YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Setiap manusia tidak ada yang terkecuali, pasti akan diuji oleh Allah dengan berbagai ujian, yang pertama adalah rasa takut, yang kedua kelaparan, yang ketiga adalah kehilangan harta, jiwa dan kehilangan sumber mata pencaharian.
Demikian itu adalah makna surat Al Baqarah ayat 155 yang disampaikan oleh Nurni Akma mengawali sambutan pada pelatihan mubalighah ligkungan hari kedua yang diselenggarakan oleh LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Sabtu (25/12/2021).
Ketua LLHPB PP ‘Aisyiyah itu mengatakan, mubalighah adalah orang yang mempunyai tugas untuk mengajak orang ke dalam kebaikan, amr ma’ruf nahi munkar. “Nabi mengatakan ‘Ulama adalah pewaris para Nabi. Jadi ‘Ulama atau mubalighah adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang harus disampaikan kepada masyarakat,”paparnya
Menurut dia, secara tidak langsung semua pengurus ‘Aisyiyah adalah mubalighah dan harus memiliki sifat-sifat kenabian minimal adalah: Pertama shidiq. Seorang mubalighah harus benar, benar dalam berkata, berbuat dan bertindak. Allah sangat marah kepada orang yang berkata tetapi tidak berbuat ( ), maka harus sesuai antara kata dan perbuatan.
Kedua amanah yaitu bisa dipercaya, bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Amanah inilah yang sangat sulit, maka Nabi bersabda, tidak ada artinya shalat seseorang yang tidak amanah, yang tidak bertanggung jawab. “Sementara kita ini adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban masing-masing,”tandasnya.
Ketiga fathonah yaitu cerdas, bukan cerdik. Maka sbeagai ibu, jangan mendongeng kepada anak-anak tentang kancil yang cerdik. “Kita akan mengajar kepada dia tentang bagaimana mendapatkan sesuatu walaupun dengan cara yang curang. Jadi fathona atau cerdas adalah mendapatkan sesuatu yang baik dengan cara yang baik atas perjuangan dirinya sendiri,”ujarnya
Keempat adalah tabligh yaitu menyampaikan. Sebagai gerakan dakwah, maka anggotanya adalah mubalighah, maka harus selalu berusaha menyampaikan kebaikan walaupun satu ayat.
Masih terkait surat Al Baqarah ayat 155 bahwa di antara ujian yang diberikan kepada hamba-Nya adalah rasa takut. Rasa takut inilah yang sekarang menjelma di ini bahkan dunia, orang takut terhadap virus, padahal Allah telah mengatakan, apa saja musibah yang menimpa di muka bumi ini semuanya telah tertulis di lauhilmahfud sebelum Allah menciptakan manusia. ‘Jadi apa yang terjadi ini adalah ketatapan Allah maka kita terima dengan sadar dan selalu mengucapkan innalillahi wa innaa ilaihi roji’un,”tuturnya.
“Ucapan itu tidak hanya ditujukan untuk orang yang meniggal saja, ketika dompet ibu menghilang, ibu juga bisa mengucapakan innalillahi wa innnailaihi roji’un. Bahkan Rasululllah mengajarkan do’a Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantilah dengan yang lebih baik lagi,”imbuhnya.
Kata Nurni, mubalighah lingkungan mempunyai tugas bagaimana membuat masyarakat menjadi sadar bahwa lingkungan higdup adalah sangat berharga bagi manusia. “Lingkungan hidup di negeri ini adalah ayat-ayat kauniah yaitu alam semesta, kita belajar darinya dan mengambil pelajaran darinya,” tutupnya.
Jihad Lingkungan
Sementara itu, Hening Parlan menyampaikan tentang perempuan penjaga bumi adalah berbicara tentang ibu bumi atau ibu pertiwi. Dalam islam, ibu ditempakan pada posisi yang mulia dan istimewa seperti yang terdapat dalam surat Luqman ayat 14.
Bagaimana dengan ibu bumi? Menurut Hening bahwa ibu bumi atau ibu pertiwi adalah sebutan lain dari alam semesta yang disifatkan sebagai perempuan bernama ibu. “Jadi alam itu diinterpretasikan sebagai ibu, jika alam disakiti, maka sakitlah ibu,”kata dia.
Sebagai perempuan penjaga bumi, kata dia adalah perempuan yang terlibat dalam gerakan eco jihad. Banyak sekali definisi jihad, namun yang perlu didengungkan menurut dia adalah perempuan ber-eco jihad.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan, Allah menciptakan alam semesta, bumi matahari dan bulan sudah beredar menurut perhitungan dan Allah menciptakan keseimbangan agar manusia tidak merusaknya.
“Dari sini kita melihat bahwa, betapa pentingnya eco jihad. Sebagai perempuan melihat bahwa kerusakan lingkungan di satu sisi dan menjaga lingkungan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat manusia,”ujarnya.
