Sang Talang Air

Talang pada bagian konstruksi bangunan biasanya merujuk pada benda yang bersistem sebagai penadah dan pengalir air hujan. Sebutan dan fungsi talang ini sangat menarik menjadi permisalan. Jika kita sangkutkan pada seseorang, maka tentu ia yang menerima sesuatu tapi tidak untuk dirinya. Karakter talang ini adalah karakter penyambung serta penggembira bagi orang di luar dirinya. Permisalan sebuah talang di sini tidaklah muncul demikian saja ternyata. Prinsip sebuah talang yang mengalirkan air ini diperdengarkan oleh panutan sepuh nan sahaja, AR. Fachruddin ketika dikomentari putranya, “talang kok ora teles”. Tidaklah perlu dinilai lagi teladan beliau, karena pastilah masyhur, bahkan bisa jadi dirindukan.

Islam memandang bahwa memberi merupakan sebuah arti hidup. Bahwa manusia tidak sekedar bergembira pada diri sendiri, namun juga menggembirakan. Ada perasaan khusus tatkala kita bisa menjadi penyalur dan menyalurkan. Utamanya ketika sesuatu yang tersalurkan dapat membuat orang lain tersenyum. Banyaklah sudah contoh-contoh yang bersliweran di telinga kita. Ambillah misal Abu Bakar yang tidak segan memberi.

Tidak hanya ringan tangan saja, tapi sampai pada level menyatakan, “cukup aku sisakan untuk keluargaku Allah dan Rasul-Nya”. Secara materi tidak menyisakan apa-apa, namun secara iman batin Abu Bakar justru merasa gembira. Rasulullah Saw sendiri pernah masyhur mencontohkan. Walau delapan dirham ia pegangi, namun pada kondisi perlu memberi, nominal kecil tadi sebanding dengan beribu-ribu lipatannya. Bukan ribuan dirham secara fisik tentu saja, tapi ribuan yang sifatnya transenden. Delapan dirham dapat membebaskan hamba sahaya, dapat menyamankan orang dengan berpakaian, serta menentramkan orang yang ketakutan.

Umat Islam sedari awal sudah memiliki struktur tubuh yang perasa. Berperasa fisik tentu saja, ditambah pula berperasa hati. Tidakkah kita simak sabda Muhammad Saw bahwa jika muslim lain tertimpa ‘kesakitan’, maka sebenarnya tubuh kita pula mengaduh pilu. Melalui sifat perasa itulah, kita sejatinya adalah makhluk yang berkepedulian. Melihat diri dan juga orang lain. Memberi saat ini semakin mudah saja sebenarnya. Banyak wadah penadah pemberian, sebagai bentuk peduli kepada yang lain, karena sakit yang dirasakan.

Ada bayangan ketika memberi itu sama halnya mengobati diri. Dengkul yang berdarah diobati dengan obat merah, walau dengkul itu bukan dengkul kita. Itulah struktur berperasaannya manusia yang dikarakterkan oleh Sang Utusan Saw. Walau memberi itu sedikit, walau memberi itu hanya doa misalnya. Esensinya adalah bahwa kita sedang merasakan perasaan orang lain dan menolong kesusahannya. Maka benar, memberi adalah arti hidup. Bahwa hidup manusia lebih berarti dengan sumbangsihnya.

Pak AR mendengar komentar si anak kandungnya cukup menjawab simple saja, “yo ben wong talang plastik”. Talang plastik berarti bermaksud anti air. Mencegah talang itu merembes, bahkan bocor. Jika tidak bocor maka talang bisa menyalurkan air ke tempat yang dituju. Seperti halnya Abu Bakar, dunia bukanlah ukuran untuk kebahagian. Demikian pun Pak AR, nitip kepada Allah adalah bentuk digdayanya seorang pribadi. Amplop tidak cuma-cuma diterima beliau, tapi nyatanya dibagi. Tidak jauh atau dekat jarak siapa yang diberi, selama kita merasakan penderitaan orang lain, maka memberi semakin berarti. Masa depan umat Islam ada pada titik perasa kita masing-masing. Pedulikah sudah kita dengan saudara-saudara yang lain. Lantas, sudahkah kita memberi, walau hanya bentuk lisan sebagai doa pengangkat derita. Wallahu a’lam (Muhammadi)

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2017

Exit mobile version