Tunas Dakwah di Tanah Cadas, Belajar dari Toleransi Pendidikan Abdul Qodir Lenamah
Oleh: Muhammad Ridha Basri
Kupang sering dijuluki sebagai Kota Karang. Konon, pulau ini terbentuk dari gelondongan karang laut yang muncul ke permukaan akibat tubrukan lempeng di masa lalu. Jadilah taman surga yang seolah ditabur di tengah lautan. Tak hanya Kupang, hampir seluruh wilayah Timur Indonesia didominasi bongkahan kalsium karbonat.
Tujuan perjalanan kali ini adalah Desa Tliu yang ada di Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kisaran delapan jam perjalanan dari ibu kota Kupang dan berdekatan dengan Negara Timor Leste.
Sebelum pukul lima pagi keesokan hari, kami sudah menunggu di halaman Universitas Muhammadiyah Kupang yang 70 persen mahasiswanya beragam non-Muslim. Mobil travel dijanjikan berangkat jam lima pagi, dan kami tidak ingin ketinggalan.
Hingga pukul enam, travel yang ditunggu belum juga tiba. Saya teringat dengan Albertus Luwa Saparius Maing, teman di perjalanan pesawat Surabaya-Kupang. “Jangan pakai cara pandang Jakarta ketika ke Timur. Di sini, waktu bukan barang industri. Hidup tidak terburu-buru,” katanya. Luwa merupakan warga Timor lulusan Universitas Sanata Dharma di Jawa. Dia fasih berbicara ragam tema filsafat, ekonomi, dan humaniora. Di antara curhatannya, “Tidak tepat, pusat menggelontorkan dana dan membangun infrastruktur di Timur, tanpa dibekali kesiapan memegang uang dan memanfaatkan infrastruktur.”
Setelah lewat satu jam, kami melupakan janjian. Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Nusa Tenggara Timur berinisiatif mengantar kami ke Oesapa, tempat pemberhentian angkutan travel menuju Soe, ibu kota Amanuban Timur. Setelah tawar menawar harga, kami memilih salah satu mobil travel di deretan paling depan yang akan segera berangkat. Perjalanan ini disuguhi pemandangan alam yang asri dan rumah adat khas Timur di sana-sini. Di beberapa tempat, banyak hutan yang menguning kekeringan. Di balik alamnya yang asri, Kupang adalah tanah berbatu dan berpasir.
Kondisi yang lebih gersang segera ditemui ketika memasuki kawasan Soe. Kondisi yang lebih parah adalah di Amanuban yang terletak di atas pengunungan. “Air di sana bagaikan emas. Satu tangki air bisa jadi lebih mahal daripada satu gram emas. Geografis dan topografinya sulit sekali. Air di sana bernilai ekonomi tinggi,” kata Zainur Wula, Rekor Universitas Muhammadiyah Kupang. Sehari-hari, masyarakat berebutan ke tempat penyimpanan air milik desa di pagi hari. Jika terlambat, harus siap tidak kebagian air.
“Prof Sandi Maryanto mantan rektor UMK pernah mengebor sumber air, tapi yang keluar justru lumpur dan pasir. Tanah di sana itu tanah pasir, jika hujan lebat, pasti longsor dan sangat berbahaya. Di Kupang, tanahnya batu cadas. Namun di Tliu, tanah pasir yang bisa digaruk.” Dengan kondisi alam seperti ini, mereka yang cukup modal dan berpendidikan memilih keluar dari daerah yang terisolasi ini.
Satu di antara tokoh yang justru memilih bertahan di sana adalah Abdul Qodir Lenamah. Qodir memegang teguh slogan: kairunnas anfa’uhum linnas. “Sebagai warga Muhammadiyah, kita harus terus memberi manfaat. Insyaallah warga di sekitar akan menerima kehadiran kita. Saya melihat kondisi kita sebagai daerah 3T, yaitu terluar, tertinggal, terlantar. Oleh karena itu, kita harus kerja keras, cerdas, tuntas, ikhlas.” Secara keseluruhan, hanya ada 9% persen umat Islam di NTT.
Qodir terbiasa dengan kehidupan yang keras sejak kecil. Dibentuk oleh kondisi alam dan realitas sosial budaya masyarakatnya. “Mama meninggal ketika saya masih SD. Awalnya kami beragama animisme. Suatu ketika, seorang raja Timor masuk Islam. Saya bersama 16 anak disekolahkan oleh raja Gunawan Isu ke Pondok Pesantren yang ada di Pulau Jawa. Saya saat itu mendapat bapak angkat KH Idham Cholid di Ponpes Darul Qur’an Cisarua Bogor, Jawa Barat,” ujarnya.