Menurut dia, dampak kerusakan lingkungan sangat besar sehingga hal itu tidak bisa dipahami dengan cara yang biasa saja, namun dipahami dengan cara yang lebih kuat. “Mungkin orang menamakannya dengan lebih revolusional, tetapi kita menamakannya dengan eco jihad,”tandasnya.
Lebih lanjut dia mejelaskan, menjadi mubalighah lingkungan adalah panggilan dakwah untuk menyelamatkan bumi dengan berbagai aksi. Seharusnya ajaran agama dijadikan praktek keseharian di mana gerak manusia beragama harusnya terus menerus sampai akhir hayat.
Kata Hening, menjaga lingkungan bukan sekarang dan akan datang namun juga berarti melakukan koreksi terhadap kebijakan masa lalu yang salah. Mejaga bumi adalah menyelamatkan generasi, apabila bumi rusak maka generasi akan hilang secara perlahan.
“Menjadi mubalighah lingkungan, artinya menjaga generasi yang akan datang, kalau bumi rusak, maka generasi kita akan hilang dan kita tidak mempunyai generasi yang baik,” pungkasnya.
Hening melanjutkan paparannya tentang pentingnya eco jihad bagi ‘Aisyiyah. Menurut ketua defisi lingkungan LLHPB PP ‘Aisyiyah itu bahwa, eco jihad merupakan panggilan dakwah dari nilai-nilai Islam yang berkemajuan.
Nilai Islam berkemajuan kata dia, diperkuat dengan proses sosialisasi dan peningkatan kapasitas, sehingga amalan praktis dalam bentuk proses inovasi dalam berbagai bidang yang itu ada dalam ‘Aisyiyah seperti pendidikan, universitas, keluarga sakinah, qoryah thayibah, kesehatan dan ditopang dengan kearifan lokal masing-masing wilayah akan menjadi dasar dari panggilan dakwah itu.
“Kita tahu bahwa, pengelolaan lingkungan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan semata. Kerusakan lingkungan ada karena struktural dan kultural. Oleh karena itu, kita membutuhkan mubalighah yang sangat beragam dari berbagai sektor,”paparnya.
Oleh karena itu, Hening menegaskan ‘Aisyiyah memiliki kewajiban yang melekat untuk dakwah sehari-hari yang dalam konteks kekinian adalah dakwah untuk merawat dan menjaga lingkungan yang dia mengistilahkan dengan eco jihad.
Menjaga Bumi
Wakil ketua LLHPB PP ‘Aisyiyah Rahmawati menegaskan bahwa gerakan ‘Aisyiyah dalam menyelamatkan bumi bukan karena trand namun ada dasar filosofi. Salah satunya adalah surat Al-A’raf ayat 57.
“Peran perempuan ‘Aisyiyah dalam surat Al A’raf ayat 56 yang menjadi dasar gagasan ‘Aisyiyah. Diperintah untuk menjaga bumi dan tidak melakukan kerusakan masa kini maupun masa datang. Apa yang kita lakukan masa kini, akan berdampak pada masa yang akan datang,” tegasnya.
Rahmawati menjelaskan bahwa tugas ‘Aisyiyah dalam menjaga bumi di antaranya konservasi Sumber Daya, pencegahan terhadap kerusakan dan rehabilitasi.
Kata perempuan yang akrab disapa bu Am itu, jangan sampai keluarga besar ‘Aisyiyah atau Muhammadiyah termasuk salah yang merusak hutan atau pengelola yang tidak bijaksana. “Misalkan kaplingnya banyak, ikut membangun perumahan tetapi tidak tahu bahwa daerah tersebut menjadi tempat resapan air yang tidak boleh untuk perumahan,” kata dia.
‘Aisyiyah sebagai organisasi yang di dalamnya ada individu, maka menurut dia, konsefasi menjadi tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab LLHPB saja.
Menurut dia, tidak hanya konserfasi tetapi juga tindakan pencegahan, seperti membatasi jumlah kendaraan dan juga hemat dalam menggunakan air. “Punya lima mobil empat motor misalkan. Itu adalah penyumbang polusi udara. Sepertinya sepele, jika anggota Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah 40 juta maka polusi udara makin bertambah,”ujarnya.
Menurut dia peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang kerusakan lingkungan serta dampaknya menjadi sangat penting, baik bagi kader mubalighah maupun obyek sasaran. Tidak hanya meningkatkan pengetahuan saja, Rahmawati menambahkan, mubalighah harus mampu mendorong, mengajak dan menfasilitasi.
“Mengajak dan menfasilitasi tidak bisa dilakukan sendiri tetapi pengorganisasian, di situlah fungsi ‘Aisyiyah sebagai organisasi,” tandasnya.
Dengan cara pengorganisasian kata dia, program dan kegiatan bisa terstruktur dan berjalan secara efektif.
Di samping itu kata dia, tugas ‘Aisyiyah untuk melakukan advokasi lingkungan, mengingatkan dan mendesak semua pihak konsisten untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan serta melindungi dari dampak kerusakan lingkungan, khususnya pembuat kebijakan. (Iwan Abdul Gani)