PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd hadir dalam acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah & ‘Aisyiyah yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah secara daring, Jumat (1/7). Acara tersebut mengusung tema “Moderasi Beragama dalam Perspektif Dakwah.”
Prof Mu’ti menyebut persoalan yang ditengah dihadapi oleh seluruh manusia di penjuru buana adalah ekstrimisme. Menurutnya, ekstimisme tidak hanya berkelindan dengan persoalan agama, akan tetapi juga pada persoalan politik, budaya, dan pelbagai ideologi-ideologi yang lainnya. Sebagian ekstrimisme bernuansa pada akar rumput agama.
“Kita melihat bahwa ketika dunia ini bergerak secara sangat cepat mendorong multikulturalisme, mendorong pluralisme, dan berbagai upaya untuk bagaimana masyarakat dunia itu lebih rukun, kita melihat di sisi lain yang merupakan paradoks dari berbagai ikhtiar itu,” terangnya saat memberikan keynote speech di acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah & ’Aisyiyah.
Dalam konteks yang bersifat local, nasional, dan internasional ada keterkaitan yang menyangkut masalah fobia terhadap kelompok atau agama tertentu. Akar ekstrimisme jua terjadi pada ruang lingkup budaya dengan ditandai munculnya rasisme atau munculnya fasisme yang hingga detik sekarang ini masih eksis dalam kehidupan masyarakat era modern.
“Berbagai kelompok yang mereka juga secara ekstrim menyuarakan ideologi-ideologi tertentu bisa juga kita sebut secara ekstrim. Misalnya kelompok-kelompok yang mendorong liberalisme secara berlebihan, itu juga menurut saya termasuk kategori ekstrim. Karena ekstrimisme itu sebenarnya akarnya adalah sikap berlebih-lebihan yang berkaitan dengan pandangan tertentu atau perilaku tertentu,” tandasnya.
Kemudian, dalam spektrum yang luas lagi, ada juga istilah xenophobia. Yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal; kebencian pada yang serba asing. Dan yang lebih popular sekarang menyangkut islamophobia. Pada saat yang sama, ada juga kelompok anti terhadap antisemitisme.
“Dan itu semua menurut saya adalah bagian dari sebuah realitas dunia modern, di mana ekstrimisme ada di mana-mana, tidak hanya ada pada agama bahkan tidak terbatas pada agama tertentu. Ketika kita berbicara mengenai moderasi beragama, kita bicara mengenai ekstrimisme yang bernuansa atau yang berakar pada agama,” katanya.
Moderasi beragama pada awalnya digagas dan dikembangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia pada masa Menteri Dr Lukman Hakim Saifuddin. Masa itu karena terjadi konsen terhadap berbagai hal yang terjadi di Indonesia yang sebagiannya bermuara pada agama.
“Istilah moderatisme itu dipilih di antara istilah yang selama sekian lama menjadi diskursus di ruang public Ketika orang bicara mengenai radikalisme dan deradikalisasi. Yang sejak awal Muhammadiyah menyampaikan ketidaksetujuannya dengan dua istilah itu, karena persoalan yang berkaitan dengan problem definision, dan juga persoalan yang berkaitan dengan bagaimana kemudian Ketika itu dilakukan sebagai sebuah gerakan dan pengambilan kebijakan,” tukasnya.
Dalam dunia internasional, deradikalisasi tidak lagi dipergunakan istilah tersebut. Lalu dikembangkan dengan istilah contervailen extrimisim. Disitu digambarkan ada ekstrimisme yang tidak bernuansa kekerasan. Dan ada jua ekstrimisme yang dilandasi dengan pemahaman ekstrim dan juga melegalkan tindakan kekerasan.
“Tapi di atas arus itu semua, Muhammadiyah sejak awal konsisten menggunakan istilah moderat. Dan istilah moderat itu yang memang menjadi bagian dari bagaimana Muhammadiyah mendorong keberagamaan yang wasathiyah, yang itu juga menjadi bagian dari arus besar gerakan Muhammadiyah. Yang diperkuat walaupun sebenarnya asal mula Gerakan Muhammadiyah itu adalah gerakan yang memang sejak awal bersikap moderat (tengahan), tetapi kemudian itu perlu ditegaskan kembali di berbagai arus yang ada, Ketika kita memang tidak bisa terlepas dari dinamika politik yang ada di tanah air kita,” ungkapnya.
Menurutnya, Muhammadiyah sejak awal konsisten menggunakan istilah moderatisme sebagai bagian dari penerjemahan konsep wasathiyah Islam. Yang mulai digelorakan kembali pasca perhelatan Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010.
Gagasan moderasi agama yang digemakan oleh Kementerian Agama tersebut di atas, pada awalnya hanya khusus umat Islam. Namun, dengan dilaksanakannya diskusi panjang, Mu’ti menyampaikan jika ekstrimisme keagamaan tidak hanya ada pada zona masyarakat Islam. Tetapi ada di semua agama di dunia menurut beberapa penelitian.
“Dan oleh karena itu maka kemudian, terma moderasi beragama itu diangkat dalam lingkup yang lebih luas. Tidak hanya kaitan dengan umat Islam, tetapi juga pada umat beragama secara keseluruhan. Tetapi menurut saya, satu hal yang tidak boleh kita abaikan adalah kecenderungan ekstrimisme-ekstrimisme politik yang mungkin dia tidak berbasis agama atau kemudian dalam konteks tertentu berusaha untuk mendiskreditkan agama,” ujarnya.
