saya kalau saya sebagai lulusan sekolah guru agama dan pernah menjadi pengasuh pengajian anak anak tidak memulai lagi kebiasaan mengaji Al-Qur’an. Saya jadi malu dengan Bang Fauzi. Saya juga jadi malu kepada Ayah yang guru ngaji di kampung dan pernah dengan sungguh mengajari saya mengkhatamkan Al-Qur’an dengan cara mengajar campuran gaya militer dan pesantren Wonokromo Pleret Bantul. (Mustofa W Hasyim)