Islam masuk ke pelosok Timor Tengah Selatan pada 1967 setelah Raja Suku Dawam, Usif Gabriel Isu atau Fetor Noebunu, memeluk Islam atas ajakan saudagar Bugis. Setelah menjadi mualaf, nama Gabriel Isu diganti menjadi Gunawan Isu. Mayoritas masyarakat mengikuti rajanya memeluk Islam, agama yang dijuluki akama boeb metan (agama peci hitam). Masuk Islamnya Gunawan Isu sempat membuat heboh, sampai anggota DPR RI saat itu, Lukman Harun (tokoh Muhammadiyah) diutus ke Timor Tengah Selatan untuk meredam gejolak.
Setelah menjadi muslim, kata Qodir, didirikanlah sebuah madrasah dan masjid di tanah wakaf Zulkarnain Isu (ayah dari Gunawan Isu). Untuk meningkatkan kualitas sumber daya umat Islam, Gunawan Isu mengirim 17 kader ke Pulau Jawa. Mereka adalah Abdul Qodir Lenamah, M. Tamrin Manu, Ahyar B. Liunokas, Moh. Salim Tabun, Kasim Taneo, Umar Asmau, Kasmad Takela, Abdullah Selan, Fakhruddin Tasip, Usman Sole, Mardan Sole, Moh Ali Yuda, Ali Tatang Sone, Hasan Sakan, Sutarman Nenosaet, Sabri Un, dan Alimin Leonutu.
Abdul Qodir Lenamah mulanya menempuh sekolah PGA di Jawa Barat. Lalu masuk Aliyah di Jakarta dan tamat tahun 1982. Setelah lulus, ia kembali ke kampung halaman dan mengajar di sebuah MI di Takari. Sampai suatu ketika, ia dipanggil oleh Ketua PWM NTT, Zainuddin Akhid, ditawarkan untuk kembali belajar ke Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shobron sembari berkuliah di Jurusan Ilmu Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Setelah tamat pada tahun 1986/1987, Qodir meminta SK Lembaga Dakwah Khusus Muhammadiyah untuk kembali berdakwah ke kampung halaman dan daerah-daerah terpencil. “Sebelum pulang, saya sempat bersilaturahim kepada Pak Idham Cholid yang menjadi Ketua Umum PBNU ketika itu dan Pak AR Fachruddin yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah.” Keduanya memberi pesan supaya Qodir berdakwah dengan membawa bendera Islam, dan mengesampingkan identitas sempit organisasi.
Hingga saat ini, sudah lebih dari 30 tahun Qodir berdakwah pada kebaikan. Seolah tidak mengenal kata pensiun untuk menyadarkan masyarakatnya. Ia terbiasa menempuh perjalanan kaki dan berkuda demi panggilan mulia. Fisiknya selalu prima. Ketika masih berkuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Qodir pernah meraih juara 2 lomba lari marathon dengan jarak 45 kilometer.
“Sekarang saya membawahi 25 masjid dan 6 mushala yang tersebar di 10 desa di Amanuban. Di masjid-masjid itu, saya menemukan banyak anak yang tidak bisa membaca dan menulis termasuk tidak bisa mengaji karena jauh dari tempat ibadah,” katanya. Kondisi ketertinggalan masyarakat selalu membebani pikiran Qodir.
Sekitar 20 kilometer jaraknya dari kampung Qodir, terdapat dua keluarga Muslim yang anaknya sama sekali tidak memperoleh pendidikan agama Islam. Selama ini mereka bersekolah di Sekolah Kristen. “Sejak saat itu, saya berkeinginan membuatkan panti asuhan yang menampung mereka yang letaknya jauh untuk belajar di sini,” ujarnya.
Tahun 2011, Abdul Qodir bersama beberapa kolega mendirikan Panti Asuhan Muhammadiyah. Panti asuhan ini mengajak anak-anak berkumpul, menghabiskan waktu dengan bermain dan mengaji di sore hari. Saat ini, lembaga yang diberi nama Panti Asuhan Abu Bakar Ash Shidiq ini menampung 20 anak miskin, yatim piatu, dan umumnya rumah mereka jauh dari masjid dan sekolah. Setelah panti asuhan berdiri, Qodir berkeinginan membangun masjid dan sekolah.
“Mulanya, saya mengumpulkan seluruh keluarga dari Islam, Kristen, Katolik. Saya bersama keluarga besar suku Lenamah memusyawarahkan lahan tidur ini supaya menjadi lahan hidup produktif,” katanya sambil menunjuk lokasi sekolah. Jika untuk pertanian saja, tidak akan maksimal, karena kondisi geografisnya yang kering kerontang. Keluarga setuju mewakafkan 7 hektar tanah pengunungan ini untuk mendirikan lembaga pendidikan formal dan nonformal. Mereka berharap tanah itu bisa mengatasi kebodohan dan keterisoliran desa. “Saya sebagai ketua PCM menerima amanah keluarga yang mewakafkan tanah ini,” ujarnya.