Dalam konteks fenomena kekinian yang tengah menjadi perbincangan publik mengenai model promosi holywings adalah salah satu contoh sikap ekstrimisme di mana secara terus-menerus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap keyakinan agama.
“Menurut saya, itu tidak hanya sesuatu yang terjadi semata-mata karena motivasi bisnis, tapi behind behind the promotion, di balik promosi itu menurut saya ada ideologi-ideologi yang memang sejak awal mereka tidak suka kepada agama dan mereka juga berusaha untuk mendiskreditkan agama atau memancing kemarahan umat beragama,” tutunya.
Dalam konteks luas, ada juga gerakan ultranasionalisme yang dalam beberapa hal menjadi bagian dari ekstrimisme dalam paradigma yang berbeda.
Kemudian, Prof Mu’ti menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang wasathiyah. Kata wasathiyah ditemukan dalam redaksi QS al-Baqarah [2]: 143, yakni kata ummatan wasathan yang dikaitkan dengan khaira ummah atau umat (komunitas) yang terbaik. Bisa juga secara posisi berada di pertengahan, artinya tidak berada di kanan atau kiri, walaupun mungkin tidak benar-benar di tengah.
“Ketika kita berbicara tentang pengertian ini, maka wasatha itu sering kali disebut sebagai sesuatu yang dia bisa saja di tengah tapia gak condong ke kanan mungkin, atau di tengah tetapi agak condong ke kiri , sehingga sikap tengahan itupun sebenarnya bisa dikaji lebih lanjut dalam studi-studi yang lebih mendalam lagi,” katanya.
Tidak sampai disitu, wasatha bisa berarti umat yang adil. Umat yang adil bisa adilun fil ‘ilmi dan adilun fil khukmi. “Jadi seseorang yang adil secara keilmuan itu seorang yang dia bisa berlaku objektif (adil) karena ilmunya. Dan seorang ilmuwan itu berbeda dengan yang lain karena sikapnya yang adil (objektif), sehingga sering kita bicara mengenai objektivitas ilmiah. Untuk mencapai objektivitas ilmiah itu, tentu kita harus merefresh kepada banyak hal dan mengambil sikap secara objektif,” terangnya.
Yang penting lagi wasathiyah dikaitkan dengan keseimbangan. Sehingga ekstrimisme dalam berbagai bentuk yang berkaitan dengan sikap-sikap di mana cenderung keras dan sebagainya menjadi bagian dari pengertian wasathiyah. Yang mengajarkan keseimbangan antara yang bersifat material dengan spiritual, dan antara duniawi dan ukhrawi.
Prof Mu’ti juga mengatakan cara mengimplementasikan moderasi beragama. Pertama, moderasi tidak berarti menjadi sinkretisme, di mana mencampuradukkan ajaran agama. “Menjadi moderat itu justru adalah sikap di mana kita menegaskan sikap dan pandangan kita (identitas) keagamaan kita. Tetapi pada saat yang sama kita bisa menerima mereka yang berbeda. Sehingga bersikap moderat itu bukanlah sikap di mana kita juga berusaha untuk bagaimana menyembunyikan identitas keberagamaan kita. Itu saya kira juga bukan pandangan dan bukan bagian moderatisme itu,” katanya.
Kedua, sikap moderat di mana tetap mengakui eksistensi kelompok lain. Islam agama yang tidak menegasikan eksistensi agama lain. Tarikan napas QS al-Kafirun [109]: 6 lakum diinakum waliya din mengandung secercah pesan sarat makna bagaimana agama Islam memandang eksistensi agama-agama yang lain.
“Islam bukanlah agama satu-satunya, dan umat Islam bukanlah umat satu-satunya. Ada banyak masyarakat yang berbeda-berbeda agama dan ada banyak sekali agama. Tetapi di atas semua itu umat Islam tidak boleh menyembunyikan keyakinannya dan juga kemudian tidak boleh menafikan eksistensi agama lainnya, tapi di atas semua itu ada sikap di mana kita memberikan kesempatan kepada pemeluk agama yang lainnya untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk juga dapat untuk menjadi manusia yang baik menurut keyakinannya,” katanya.
Ketiga, harus moderat dalam pikiran dan juga bersikap serta pengambilan kebijakan. “Ini menurut saya penting ketika kita berbicara mengenai bagaimana moderatisme dalam kaitannya dengan governance,” ujarnya. Prof Mu’ti juga menyebut contoh perbedaan Idulfitri dan Iduladha. Menurutnya, ketika terjadi perbedaan Iduladha, sebagian kalangan menjadi khatib sebanyak dua kali. Banyak orang beranggapan sebagai sikap moderat.
Tapi menurutnya, jika sudah berkeyakinan pada prinsip bahwa Iduladha bertepatan hari itu (baca: 9 Juli), itulah yang harus dilaksanakan sebagai bagian keyakinan. Tidak perlu menjadi khatib sebanyak 2 kali.
“Menjadi moderat sekali lagi orang yang mempunyai prinsip terhadap keyakinannya akan tetap respect dan akomodasi mereka yang berbeda,” ujarnya.
Keempat, tidak bisa memaksakan sesuatu agama kepada orang lain. Dakwah menurutnya bak beriklan. Yakni menyampaikan yang menjadi produk, pandangan, dan keunggulan kita, dan orang lain yang akan menilainya. “Sehingga dalam konteks ini, saya mungkin punya pandangan terhadap dakwah yang agak sedikit berbeda. Saya berpendapat bahwa berdakwah itu adalah proses sistematis yang kita laksanakan untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin,” tandasnya. (Cris)