SUDAN, Suara Muhammadiyah – Sudan ialah salah satu destinasi kelimuan bagi para Thalib ilm yang menginginkan melanjutkan jenjang studi tingkat tingginya, atau mereka yang ingin merasakan hangatnya bertadabbur Syar’i melalui pendidikan non formal yang dibawakan oleh masyaikh yang ikhlas dan tulus dalam mengajarkan keilmuan agama. Semua itu menandakan khaznah islam yang melekat di bumi dimana bertemunya dua nil, yakni nil putih dan nil biru.
Sebuah Ungkapan yang masyhur di kalangan diaspora Indonesia di Sudan mengatakan “sudan langitnya tipis”, yakni antara do’a dengan kenyataan sangatlah dekat. Ungkapan tersebut bisa dibilang ialah sebagai hasil dari keberkahan yang memancar dari masyarakat sudan. Jikalau azan sudah berkumandang, masyarakat berduyun-duyun menghentikan aktivitasnya lalu bergegas menuju masjid atau berhenti di pinggir jalan untuk menggelar shalat berjamaah, suatu hal yang tidak asing bagi masyarakat sudan dalam melaksanakan shalat berjamaah di pinggiran jalan.
Ungkapan lain mengatakan “hidup di sudan sangatlah berat, bertambah berat jika meninggalkannya”, menggambarkan perjuangan yang berat untuk hidup di sudan dengan keadaan listrik yang hampir konsisten mati di jam-jam tertentu, ditambah dengan biaya pendidikan yang cukup mahal, serta biaya kebutuhan hidup yang sudah seperti di Jakarta, terakhir ialah menunggu kapan dimulainya kuliah juga membutuhkan ekstra kesabaran, walaupun alhamdulillah beberapa semester belakangan membaik.
Kesulitan hidup tersebut pada faktanya sangat memberatkan diaspora Indonesia di Sudan, tak banyak mereka dalam tanda kutip “pulang kampung duluan” karena ada kondisi yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan perjuangan di Sudan, namun terlepas dari berbagai macam cobaan yang menimpa, Sesuai dengan perkataan Pak Suhaji Lestiadi “Akar dari masalah adalah solusi” banyak senyuman kebahagiaan serta rasa haru yang tergoreskan di dalam sanubari mereka. Kenangan belajar bersama, menghafal mutun ilm, berdiskusi, bersilaturahmi antar elemen masyarakat, membuat sudan sangat spresial, yang menyebabkan adanya setetes air mata yang keluar dari mereka yang sudah selesai perjuangannya di negeri ini.
2021 awal terjadi banjir terbesar dalam kurun waktu satu abad yang menimpa salah satu daerah di sudan. Kala itu Lazismu Sudan bersama beberapa elemen mahasiswa bergerak untuk membantu meringankan beban mereka, sekaligus menjadi bakti memberi dan melayaninya Indonesia untuk Sudan. Kala itu diberi nama kegiatannya dengan “Sudan Memanggil”.
Penggalangan dana dilakukan dalam rentang waktu satu bulan, melibatkan semua pemilik akun media sosial, hatta ustadz Abul Somad pun membantu mempromosikan kegiatan sosial tersebut. Donasi yang di hasilkan dari penggalangan dana sangatlah besar, membuat pelaksanaan aksi bisa dipercepat.
Dihari yang telah disepakati segerombolan masyarkat indonesia telah memenuhi 2 bis besar yang telah disewakan, dari waut wajahnya sangatlah sumringah, mungkin karena dampak memberi itu candu. Beberapa jam kemudian sampailah di tempat kejadian, tempatnya persis di deket Sungai Nil. Tenda-tenda telah di pasangkan untuk menjadi tempat tinggal sementara penduduk setempat. Beberapa bangunan roboh karena diterjang air sungai yang sangat kencang, dari ungkapan warga setempat “banyak rumah yang sudah tidak layak ditinggali, namun terdapat sebuah masjid yang kondisinya aman, hanya sedikit terkena dampak banjir”, sangat tertegun mendengarnya.
Rangkaian agenda tersebut dimulai dari sambutan perwakilan Diaspora Indonesia, dan kemudian dilanjutkan oleh prakata dari semacam orang yang dituakan di daerah tersebut. Kemudian barulah acara inti yakni, pemberian sembako, dan selimut bagi para pengungsi korban banjir sudan. Dalam acara inti tersebut sangat jelas raut kebahagiaan dan sesekali terlihat ada luapan air mata yang keluar dari penduduk setempat. Kata “Syukran” dan pelukan merupakan tanda sayang mereka kepada Indonesia.
Semangat untuk melanjutkan spirit PKO di Sudan oleh diaspora Indonesia telah mengilhami banyak aksi kegiatan kemanusiaaan lainnnya. KH Ahmad Dahlan sebagai penggegas lahirnya PKO mungkin sudah tidak ada secara fisik atau jasadnya, namun secara spiriti dan pemikiran PKO akan selalu hidup di dalam sanubari masyarakat Indonesia, wabil khusus ole Lazismu yang saat ini menginjak usia 20 tahun.
Biarkan Khartoum menjadi saksi, bahwa masyarakat indonesia sangatlah memiliki empati yang tinggi terhadap masyarakat sudan, juga biarkan khartoum menjadi saksi atas aksi memberi tuk sesama Lazismu Sudan dalam meningkatkan taraf kehidupan menuju yang lebih baik lagi, dan paling akhir biarkan khartoum menjadi saksi atas goresan senyuman dan hangatnya pelukan kepedulian terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Pada akhirnya kebahagiaan itu datang jikalau kita bisa saling bersama-sama dalam membantu saudara kita. (Hanief Arkaan)