Belajar Etos Berkemajuan dari KH Ahmad Dahlan dan Max Weber

Etos Berkemajuan

Ilustrasi Dok SM

Belajar Etos Berkemajuan dari KH Ahmad Dahlan dan Max Weber

Oleh: Agusliadi Massere

Mewujudkan impian atau pun visi dan misi hidup membutuhkan sebuah etos berkemajuan. Secara sederhana etos berkemajuan ini saya memaknainya sebagai semangat, spirit yang lahir dari cara pandang atau pandangan hidup yang berbasis pada nilai tertentu, termasuk berupa agama atau ajaran agama yang mengedepankan jiwa terbuka terhadap setiap perubahan, mampu memberi solusi dan mendorong pada pencapaian kemajuan.

Berharap memiliki etos, kita patut belajar dari dua sosok fenomenal, yang meskipun keduanya memiliki latar belakang berbeda, tetapi ada hal yang sama pada diri mereka berdua. Persamaan yang dimaksud jika harus disederhanankan adalah keduanya menjadikan atau minimal setuju dan menemukan bahwa agama mampu menjadi basis untuk mewujudkan etos yang berkemajuan. Nilai dan ajaran agama menjadi spirit dalam menjalani kehidupan duniawi dan menggapai capaian-capaian yang gemilang.

KH Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 dan wafat pada tanggal 23 Februari 1923, sedangkan Max Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 dan meninggal pada tanggal 14 Juni 1920. Andaikan keduanya lahir dan hidup pada daerah atau wilayah yang sama, maka keduanya adalah teman “sepermainan” (sebaya), meskipun Weber 4,3 tahun lebih tua dari Kiai Dahlan.

Saya berimajinasi, membawa peradaban digital ke masa kehidupan keduanya. Kemungkinan besar keduanya melakukan pergumulan dan pergulatan pemikiran, atau minimal keduanya masing-masing saling meng-follow akun media sosialnya meskipun lahir pada dua benua yang berbeda dan berjauhan secara geografis.

Memiliki latar dan basis yang berbeda, tetapi bisa memunculkan dugaan dan pertanyaan, apakah Weber terinspirasi dari pemikiran Kiai Dahlan atau sebaliknya Kiai Dahlan yang terinspirasi dari Weber? Meskipun bacaan saya masih sangat terbatas dan sederhana, tetapi saya yakin keduanya tidak pernah mengalami pergumulan dan pergulatan pemikiran, jadi tidak mungkin saling terinspirasi atau ada yang terinspirasi dari yang lain.

Weber adalah ilmuwan sosiologi agama, maka Kiai Dahlan bisa disimpulkan sebagai praktisi sosiologi agama. Kiai Dahlan tidak banyak meninggalkan pemikiran secara tertulis, andaikan semua akan sepakat bahwa dirinya selain sebagai praktisi, bisa pula dipandang sebagai ilmuwan sosiologi agama.

Mengapa harus belajar dari keduanya: Kiai Dahlan dan Weber? Kita ketahui bersama, dan jika mau jujur mengakui, sesungguhnya tesis Francis Fukuyama yang menyimpulkan akhir dari sebuah sejarah dan dimenangkan oleh kapitalisme, itu adalah benar. Dan Weber menemukan bahwa semangat kapitalisme yang mampu mencapai kegemilangannya itu karena berasal dan/atau berbasis pada etika protestan.

Muhammadiyah pun, kita akan membohongi hati ini jika tidak mengakui kemajuan yang dicapai dari sejak kelahirannya sampai memasuki atau melintasi abad keduanya. Kiai Dahlan mampu melahirkan Muhammadiyah yang terus eksis sampai hari ini dan sebagai Ormas Islam modern terbesar di dunia, karena dijiwai oleh etika Muhammadiyah yang bernafaskan paradigma Islam Berkemajuan.

Dari Zakiyuddin Baidhawy & Azaki Khoirudin (2017), saya memahami bahwa Weber dalam konteks kapitalisme dan Protestan (agama), sesungguhnya mengerucut pada pembahasan hubungan antara etos keagamaan dan aktivitas ekonomi. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari magnum opus Weber yang berjudul The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam karya Weber ini yang fokus dikaji adalah aspek psikologis, laku asketisme dan calling sebagai etos kaum puritan Protestan yang mendorong lahirnya kapitalisme. Ini salah satu poin penegasan Zakiyuddin & Azaki.