Qodir beruntung mendapat dukungan dari keluarga, meskipun tidak semuanya Muslim. Rahmawati Lanu, sosok istri yang dinikahi pada 1990, merupakan perempuan asli Timur, lulusan Sekolah Dasar yang kemudian menjadi mualaf. Saat ini, mereka telah dikaruniai empat anak, tiga di antaranya sedang menempuh pendidikan di Pulau Jawa.
Sehari-hari di rumah, Qodir dan istrinya menampung anak-anak lulusan Panti Asuhan. Tahun ini menampung 5 anak, sebelumnya sampai 10 anak. Alasannya, supaya anak-anak itu tetap bisa bersekolah di SMP yang jaraknya lebih dekat dengan rumahnya.
Kerja keras Qodir perlahan membuahkan hasil. Pada 2016, SD Muhammadiyah Mnelabesa yang mereka inisiasi mulai berdiri. Hanya ada tujuh siswa, tiga ruang belajar, dan sebuah masjid berukuran 25×25 meter, pada mulanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir bersama rombongan datang untuk meresmikan SD Muhammadiyah tersebut pada 6 November 2017. Perlahan, sekolah ini mendapat sambutan positif masyarakat yang terus didekati oleh Qodir. Para siswa terus bertambah menjadi 17, dan pada tahun 2019 sudah 34 siswa.
Di tahun 2018, konsorsium Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang terdiri dari UM Surakarta, UM Yogyakarta, UM Kupang, dan Uhamka, melakukan peletakan batu pertama pengembangan gedung SD Muhammadiyah Mnelabesa. Peletakan batu pertama dilakukan bersamaan dengan penyerahan izin operasional SD dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) setempat.
Izin operasional ini sempat menjadi rintangan. Lebih dari sepuluh kali, Abdul Qodir dan tim harus bolak-balik ke Dinas PPO, memenuhi semua kelengkapan administrasi. Utamanya karena jumlah guru dan jumlah siswa yang dinilai tidak layak untuk diberikan izin. Padahal, jika tanpa mendirikan sekolah ini, maka para murid harus ke SD Inpres terdekat yang berjarak lebih dari 10 kilometer. Jarak itu biasanya harus dilewati dengan berjalan kaki di medan terjal. Oleh karena itu, Qodir kukuh ingin membangun bangunan sekolah sembari membangun branding dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah ini.
Saya menemui seorang guru mata pelajaran PKN dan IPA SD Muhammadiyah Mnelabesa, Syamsudin Lemanah. Kesehariannya mengajar di SD yang dihuni para siswa Muslim, Kristen, dan Katolik itu, kata Syamsudin, diinspirasi oleh jalan dakwah Kiai Dahlan, yang tidak menghakimi muridnya yang beragam latar belakang. Tidak kaku atau tidak sekadar mengajar tentang benar dan salah dalam teologi. Lebih dari itu, para siswa diajarkan tentang nilai universal dan dimotivasi untuk memiliki etos maju.
“Pak Qodir sangat baik. Selalu punya niat tulus mendidik anak-anak bangsa. Membuka lapangan guna mengaplikasikan ilmu kami di bangku kuliah. Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tak berbuah. Mengajarkan kebaikan, akan mendapatan pahala. Pak Qodir, berdakwah tanpa mengenal alat transportasi. Berjalan kaki hingga 20 km. Dulu, tidak ada alat transportasi, sesekali pakai kuda dan semangat berdakwah hanya mengharap imbalan dari Allah,” kata Syamsuddin Lenamah yang juga Pengasuh Panti Asuhan Abu Bakar Ash Shidiq.
Kepala Sekolah, Yehus Fallo menuturkan bahwa sampai saat ini, terdapat 34 anak yang bersekolah dari kelas 1 sampai kelas 5 Sekolah Dasar. “Mimpinya kita segera punya SMP, sehingga lulusan SD Muhammadiyah ini bisa melanjutkan sekolah.” Sampai saat ini, seluruh siswanya memperoleh pendidikan gratis sampai lulus. Bahkan mereka dikasih seragam dari sekolah. Keseluruhan biaya untuk semua keperluan itu diusahakan oleh PCM Amanuban Timur dan Qodir sendiri.
