Hukum Shalat Ghaib
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Mau bertanya, mohon bapak-bapak berkenan menjelaskan sebagai penambah ilmu bagi saya, yaitu hukum Shalat ghaib untuk seseorang muslim yang meninggal di suatu tempat dan sudah dishalatkan oleh masyarakat di tempat yang bersangkutan meninggal. Tetapi kemudian diShalat kan secara ghaib di tempat saya. Mohon penjelasan dan dalilnya. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
Yani di Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau (Disidangkan pada Jum’at, 4 Muharam 1443 H/13 Agustus 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara kepada kami Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang saudara tanyakan berkaitan dengan Shalat ghaib telah kami ulas pada Fatwa Tarjih sebelumnya yaitu pada buku Tanya Jawab Agama jilid I hal. 103-104 (Shalat ghaib) dan jilid III hal. 189 (Shalat ghaib bagi yang tidak dikenal di akhir hayatnya), hal. 192 (Shalat ghaib tidak di kuburan), Sidang 21 September 2018 tentang Shalat Ghaib Setelah Lewat Satu Bulan dan Materi Munas Tarjih ke-XXXI tahun 2020, hal. 355-361 (Kaifiah Shalat Ghaib dan Shalat Jenazah).
Untuk menjawab pertanyaan saudara, ada dua hal yang dapat kami jelaskan. Pertama, pengertian Shalat ghaib. Shalat ghaib adalah Shalat jenazah yang dilakukan ketika jenazah tidak berada di depan orang yang menyalatkannya atau ia sedang berada di tempat lain. Pada asalnya Shalat jenazah itu dilakukan pada jenazah yang ada di depan imam dan makmum yang menyalatkannya (Materi Munas Tarjih 31, hal. 355).
Kedua, hukum Shalat ghaib. Agama telah mengatur tentang kewajiban kaum muslimin terhadap kematian yang menimpa saudaranya muslim dengan cara melaksanakan empat perkara, yaitu memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan. Shalat jenazah ini termasuk ibadah yang masyru’ dan hukumnya fardu kifayah, yakni kewajiban yang apabila telah dilakukan oleh seorang atau sebagian maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.
Terkait Shalat ghaib ulama berbeda pendapat, di antara hadis yang terkait dengan Shalat ghaib adalah hadis Nabi saw.,
عَنْ جَابِرٍ رضى الله عنه أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِىِّ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخاري].
Dari Jabir r.a (diriwayatkan) bahwa Nabi saw telah menyalatkan Ashamah an-Najasyi, lalu ia (Nabi) takbir empat kali [H.R. al-Bukhari].
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى ، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan), bahwa Nabi saw telah memberitahukan kematian Najasyi pada hari kematiannya, beliau (Nabi) keluar (bersama sahabat) ke tempat Shalat , lalu beliau atur saf mereka dan bertakbir empat kali [H.R. al-Bukhari].
Jika dilihat dari dua hadis di atas, Nabi saw melakukan Shalat ghaib untuk Raja Najasyi yang wafat di negerinya. Hadis ini juga dipahami beragam oleh para ulama mengenai disyariatkannya Shalat gaib, perbedaan itu bisa dikelompokkan kepada tiga pendapat sebagai berikut,
Pertama, Shalat gaib adalah syariat Nabi saw dan disunahkan bagi umatnya untuk melaksanakan Shalat gaib, ini merupakan pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad. Apabila jenazah seorang muslim sudah selesai dimandikan dan dikafani, maka ia berhak untuk diShalat i oleh saudaranya sesama muslim.
Kedua, Shalat gaib hanya khusus bagi Nabi saw, ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Mereka beralasan ditemukannya riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw melaksanakan Shalat untuk setiap jenazah yang gaib selain Raja Najasyi. Artinya, Shalat gaib adalah kekhususan bagi Nabi saw.
Ketiga, apabila jenazah gaib meninggal di negara yang tidak mungkin dia akan diShalat i, maka dilaksanakan Shalat gaib atasnya sebagaimana yang dilakukan Nabi saw atas Raja Najasyi. Ini dilakukan Nabi saw karena Najasyi meninggal di antara orang-orang kafir yang dimungkinkan tidak ada yang menyalatinya. Namun apabila jenazah gaib itu sudah ada yang menyalati di tempat ia meninggal dunia, maka tidak perlu melaksanakan Shalat gaib atasnya karena kefarduan Shalat gaib telah gugur dengan adanya orang-orang Islam yang sudah menyalatkan terhadapnya, inilah pendapat Ibnu Taimiyah.
Melihat adanya keragaman pendapat ulama terkait Shalat gaib bagi jenazah, kami Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid berpandangan bahwa shalat gaib bagi jenazah termasuk ibadah mahdah, sehingga harus dikembalikan kepada kaidah usul bahwa hukum asal suatu ibadah itu tertolak hingga ada dalil yang secara tegas memerintahkannya.
اَلْأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ حَرَامٌ حَتَّى يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى أَمْرٍ
Hukum asal ibadah adalah haram sehingga ada dalil yang memerintahkan.
Berkaitan dengan pertanyaan saudara di atas, kami berpendapat bahwa jenazah yang diyakini sudah diShalat kan oleh beberapa orang atau banyak orang di suatu tempat tidak perlu diShalat kan kembali di tempat lain karena telah gugurnya kewajiban menyalatkan jenazah tersebut sebagai fardu kifayah. Hal ini didasarkan tidak ditemukan dalil yang menuntunkan hal tersebut. Adapun mendoakan untuk jenazah tidak ada larangan dan batasan, sehingga saudara cukup mendokan dari tempat saudara tanpa harus melakukan Shalat gaib untuk jenazah yang diyakini sudah diShalat kan.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat dipahami dan mencerahkan.
Wallahu a’lam bishawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 16 Tahun 2022