Dari Zakiyuddin dan Azaki, saya pun memahami bahwa Kiai Dahlan dalam konteks Muhammadiyah dan Islam (agama) digerakkan oleh etika welas asih sebagai kolaborasi antara pemikiran dengan renungan hati dan akal suci dengan berpijak kepada Al-Qur’an, yang memandang perlunya gerakan pelayanan sosial berbasis agama.

Baik dari Kiai Dahlan dengan etika Muhammadiyah-nya maupun dari Weber dengan Etika Protestan-nya bisa dimaknai bahwa nilai atau ajaran agama tertentu mampu menjadi basis dan spirit untuk mendorong lahirnya pencapaian-pencapaian spektakuler dalam kehidupan duniawi. Selama ini masih ada dan bahkan disinyalir mulai dipolitisasi pada masa elit kolonialisme, melahirkan pemahaman untuk pribumi bahwa agama hanya untuk urusan private di ruang private.  Agama tidak atau minimal jarang hadir memberikan nilai dan solusi di ruang publik.

Belajar etos berkemajuan dari Kiai Dahlan dan Weber, menumbuhkan kesadaran pentingnya agama dalam kehidupan sosial dan ruang publik. Meskipun demikian bukan berarti, khususnya dalam konteks bangsa dan negara Indonesia, untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dengan ideologi agama, seperti perjuangan pendirian “khilafah” atau menjadikan “Indonesia sebagai negara Islam”.

Selain memantik kesadaran pentingnya agama hadir dalam kehidupan sosial dan ruang publik, belajar dari Weber, bisa pula menegaskan bahwa selama tidak menciderai dimensi akidah yang diyakini, kepada siapa pun kita bisa belajar dan mengambil spirit dan mata air keteladanan. Mengapa ini penting saya tegaskan? Karena dalam kehidupan, saya masih menemukan, tidak sedikit terkesan anti pemikiran Barat, tetapi pada sisi atau dimensi lain, tanpa disadari dirinya sedang sangat “intim” atau “khusyuk” menikmati produk dan hasil kemajuan Barat.

Dalam hal belajar secara terbuka kepada siapa saja, tanpa memandang latar belakang ideologi dan agama, Kiai Dahlan merupakan teladan terbaik. Kiai Dahlan mampu mengembangkan sekolah modern dan termasuk pelayanan kesehatan karena belajar dari pihak lain yang memiliki latar belakang ideologi dan agama yang berbeda. Meskipun pada saat itu harus dikecam dan dituduh “kafir”.

Belajar dari Weber (2019: 21), terutama terkait “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”-nya mampu mendapatkan “penjelasan tentang dunia modern, khususnya untuk menandingi penitik-beratan Marxian terkait dominannya kepentingan-kepentingan akan ‘materi’ saat menganalisis proses-proses historis. Saya, begitu pun pembaca tentunya sepakat bahwa proses sejarah jangan hanya fokus pada dimensi material, tetapi ada nilai, jiwa, etos dan konsepsi yang melatar belakanginya, khususnya agama.

Dari Kiai Dahlan, kita menyadari bahwa dalam proses sejarah, tanpa kecuali sejarah Muhammadiyah, itu dijiwai oleh etos welas asih, etos al-Ma’un, dan etos Al-Ashr dan ini pun secara tidak langsung menjadi modal perjalanan sejarah bangsa dan Negara Indonesia, termasuk masih dibutuhkan untuk merintis masa depan Indonesia. Intinya menitip beratkan pentingnya menghadirkan nilai dan ajaran agama, tentunya yang memiliki etos berkemajuan.

Bagi Ahmad Norma Permata: Pertama, agama dalam sejarah manusia merupakan mekanisme institusionalisasi atau jalan untuk membangun kehidupan; Dan kedua, Agama sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi.

Hans Kung (dalam Zakiyuddin & Azaki, 2017:20-21), “agama Islam berperan besar dalam memberikan fondasi etika global sebagai dasar dialog antarperadaban. Dalam Islam terkandung standar etos dan nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai global diharapkan dapat memberi kontribusi bagi krisis dunia”.

