Nelangsa Hari Kemenangan

Idul Fitri

Foto Ilustrasi

Nelangsa Hari Kemenangan

Oleh: Donny Syofyan

Perbedaan memang menampakkan warna yang beragam. Tapi perbedaan adakalanya terasa berbeda manakala dirasakan oleh pangkal perasaan batin paling dalam. Ada yang hilang, terasa sesuatu yang kurang. Inilah yang kurang lebih dirasakan oleh banyak warga masyarakat yang merayakan Lebaran pada tahun ini. Sungguhpun perbedaan hari Idul Fitri adalah sesuatu yang jamak bagi umat Islam di Indonesia, tapi silang sengketa perayaan Idul Fitri tahun ini berbeda.

Ketika ada teman yang mengucapkan selamat hari lebaran di media sosial, reaksi warga bahagia. Tapi begitu ucapan ini masuk ke wilayah japri, sedikit berbeda. Begitu ada yang mengatakan, “Mohon maaf lahir batin,” lalu dijawab, “Saya masih puasa,” atau “Wah kami sudah duluan berbuka dengan opor ayam dan rendang.”

Percakapan yang seharusnya bisa berlangsung lebih lama tiba-tiba hambar karena suasana batin sudah berubah. Bahkan ada anggota jemaah masjid atau surau yang segan mengucapkan selamat Lebaran kepada sesama karena yang bersangkutan masih akan berpuasa. Padahal selama ini sama-sama shalat di masjid atau surau yang sama selama sebulan. Inilah nelangsa hari kemenangan.

Lihatlah linimasa media sosial yang gegap gempita dengan perdebatan teks keagamaan, perang tafsir hingga klaim-klaim kebenaran, terutama seputar metode hilal versus rukyat. Dalam konteks intelektual, petarungan pemikiran ini absah dan bukan sesuatu yang baru. Apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan dunia pesantren, tradisi mantiq, keragaman madzhab dalam Islam, bahkan perdebatan ilmiah ala dunia kampus. Di Tanah Air sendiri, perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri bukanlah perkara aneh, baik secara historis maupun sosiologis.

Perkara menjadi berbeda ketika distingsi tafsir tekstual keagamaan menyempit dan diseret menjadi gesekan antara kubu pro dan kontra pemerintah. Muhammadiyah dianggap sebagai kontra pemerintah, tidak taat kepada ulul albab. Bahken sekaliber Thomas Djamaluddin menganggap penggunaan wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah sebagai teori usang maupun ancaman pembunuhan warga Muhammadiyah oleh Andi Pangeran Hasanuddin—keduanya dari BRIN. Sementara yang berbuka pada 22 April 2023 dipersepsikan sebagai masyarakat yang taat azaz dan patuh kepada seruan pemerintah.

Perdebatan yang terjadi bukan lagi beredar pada lintasan khilafiyah tapi juga menyerempet pada mana pihak yang berdosa dan tidak berdosa, atau mana kelompok yang hak dan mana kubu yang batil. Sebagai misal, yang mana yang lebih berdosa, kehilangan puasa sehari di bulan puasa atau berpuasa di hari raya? Bila asumsinya Tuhannya berbeda, ini mungkin bisa dipahami sebab yang satu tentu saja menista yang lain berdosa. Tapi yang berdebat masih meyakini Tuhan yang sama.

Terus terang pandangan ini kian dipopulerkan meskipun sejatinya hal ini adalah penyederhanaan dan generalisasi yang menyesatkan karena berpotensi memecah belah atau mengadu domba. Saat perdebatan masih sekitar tafsir teks keagamaan, umat Islam masih relatif rasional dengan alasan masing-masing meski berbeda dalam memahami dan adakalanya terkesan perang urat saraf. Tapi begitu yang ditonjolkan adalah pengembangbiakan perbedaan, maka yang berlaku adalah sikap emosional menerapkan toleransi.

Titik-titik perbedaan yang kini mengalami ‘ekspansi teritorial’ ini tampak nyata ketika ia bersenyawa dengan pengambilan kebijakan, atau bahkan keputusan politik. Penolakan memberikan izin kepada Muhammadiyah oleh sementara pemerintah daerah buat menyelenggarakan salat Idul Fitri menunjukkan bahwa narasi menghormati perbedaan hanya sekadar rasional dalam pikiran dan manis dalam ucapan. Yang justru terjadi adalah sikap emosional dalam merespon perbedaan.

