Kemuliaan Pak Becak
Oleh: Immawan Wahyudi
KISAH tukang becak (istilahnya penulis ganti dengan Pak Becak) yang tiap hari diijinkan mandi di kamar mandi Masjid Jogokaryan sungguh menumbuhkan inspirasi yang besar. Terutama bagi siapapun yang punya “nyali” untuk berjuang mengarungi samudra kehidupan. Tentu tidak akan pernah bisa kita bayangkan bahwa Pak Becak yang merasa berhutang budi kepada Ta’mir Masjid Jogokaryan akan menyerahkan semua uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan alasan merasa telah diaruhke. Penghasilan Pak Becak dalam tiga hari belum tentu akan sebanyak rupiah yang diterima dari BLT. Jika kita selami, sumber kedermawanan Pak Becak adalah perasaan “mongkog” karena telah diaruhke. Menurut hemat saya Ta’mir Masjid Jogokaryan bukan sekadar “ngaruhke.” Tapi telah menghormati seseorang sebagaimana semestinya –menurut spirit ajaran Islam.
Mbecak Gratis dan Mewakafkan Tanah
Dari berbagai cerita yang penulis dengar, banyak kisah tentang keluhuran Pak Becak. Beracam-macam keunikan kisahnya. Bahkan bukan sekadar keunikan biasa. Menurut hemat penulis, dalam setiap keunikan Pak Becak itu ada kredo. Ada spirit yang ditunjukkan oleh Pak Becak. Misalnya, ada Pak Becak yang menggratiskan siapapun yang naik becaknya pada hari Jum’at. Pak Becak ini tidak mau kalah dengan spirit Jum’ah Berkah yang rata-rata dimotori anak-anak muda Masjid. Ada juga Pak Becak yang datang ke pengurus Muhammadiyah Ranting di bilangan Sleman mewakafkan tanahnya.
Kebaikan yang manapun dari keunikan Pak Becak ini tidak akan luput dari janji Allah bahwa kebaikan tidak akan dibalas melainkan dengan kebaikan juga. Maka terdengarlah cerita dari mulut ke mulut Pak Becak yang menggratiskan penumpang yang naik di hari Jum’ah ketemu dengan orang kaya yang dermawan. Singkat cerita karena aghniya ini kagum akan kebaikan hati Pak Becak yang menggratiskan penumpang becaknya, dia mengganti gratisan itu dengan biaya untuk menunaikan ibadah haji. Tentu karunia Allah lah yang telah mengatur dan mengantar Pak Becak dapat menunaikan ibadah haji dengan modal mbecak gratisnya
Kisah-kisah kedermawanan pak Becak ini menjadi sangat kontradiktif ketika penulis masih menjadi bagian dalam program penanggulangan kemiskinan. Pasalnya Bapak-bapak Camat –sekarang sebutannya Panewu—sering cerita betapa para penerima Program Keluarga Harapan (PKH) itu hebat-hebat. “Hebat gimana Pak Camat?” “Nggih pak. Mereka hebat. Karena mau ngambil bantuan PKH tidak jarang datang dengan sepeda motor yang masih baru. Atau mengenakan perhiasan-perhiasan yang mencolok –karena banyak. Bahkan ada yang datang dengan mengendarai mobil.”
Jadi Sarjana Dengan Berlari
Ada banyak kisah yang mewartakan putra dari pak Becak menyandang gelar sarjana pendidikan. Bahkan ada yang gelarnya bukan S1 tapi S3 dari suatu Perguruan Tinggi Negeri, dan sepanjang kuliahnya memperoleh beasiswa. Tapi yang satu ini penulis dengar sendiri dari Pak Becak yang putranya jadi sarjana. Bapak kagungan putra pinten? Tanya penulis “Tiga pak. Ingkang setunggal nembe kemawon wisuda.” “Alhamdulilllah njih pak sampun kagungan putra ingkang sarjana.” “Inggih pak. Alhamdulillah.”
