BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Kasus seorang guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap 21 santrinya sendiri di Kota Bandung sangat menggegerkan publik tanah air.
Menurut Psikolog dan dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) Novy Yulianty, peristiwa memilukan ini sangat mencederai institusi pendidikan Islam pada khususnya dan mencoreng Islam sebagai agama yang mengedepankan welas asih kasih sayang dalam relasi guru-murid.
Novy menjelaskan, penyebab pelaku berbuat demikian bisa jadi karena beberapa hal. Misalnya pelaku mengalami penyimpangan seksual, gangguan kepribadian, atau gangguan jiwa berat lainnya.
”Saya belum bisa menyatakan diagnosis pasti, karena saya tidak memeriksa secara langsung terhadap pelaku. Namun, selain proses hukum yang harus terus berjalan, sebaiknya pelaku diberi penanganan terkait gangguan yang dialaminya, yaitu terapi psikologis oleh psikolog atau farmakoterapi (terapi obat-obatan) dari psikiater,” ungkap Novy, via pesan singkat, Sabtu 11 Desember 2021.
Kerja sama orang tua
Lebih lanjut Novy mengatakan bahwa dari sisi korban, tentu saja ini hal yang menyakitkan karena mereka membawa pengalaman buruk seumur hidup dan akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan yang menimbulkan trauma mendalam.
Ditegaskan Novy bahwa para korban wajib mendapat pendampingan psikologis agar kondisi psikisnya bisa kembali stabil. Apalagi bagi korban yang sampai melahirkan, kata Novy, ini tentu aja sangat berat karena harus menjalani peran sebagai ibu di usia dini.
”Dari fenomena ini, kita jadi banyak belajar bahwa dalam proses pembelajaran di institusi pendidikan mana pun, sangat diperlukan kerja sama dan komunikasi antara orang tua dan pihak institusi. Orang tua harus aktif terlibat dalam mengawasi anak-anak dengan sering bertanya bagaimana perasaan mereka selama berada di pesantren. Selain itu, orang tua juga diharapkan untuk selalu menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan guru,” tutur Novy.
Pengawasan
Institusi pendidikan termasuk pesantren, tutur Novy, perlu diawasi secara ketat oleh kementerian terkait (Kementerian Agama, misalnya) dalam proses pelaksanannya agar jangan sampai terjadi hal serupa.
”Orang tua dan guru pun perlu menekankan pendidikan seks di usia anak dan remaja, dimana mereka diajari tentang bagaimana memahami tubuhnya sendiri, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain terhadap tubuhnya,” ungkap Novy.
Di samping semua itu, Novy menjelaskan bahwa menumbuhkan asertivitas juga menjadi salah satu kunci. Arti asertif adalah kemampuan anak untuk menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan kepada orang lain dengan cara yang baik.
“Jadi, anak diajari untuk dapat menolak segala bentuk perilaku orang lain yang berpotensi merugikan dirinya. Misalnya, menolak kekerasan atau menolak pelecehan seksual dari orang lain termasuk dari gurunya sendiri,” pungkas Novy. (rpd)