Yang sangat dibutuhkan ketika terjadi silang sengketa pendapat bukan sekadar sebatas seruan atau khotbah untuk menghormati perbedaan di atas mimbar, tapi kemauan untuk memfasilitasi perbedaan ini; memberikan hak yang sama bagi umat untuk shalat Ied, baik yang berlebaran hari Jumat maupun Sabtu. Pemerintah harus memberikan izin kepada masyarakat untuk menggunakan fasilitas publik melakukan shalat Ied —seperti lapangan bola mengingat sunnah penyelenggaraan shalat Ied adalah di lapangan terbuka.

Bukan dengan menolak satu kelompok dan mengizinkan kelompok yang lain. Jangan sampai ada satu kelompok yang merasa sebagai anak tiri dan anak emas dalam pelaksanaan shalat Ied tersebut. Ini adalah tindakan diskriminatif. Tapi inilah hakikat dari toleransi yang ‘real-time’ dan praktis.

Di tengah masyarakat sendiri, toleransi ini bisa dilakukan dengan melakukan mekanisme pergiliran. Sebagai contoh, masing-masing masjid atau mushalla yang menjadi milik atau didirikan oleh publik memberikan peluang yang sama untuk mengumandangkan takbir di ujung Ramadhan. Bagi yang berlebaran hari Jumat diberi kesempatan untuk mengumandangkan takbir setelah Isya pada Kamis malam.

Setelah kumandang takbir selesai, bagi yang berhari raya Idul Fitri hari Sabtu dipersilahkan untuk melanjutkan shalat tarawih untuk terakhir kalinya pada tahun 1444 H/2003 M ini. Namun ini relatif susah bagi masjid-masjid yang dimiliki oleh jam`iyah, misal masjid Muhammadiyah atau masjid Nahdlatul Ulama (NU).

Sungguhpun mayoritas Muslim, Indonesia berbeda dengan negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di mana negara campur tangan terlalu dalam hingga urusan teknis sekalipun. Di Malaysia dan Brunei Darussalam, materi khotbah Jumat dipersiapkan oleh kerajaan sehingga isu khotbah Jumat sama saja di seantero Malaysia dan Brunei Darussalam.

Tak terkecuali dengan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang ‘dipaksa’ seragam. Memang keragaman ini adalah kelebihan kita yang ditertawakan oleh Dunia Islam sebab tak ada negara di dunia seperti Indonesia di mana 1 Syawalnya lebih dari satu hari. Tapi kita perlu ingat bahwa mereka itu negara-negara kecil, bahkan yang ada seukuran kabupaten kita. Kalau kita wajar sebab kita negara besar. Jadi berbeda sedikit tidak masalah.

Sikap berbeda dengan pemerintah tidak perlu dianggap perlawanan dan mereka yang berbeda pendapat dengan keputusan penguasa bukanlah bughat (pemberontak). Di negara-negara maju, kritis terhadap penguasa, lebih-lebih dalam urusan publik, seperti penggunaan dana publik, kerap berhadapan dengan resistensi khalayak ramai.

Penobatan Raja Charles yang akan berlangsung pada 6 Mei 2023 di Inggris sangat tidak populer. Sejumlah artis Inggris terkenal menolak untuk tampil di acara ini. Harry Styles mengatakan tidak akan hadir, Elton John juga mengatakan tidak. Begitu pula dengan Adele, Spice Girls dan Robbie Williams. Ini masuk akal karena acara penobatan Raja Charles ini akan menelan biaya antara 60 juta hingga 120 juta dolar Amerika yang bersumber dari uang pembayar pajak.

Dana sebanyak itu bisa digunakan untuk membangun sekolah untuk mempekerjakan lebih banyak guru atau dokter. Inflasi Inggris mencapai angka 10 persen. Ini adalah yang tertinggi di antara negara-negara Eropa Barat dan kelompok G7. Masyarakat Inggris bekerja keras untuk membayar kebutuhan pokok (makan/minum) dan tagihan (listrik, air, dan internet) mereka yang membengkak.

Marilah kita berhari raya dengan memilih jalan kita sendiri tanpa harus menyalahkan jalan yang dipilih orang lain. Kita memilih untuk mempertahankan prinsip hidup sendiri tanpa harus kecewa dan meremehkan pilihan orang lain.

Kita tidak perlu memaksakan pendapat kita kepada orang lain, tapi kita juga mempertahankan kemerdekaan pendapat siapa saja dengan teguh. Ayolah kita menuju kemenangan sejati. Kemenangan saat kita mampu menahan ego dan gengsi supaya kita mampu memaafkan semua kesalahan dan kekurangan orang lain.

Taqabbalallaahu minnaa wa minkum. Taqabbal ya kariim. Minal `aaidiin wal faaiziin.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version