Shalat Tahiyatul Masjid dan Iktikaf saat “Isra Mikraj”
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Saya pernah membuat amaliah yang saya beri nama isra mikraj. Amaliah/ritualnya yaitu pergi malam hari ke masjid ke-1 kemudian shalat tahiyatul masjid, kemudian isra/berjalan malam ke masjid ke-2, kemudian shalat tahiyatul masjid, kemudian iktikaf di masjid malam, kemudian mikraj–nya tidur di masjid menemui Allah/Nabi lewat mimpi, kemudian bangun pulang. Waktu menjalankan amaliah ini rasa rindu kepada Allah tinggi. Yang diharapkan kalau di dunia rindu kepada Allah nanti di akhirat mendapatkan surga yang bisa bertemu Allah.
Pertanyaannya, apakah amaliah isra mikraj seperti ini bid’ah dan sesat?
Muizzuddin (Disidangkan pada Jumat, 12 Syawal 1443 H/13 Mei 2022 M)
Jawaban:
Wa `alaikumussalam wr. wb.
Kami ucapkan terima kasih atas kepercayaannya kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan saudara.
Sesuai dengan uraian dalam pertanyaan, bahwa amaliah isra mikraj yang saudara lakukan berisi beberapa amalan, di antaranya adalah mengunjungi beberapa masjid, shalat tahiyatul masjid dan beriktikaf (isra/berjalan malam ke masjid dua masjid, kemudian shalat tahiyatul masjid, kemudian iktikaf di masjid malam, kemudian mikraj-nya tidur di masjid menemui Allah /Nabi lewat mimpi). Selanjutnya, pertanyaan pokok saudara adalah apakah amaliah isra mikraj seperti itu bid’ah dan sesat.
Sebelum menjawab, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian isra mikraj yang sebenarnya. Isra secara bahasa berasal dari kata sara yang berarti berjalan. Sedangkan menurut istilah adalah perjalanan Nabi saw di malam hari bersama Jibril dari Makkah (Masjidilharam) ke Palestina (Masjidilaqsa) sebagaimana firman Allah,
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ [الإسرآء، 17: 1].
Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat [Q.S. al-Isra’ (17): 1].
Adapun mikraj secara bahasa memiliki arti naik, dan secara istilah adalah perjalanan Nabi saw dari bumi menuju ke atas sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah surah an-Najm, bahwasaanya Nabi saw melihat Jibril dengan rupanya yang asli di Sidratil-Muntaha, sebagaimana firman Allah,
اَفَتُمٰرُوْنَهُ عَلٰى مَا يَرٰى. وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى [النجم، 53: 12-14].
Apakah kamu (kaum musyrik Makkah) hendak membantahnya (Nabi Muhammad) tentang apa yang dilihatnya itu (Jibril)? Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha [Q.S. an-Najm (17): 1].
Sementara itu, saudara membuat amaliah yang diberi nama isra mikraj, yang berisi amalan sebagai berikut.
- Mengunjungi masjid. Pada dasarnya, datang mengunjungi masjid merupakan perintah dari Nabi saw sebagaimana yang terdapat dalam hadis berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنْ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda, barangsiapa datang ke masjid pada pagi dan sore hari, maka Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal yang baik di surga setiap kali dia berangkat ke masjid pada pagi dan sore hari [H.R. al-Bukhari].
Namun perintah mendatangi masjid dalam hadis ini bersifat umum, tidak ada kaitannya dengan amalan tertentu dan tidak dikhususkan pada waktu atau masjid tertentu.
- Shalat tahiyatul masjid. Shalat tahiyatul masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua rakaat, dan dikerjakan oleh seseorang ketika masuk ke dalam masjid dan sebelum duduk. Shalat tahiyatul masjid ini bersifat umum, dalam arti tidak terkait dengan rangkaian amalan tertentu, waktu tertentu maupun di masjid tertentu). Shalat tahiyatul masjid sendiri adalah ibadah yang masyru’ berdasarkan hadis Nabi saw sebagai berikut.
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ السَّلَمِيّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ [رواه البخاري].
Dari Abu Qatadah as-Salami (diriwayatkan) sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, jika salah seorang dari kalian masuk masjid maka hendaklah ia shalat dua rakaat sebelum duduk [H.R. al-Bukhari].
- Iktikaf, yaitu suatu ibadah dengan berdiam diri di dalam masjid. Iktikaf dianjurkan baik menurut Al-Qur’an maupun Sunah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut.
وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهِيمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّآىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ [البقرة، 2: 125].
(Ingatlah ketika) Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Ismail, Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, serta yang rukuk dan sujud (shalat) [Q.S. al-Baqarah (2): 125].
Ibnu al-Munzir dalam kitab al-Ijma’ hal. 53 mengatakan, para ulama bersepakat bahwa hukum iktikaf adalah sunah dan tidak diwajibkan atas seseorang, kecuali orang itu bernazar, maka menjadi wajib baginya. Iktikaf pada dasarnya dapat dilaksanakan kapan pun baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan, namun ada pengkhususan pada bulan Ramadan, sebagaimana hadis Nabi saw sebagai berikut.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَان [رواه مسلم].
Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan [H.R. Muslim].
