Perpisahan yang Sesungguhnya

Perpisahan yang Sesungguhnya

Oleh: Alif Sarifudin Ahmad

Seandainya celamu banyak di mata manusia,

Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.

Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan,

karena dengannya,

Akan tertutupi segala cacat sebagaimana masyhur katanya.

(Puisi Cinta Imam Syafii)

Perpisahan suatu saat pasti akan terjadi. Bukan hanya perpisahan di tempat belajar, tempat kerja, tetapi perpisahan juga terjadi dalam rumah tangga. Anak yang lebih mendahului orang tua sering kita saksikan akhir-akhir ini. Secara umur mestinya anak-anak meninggal setelah orang tua. Tetapi perpisahan tidak sesuai dengan kebiasaan dan sewajarnya perpisahan yang sesungguhnya kembalinya kepada takdir Allah.

Perpisahan yang sesungguhnya yaitu ketika ruh keluar dari jasad yang sudah lama bersama. Yang pertama lepas dari kita adalah nama kita. Saat kita meninggal dunia, orang-orang bertanya, “​​Di mana mayatnya?”​​ Mereka tidak lagi memanggil dengan nama kita. Nama kita tinggal kenangan belaka. Ketika mereka akan menyolatkan, mereka berkata, “Bawa kesini jenazahnya.!!!​​ Mereka tidak lagi menyebutkan nama.. Betapa cepat nama kita hilang berlalu.

Ketika mereka akan menguburkan kita, mereka berkata: ​ “Dekatkan mayatnya.!”​ tanpa menyebutkan nama kita. Karena itu, Janganlah tertipu oleh kehormatan, status sosial dan kelebihanmu! Jangan terperdaya oleh kedudukan, jabatan dan nasab keturunanmu!​Alangkah fananya dunia ini… dan betapa besar apa yang akan kita hadapi nanti.

Kesedihan orang atas kepergian pada perpisahan yang sesungguhnya ada 3:

1.Orang yang mengenal kita sepintas akan mengatakan, “​​Kasihan…!!​​”

2.Teman dan sahabat kita akan bersedih beberapa saat atau beberapa hari, kemudian mereka  kembali pada rutinitas dan canda tawa mereka..

3.Kesedihan mendalam di rumah. Keluarga kita akan bersedih seminggu, satu-dua bulan atau hingga satu tahun, Kemudian mereka akan meletakkan foto kita dalam album kenangan.

Demikianlah kisah kita di dunia sebagai sahabat: Sahabat seperjuangan, sahabat belajar, sahabat kerja, sahabat berkompetisi hingga ending dari sebuah cerita persahabatan adalah perpisahan. Terakhir, kita hanya tinggal dalam ​ Album kenangan​. Hikmah terbesar dari perpisahan adalah bahwa di dunia itu tidak ada yang abadi. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Yang terbaik di antara kita selama pertemuan adalah bagaimana memberi manfaat dan kebahagiaan kepada orang lain.

Sesungguhnya penduduk Surga, jika telah memasuki ke Surga dan tidak mendapati sahabat-sahabat mereka yang dulu ketika di dunia bersama-sama dalam kebaikan, maka mereka akan memberikan syafaat untuk para sahabat tersebut di hadapan Allah seraya berkata:

“Wahai Rabbku, sesunggunya kami memiliki sahabat-sahabat yang dahulu shalat bersama kami, dan puasa bersama kami, namun saat ini kami tidak melihat mereka di Surga.” Lalu Allah Azza wa Jalla berfirman: “Pergilah ke Neraka dan keluarkanlah orang-orang (Sahabat kita) yang di dalam hatinya masih punya iman meski sekecil zarrah (Biji kecil).”

Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata: “Perbanyaklah sahabat-sahabat Mukmin, karena meraka akan dapat memberikan syafaat pada hari Kiamat.”

Apabila orang-orang  kafir melihat yang demikian, mereka mengatakan: “Tidak ada yang memberi syafaat kepada kami dan kami tidak mempunyai seorang teman pun sekarang.” Maka selama kita masih diberi kesempatan bersahabatlah dengan ikhlas. Sahabat dekat yang ikhlas adalah yang mengajakmu ke Surga. Bukan sahabat yang hanya memandang kesenangan dunia, mengumbar hawa nafsu, bahkan tujuannya karena keuntungan materi.

Para pembaca yang budiman tugas kita di dunia adalah menjaga hati dalam persahabatan dan menebar kebaikan agar bersahabat hingga ke surga. Jangan sakiti hati sesama orang yang beriman. Dendam, iri, dengki, hasud harus dibersihkan dalam persahabatan sesama mukmin. Rasulullah Shallallahu Alaihi WaSallam bersabda:

Dari Abu Hamzah Anas Bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu pembantu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ” Tidak sempurna Iman seseorang sehingga ia mencintai saudaanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. ” [HR Al-Bukhori dan Muslim]

Cinta itu tidak harus memiliki sepenuhnya. Ketika kita mencintai harta bukan berarti harta itu untuk dihabiskan membabi-buta, berfoya-foya dan ujung-ujungnya jadi musibah, bukan itu konsep mencintai harta bagi orang yang beriman. Tetapi mencintai harta berarti mempergunakan harta sebaik-baiknya agar bisa bermanfaat untuk orang lain dan makhluk yang lain sebagai bukti kita beribadah kepada Allah.

Mencintai sahabat mukmin bukan dengan hawa nafsu tetapi menebarkan kasih sayang untuk saling menyayangi, melindungi, membela, mendoakan, dan mengantarkan bersama ke surga. Kalau kita sebagai sesama muslim karena hawa nafsu hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan serta suka menyakiti mukmin yang lain maka hancurlah semua amalan baik kita. Semoga kita terhindar dari yang demikian.

Dalam syarah Arbain An-Nawawi agar kita menjadi sahabat mukmin yang sejati hindari kedengkian. Kedengkian sebagaimana kata al-Ghazali terbagi menjadi tiga macam:

Pertama, ia menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain dan meraihnya untuk dirinya.

Kedua, ia mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, meskipun nikmat tersebut tidak diraihnya. Demikian pula jika ia memiliki sepertinya, atau ia tidak menyukainya ini yang lebih buruk dari pertama.

Ketiga, ia tidak mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, tetapi ia tidak suka orang tersebut mengungguli bagian dan kedudukannya. Ia senang bila setara, tetapi tidak senang bila melebihinya.

Demikian tulisan sederhana ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Nashrun Minallahi Wa Fathun Qarieb Wa Bashshiril Mukminin.

Exit mobile version