Apa yang menjadi pandangan Hans Kung, sesungguhnya telah dipraktekkan dengan baik oleh Kiai Dahlan, dan dalam konteks etos Muhammadiyah bisa disejajarkan dengan “Pandangan Islam yang Berkemajuan. Seperti apa Pandangan Islam yang Berkemajuan, yang sejak awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan telah meletakkan secara kokoh pandangan ini?

Dalam Lampiran Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 46 ditegaskan, “Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Adapun dakwah dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan untuk mewujudkan Islam sebagai agama bagi kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman. Dalam Perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan agama yanbg berkemajuan (din al-hadlarah), yang kehadirannya membawa rahmat bagi alam semesta”.

Dalam konteks kehidupan kebangsaan Indonesia hari ini: Baik sebagaimana perspektif Yudi Latif, seperti yang bisa dipahami, bahwa salah satu hal yang menyebabkan Pancasila dan nilai-nilainya tidak bisa tumbuh subur karena masih banyak warga negara yang lebih berorientasi “The Love of Power” daripada “The Power of Love”.

Pandangan Yudi Latif ini, jika bercermina pada etos yang yang dmiliki dan diwariskan oleh Kiai Dahlan, dan telah mengiringi perjalanan Muhammadiyah melintasi abad keduanya, telah mencerminkan “The Power of Love” (Kekuatan Cinta). Bukan sebaliknya, yaitu “The Love of Power” (Cinta Kekuasaan).

The Power of Love dalam diri Kiai Dahlan dan para penerusnya, tergambar dengan jelas atas kemajuan-kemajuan spektakuler yang dicapai oleh persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun, Kiai Dahlan menggunakan frasa yang berbeda “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Andaikan yang diwariskan adalah the love of power, bisa dipastikan, Muhammadiyah hari ini tidak bisa eksis dan mengalami kemajuan spektakuler seperti keadaan hari ini. Kekayaan Muhammadiyah sangat luar biasa, bahkan dinilai sebagai organisasi terkaya di dunia, tetapi ketika ada yang bertanya, berapa gaji pimpinannya. Jawaban tegasnya mereka tidak digaji sepersen pun. Prof. Haedar Nashir, selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama jajaran pimpinan lainnya, di tingkat bawah sekalipun, tidak ada satu pun yang digaji. Inilah keluarbiasaan Muhammadiyah yang mencerminkan the power of love sebagai bagian dari penjabaran spirit Islam Berkemajuan.

Sebagaimana ditegaskan di atas, sesuai yang dikutip dari Tanfidz  Muktamar Muhammadiyah ke-46, bahwa cita-cita dan pandangan Islam Berkemajuan berupaya mewujudkan kebaikan dalam bentuk—salah satunya saja—keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Andaikan para pimpinan Muhammadiyah, khususnya dijajaran elit hanya berorientasi pada keunggulan hidup lahiriah, maka bisa dipastikan sudah ada yang berupaya membuat aturan agar jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, minimal, digaji dan mungkin dengan angka bombastis. Tetapi nyatanya tidak, justru para pimpinan itu yang seringkali menyumbangkan harta pribadinya.

Peletak dasar spirit ini adalah Kiai Dahlan, dan menjadi warisan ideologis dan teologis sebagai bentuk eksternalisasi atas pemahaman keislamannya yang sangat berkemajuan. Dan bahkan ini telah mengalami kristalisasi dalam bentuk etos gerakan yang luar biasa. Jadi tidak berlebihan jika ormas lain, khususnya dalam persoalan etos berkemajuan patut belajar terhadap diri Kiai Dahlan dan/atau Muhammadiyah. Atau seseorang patut belajar pada dirinya, bahwa jika mendirikan organisasi apalagi yang memang tujuannya untuk kemaslahatan umat atau kemanusiaan, jangan dinodai dengan orientasi kepentingan pribadi yang sangat besar, yang bisa merugikan masyarakat dan termasuk organisasinya sendiri.

Berbeda dengan Weber, etos kemajuan Kiai Dahlan memiliki indikator bangunan kemajuan yang secara konkret bisa kita saksikan dalam realitas kehidupan, khususnya di bumi Indonesia. Weber sesungguhnya lebih pada pemikiran yang berkemajuan. Maka tidak kelirulah pula, ketika Kiai Dahlan lebih sering disebut sebagai “Man of Action”.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD.  Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komsioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023

Exit mobile version