- Mimpi bertemu dengan Allah swt. atau Rasulullah saw. Terkait mimpi orang biasa bertemu dengan Allah swt, belum dijumpai dalil yang spesifik. Adapun mimpi bertemu dengan Rasulullah saw., terdapat dalil hadis sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَسَمَّوْا بِاسْمِي وَلَا تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata, aku mendengar Nabi saw bersabda, berikanlah nama dengan namaku dan jangan dengan julukanku. Barangsiapa melihatku dalam mimpinya sungguh dia benar-benar telah melihatku, karena setan tidak sanggup menyerupai bentukku. Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka [H.R. al-Bukhari].
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya beberapa bentuk ibadah yang saudara lakukan dalam amaliah yang saudara namakan isra mikraj di atas adalah ibadah yang masyru’, seperti mendatangi masjid, shalat tahiyatul masjid dan iktikaf. Mimpi bertemu Rasulullah saw pun sangat dimungkinkan karena ada dalil yang menunjukkan hal itu. Hanya mimpi bertemu Allah saja lah yang tidak ditemukan dalilnya. Namun demikian, bagaimana hukumnya jika beberapa ibadah di atas dirangkai menjadi satu paket termasuk tidur di masjid untuk berjumpa dengan Allah atau Nabi saw melalui mimpi? Bid’ah dan sesat atau bukan?
Sebelum menjawab pertanyaan inti tersebut, perlu dipahami kembali definisi dari kata bid’ah dan sesat. Bid‘ah secara bahasa berasal dari akar kata dalam bahasa arab bada‘a yang artinya mengadakan (membuat) sesuatu yang baru. Adapun dalam istilah syariat pengertian bid‘ah ialah cara atau perkara baru dalam agama yang diserupakan syariat yang dikerjakan orang dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah serta mengharap pahala tanpa adanya dalil syar’i atau contoh dari Rasulullah saw.
Bid‘ah dibatasi dalam hal agama, seperti akidah dan ibadah. Pengerian ini dapat dilihat pada Rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Macam-macam Bid’ah. Sedangkan kata sesat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ‘tidak melalui jalan yang benar; salah jalan/salah (keliru) lawan kata “benar”; berbuat yang tidak senonoh; menyimpang dari kebenaran (tentang agama dan sebagainya’.
Di samping itu perlu dipahami pula bahwa terdapat syarat diterimanya suatu ibadah dalam Islam, yaitu dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah swt. dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan dalil-dalil berikut ini.
- Firman Allah swt.
وَمَآ اُمِرُوْآ اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَـهُ الدِّيْنَ ۙ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ [البينة، 98: 5].
Mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah, dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar) [Q.S. al-Bayyinah (98): 5].
- Hadis Nabi saw.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ [رواه مسلم].
Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal tidak ada (dalil) darinya, maka hal itu tertolak [H.R. Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري].
Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata; Rasulullah saw bersabda, barangsiapa mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal tidak ada (dalil) di dalamnya, maka hal itu tertolak [H.R. al-Bukhari, diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far al-Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim].
Dalil-dalil di atas merupakan bentuk penegasan bahwasanya syarat diterimanya ibadah (yang dilakukan oleh setiap muslim) harus dilandaskan kepada keikhlasan dan tuntunan dari Rasulullah saw. Hal ini juga dipertegas oleh sabda Rasul sebagai berikut:
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ [رواه ابن ماجه].
Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abi Al Mutha’ ia berkata; aku mendengar ‘Irbadl bin Sariyah berkata, pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami. Beliau memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat hati menjadi gemetar, dan air mata berlinangan. Lalu dikatakan, wahai Rasulullah, engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat perpisahan, maka berilah kami satu wasiyat.
Beliau bersabda, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meski kepada seorang budak Habasyi. Sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian berpegang dengan sunahku dan sunah para Khulafa Rasyidun yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat [H.R. Ibnu Majah].
Di samping itu terdapat suatu kaidah fikih yang menyatakan,
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْحَظْرُ, فَلَا يُشْرُعُ مِنْهَا إِلَّا مَا شَرَعَهُ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ.
Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sementara itu, dalam kitab al-I’tisham karya asy-Syatibi, ada istilah bid’ah idhafiyyah, bukan haqiqiyah, yang artinya bid’ah itu jika ditinjau dari satu sisi disyariatkan tetapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi. Hal ini sama dengan amalan isra mikraj yang saudara buat, dari satu sisi adalah bid’ah karena Nabi saw tidak pernah mencontohkan, tetapi dari sisi lain isi amalan tersebut adalah amalan sunah yang ada contoh dari Nabi saw.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah dipahami bahwa walaupun isi dari amalan yang saudara lakukan adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan, namun jika dikemas dalam satu paket amalan isra mikraj, maka tidak ada contoh/perintah syariat baik dari Allah maupun Rasulullah saw. Dengan demikian, amalan isra mikraj yang saudara buat itu termasuk sesuatu yang baru dalam hal agama atau dengan kata lain termasuk bid’ah. Oleh sebab itu, amalan isra mikraj ala saudara itu sebaiknya ditinggalkan, dan cukup melaksanakan amalan yang sudah dituntunkan oleh Allah dan Rasulullah saw.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 16 Tahun 2022