Lalu Pak Becak pun bercerita bahwa putranya sepanjang kuliah berangkat pulang dengan berlari. Kebetulan memang jurusan yang diambilnya adalah jurusan Pendidikan Keolahragaan. Tentu kisah ini menumbuhkan spirit “struggle for live” yang luar biasa. Ada seorang pemuda desa yang punya nyali untuk jadi sarjana, meskipun dia harus menempuh semuanya denga berlari jarak jauh. Pengakuan Pak Becak ini dia dan keluarganya tinggal di Bantul. Sedang Perguruan Tinggi dimana putranya belajar ada di Sleman Timur. Tentu lumayan jauh. Ingatan penulis tentang hal ini tidak lengkap karena sudah terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu.
Umumnya Mereka “Nrima Ing Pandum”
Hobi penulis adalah “wawancara” dengan Pak Becak atau Pak Sopir jika suatu kali naik taksi. Berbeda dengan Pak Becak di Jogja, kalau naik taksi di Jakarta, manfaat yang penulis peroleh adalah “wawasan” dan informasi dari Pak Sopir. Kadang penulis dapat “kuliah” gratis dari Pak Sopir. Suatu ketika mendapat suguhan analisis tentang petinggi suatu organisasi Islam ternama. Dia cerita panjang lebar tentang tokoh-tokoh yang semuanya dia sebut hebat. Diakhir ceritanya dia menunjukkan kekecewaannya karena kemudian para tokoh idolanya ini tidak bisa menunjukkan sikap mendahulukan persatuan daripada ketenaran pribadi.
Bukan sekali ini penulis dapat kuliah dari Pak Sopir. Rata-rata mereka adalah pengamat yang jeli. Kadang-kadang dalam hati saya merasa bahwa sebenarnya mayarakat kita cukup “melek politik.” Analisisnya tidak dibebani pesan sponsor dan punya aksentuasi berkisah yang bagus tetang topik politik.
Beda “kuliah” yang penulis peroleh dari pak Sopir di Jakarta dengan yang penulis peroleh dari Pak Becak Jogja. Penulis niati ungkapan ini sekadar tahadduts bi an-ni’mah. Ketika masih tugas di Maliobor, penulis suka pergi tanpa tujuan. Kalau ditanya “bade tindakan pundi pak?” Penulis kaget. Dengan jawaban sekenanya “Namung bade mlampah-mlampah. Mengke kula kandani teng mergi kemawon nggih.”
Lebih dari sepuluh kali jalan-jalan tak tentu arah penulis lakukan mengajak Pak Becak mampir makan siang. Mission sebenarnya memang cuma mau ngajak Pak Becak makan siang. Hampir semua warung yang penulis ampiri adalah warung makan Padang. Pikir penulis hal ini jarang dilakukan oleh Pak Becak. Dari semua kegiatan mampir warung itu penulis dapat “kuliah” kehidupan. Tidak satu orangpu dari pak Becak yang penulis tawari untuk menambah makannya atau minumnya, mau menambah makan atau minum. Penulis merasa ini hal yang hebat. Sekian kali jalan-jalan dan mampir warung makan tidak satu pun yang orangnya sama. Tapi kok perilakunya sama: merasa cukup dengan apa yang sudah diperoleh. Padahal kalau menambah bisa untuk menambah energi. Tapi mereka tidak mau menambah meski –mungkin dalam hati—sebenarnya ingin menambah.
Kisah-kisah diatas mungkin ada gunanya untuk kita melakukan introspeksi. Orang yang tidak cukup uang malah jadi dermawan. Orang yang tidak punya kesempatan, begitu memperoleh kesempatan tidak lantas serakah. Jika jalan kebaikan mereka kita sepelekan, lalu siapakah sebenarnya kita? Muslim dan mu’minkah kita? Atau muttaqin atau khaero ummahkah kita? Tanya Kyai Musthafa Bisri dalam Puisi Selamat Tahun Barunya.
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)