Ditanya tentang gaji, Yehus Fallo menuturkan bahwa dirinya sebagai kepala sekolah mendapatkan jerih Rp 250.000, yang Rp 50.000 harus disumbang untuk biaya operasional sekolah. Sementara sembilan orang guru mendapat honor Rp 150.000, yang Rp 50.000 harus digunakan untuk operasional sekolah. Kecuali satu guru agama Kristen, semua guru merupakan lulusan sarjana. Honor yang kecil tidak mengendurkan semangat para guru. “Mengajar adalah pekerjaan utama kami, adapun berkebun adalah sampingan,” katanya.
Sekolah ini membumikan slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dalam praktik nyata. Mereka saling mengenal sub kultur masing-masing. Sejak awal proses pendirian, SD Muhammadiyah Mnelabesa ini tidak terlepas dari keragaman latar belakang. Qodir mendekati para tokoh Muslim, Kristen, Katolik, para leluhur adat. Kedekatannya dengan semua pucuk pimpinan lokal membuatnya mudah diterima semua kalangan.
Seorang penetua gereja, Simon Lopo, didapuk sebagai Sekretaris Komite Sekolah. Kata Simon, “Pak Qodir ini orang tua yang paling membangun. Dulu tidak ada apa-apa di sini. Kita mendukung sekolah ini, anak-anak jalannya tidak jauh. Agama itu urusan masing-masing, tidak perlu diganggu. Sekolah ini mengajarkan tentang pendidikan, bukan tentang agama Islam terus.”
Dengan Bahasa Indonesia yang terbata, Simon menunjukkan kebanggaan karena anaknya bersekolah di SD Muhammadiyah. “Anak saya ada tiga orang yang sekolah di sini: Sipre, None, Lidia. Satu kelas empat, dua anak ada di kelas tiga.” Kehadiran Muhammadiyah yang dibawa oleh Qodir telah ikut memajukan mereka yang di perbatasan. “Muhammadiyah di sini bagus. Berkat Muhammadiyah, anak-anak di sini bisa membaca dan menulis, ada juga anak-anak KKN (dari UMY) yang mengajarkan kita di sini.”
Sekretaris PWM NTT Muhsin Masyrik menyebut bahwa Qodir sudah ditokohkan oleh masyarakat setempat, karena dianggap orang berilmu dan mampu berkomunikasi dengan pemerintah, dan juga dengan Muhammadiyah. Ketika konflik tahun 2000 misalnya, Qodir bergerak cepat mendekati para tokoh agama dan tokoh adat, sehingga konflik tidak meluas.
Saat ini, Qodir diamanahi sebagai Ketua Forum Pembauran, Wakil ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), hingga Wakil Ketua Badan Pengawas Desa. Qodir sangat memahami pendekatan adat dan tradisi dalam membangun silaturahim dengan semua. “Kalau bertamu, bawa pinang 10 buah dan uang 5 ribu rupiah. Lima ribu ini bukan nilai, tapi makna. Baru setelah itu bicara,” kata Qodir.
Berkat kemampuan komunikasi Qodir, dampaknya secara langsung dan tidak langsung, dirasakan oleh banyak orang. Selain kesulitan air, masyarakat di Amanuban Timur juga mengalami keterbatasan akses listrik. Pada tahun 2017, Lazismu PP Muhammadiyah mengadakan program Indonesia Terang untuk tujuh desa di Timor Tengah Selatan. Ketua Lazismu, Andar Nubowo menyebut bahwa pihaknya memberikan 1.060 solar panel gratis untuk semua warga, Muslim dan non-Muslim. Di Tliu sendiri, hanya terdapat 30-an Kepala Keluarga Muslim dari jumlah 234 KK.
Masuknya listrik telah mengubah pola kehidupan warga. Adanya listrik membuat mereka bisa melakukan kegiatan di malam hari. Sekretaris PCA Amanuban Timur, Siti Aisyah Lenamah menuturkan bahwa ekonomi masyarakat lebih berdenyut setelah kehadiran Muhammadiyah. Pimpinan Cabang Aisyiyah Amanuban Timur kini membentuk sebuah kelompok usaha yang berjumlah 16 orang. Mereka membuat kripik, olahan pisang dan ubi, serta tenun kain. Tenun ikat dan tenun lotis (sotis/songket) menjadi andalan mereka. Namun, strategi pemasaran hasil karya tradisi ini masih perlu dipikirkan.
Kehadiran Abdul Qodir sebagai putra asli Oe Ekam telah memberi konstribusi besar bagi masyarakat di Amanuban. Ia memilih Muhammadiyah dalam misi mencerdaskan kehidupan anak bangsa di tanah cadas. Kiprahnya perlu menjadi inspirasi bagi Indonesia. []
Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI