Senyum yang Berhiaskan Percikan Hujan
Oleh: Teguh Pamungkas
Waktu menunjukkan pukul 07.30 tepat sampai di tujuan. Sepuluh menit sebelumnya kendaraan baru saja meluncur, lepas landas dari teras rumah. Jarak yang tak begitu jauh antara rumah dan tempat yang dituju, ya kira-kira tiga kilometeran.
Hujan rintik mengiringi sepanjang perjalanan kami. Hujan dengan rela mengawani obrolan-obrolan kecil sambil berkendara, saya dan anak yang duduk di belakang. Karena hujan yang hanya turun rintik, kami memutuskan bersepeda motor tanpa jas hujan. Obrolan kecil yang disertai canda tawa seolah-olah membuat waktu perjalanan terasa singkat. Rela gerimis-gerimisan.
Kondisi riang penuh canda dan tawalah yang memang dicari di perjalanan menuju pintu gerbang sekolah. Pukul 07.30 sampailah di muka pelataran sekolah. Rupanya hujan yang rintik masih enggan berhenti, masih ingin menemani kami yang hendak beraktivitas.
Sesosok lelaki pengajar di sekolah itu menyambut kami dengan senyuman. Seraya mengatur keluar masuk kendaraan di pintu masuk area sekolah. Senyuman tersebut menyambut hangat kami yang datang. Senyuman itu mengawali perjumpaan pagi dengan peserta didik yang baru saja sampai di sekolah.
Perlahan laju kendaraan memasuki pelataran ruang kelas. Sesaat sebelum anak saya turun dari kendaraan, lagi-lagi datang seorang pengajar perempuan menyambut dengan senyum kepada anak didiknya. Menyambut, memayungi siswa, mengantarnya hingga tepat di muka pintu masuk kelas. Perilaku demikian bukan hanya berlaku pada satu atau dua peserta didik saja. Namun perbuatan itu nampak dilakukan kepada semua anak didiknya di saat hujan turun mengawali proses belajar mengajar.
Meskipun hujan mengawali pagi, mereka -para pengajar- tetap antusias menyambut peserta didiknya dalam belajar. Sehingga anak-anak pun semangat, senang untuk mau datang ke sekolah.
Sempat sepintas di sudut mata tadi terlihat, tetesan hujan terpercik menghiasi di wajah pengajar. Percikan air hujan turut mengiringi senyuman kepada siswa-siswi dan para orangtua yang mengantarkan anaknya sekolah. Dari percikan yang ditimbulkan semakin menambah sejuk senyuman yang dilontarkan oleh guru-guru itu.
Bak membuka kran sumber air untuk mengairingi ladang, senyuman pengajar membuka kenyamanan anak-anak dalam mengeksplor pengetahuan. Memasuki zona aktivitas belajar mengajar tanpa paksaan, jauh dari kekerasan, apalagi intimidasi. Anak-anak enjoy saling menyapa sesama teman, mudah beinteraksi antara siswa dengan para dewan pengajar. Suasana yang welcome.
Membicarakan tentang pendidikan Indonesia tak bisa lepas dari dua sosok penting. Adalah KH. Ahmad Dahlan dan Ki hajar Dewantara. Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 sedangkan Taman Siswa berdiri tahun 1922.
Bukan hanya masalah kebangsaan dan nasionalisme, namun KH. Ahmad Dahlan tujuan mendirikan pendidikan juga untuk menggerakan rasa kemanusiaan. Pemikiran beliau dikenal sebagai peletak dasar pendidikan modern Islam di Indonesia yang begitu penting. Perpaduan dualisme sistem pendidikan, antara sistem pendidikan Islam yang berbasis di pesantren dan sistem pendidikan gaya sekolah yang dikelola pemerintah Belanda saat itu. Hingga akhirnya kini lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah diadopsi model sistem pendidikan nasional.
Secara nasional ada beberapa amal usaha yang dikelola oleh Muhammadiyah tak kurang di bidang pendidikan ada sebanyak 20.233 TK, PAUD dan KB, dan ada 2.817 SD/MI. Serta sejumlah 1.826 SMP/MTS dan ada sebanyak 1.364 SMA/MA. Selanjutnya sebanyak 171 perguruan tinggi dan 440 pesantren, serta 562 panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sementara itu, dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, bahwa ada tiga pilar pendidikan anak dalam mengembangkan potensi, pengetahuan, kebiasaan berperilaku. Bukan hanya tempat pendidikan atau sekolah. Namun keluarga dan masyarakat ikut berperan. Yang paling utama adalah dari pendidikan keluarga. Di mana pendidikan keluarga memiliki ekses yang signifikan dalam pergaulan di masyarakat dan di tempat pendidikan. Ya…jika kehidupan di rumah bisa dijalani dengan enjoy, maka di manapun anak akan suka. Bisa merasa senang bergaul di masyarakat, merasa bahagia saat bersekolah.
Senyuman di rintik hujan yang menghiasi wajah pengajar, sampai kapan pun membekas dalam rekaman anak didik. Pelajar terus mengingat perbuatan atau attitude sang guru. Meskipun sudah tidak bersekolah di tempat tersebut, entah lulus atau pun pindah tempat belajar.
Pun sama halnya pada lingkungan keluarga dan sosial. Tatkala orangtua dan anggota keluarga lainnya saling menyayangi, tentu akan saling peduli dan sadar dalam peran pada suatu keluarga. Pada ranah kehidupan sosial, mengetahui cara bersikap dan berperilaku. Bisa menghargai orang lain, menjaga toleransi serta menjaga kebersamaan pribadi dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat.
Ada dua sisi area yang mesti terpenuhi oleh anak dan remaja selaku pelajar. Yakni menguasai ilmu dan moral, perlu komposit dari keduanya. Pelajar mau untuk peka, seperti mampu mengenali karakter diri sendiri, bisa mengendalikan emosi dan berempati pada orang lain, siapa pun itu.
Dengan ilmu mampu menentukan pilihan terbaik, mencari solusi serta menyelesaikan masalah secara komprehensif. Anak dan remaja mampu berpikir sehat (kritis dan kreatif). Hakikatnya, kita mendamba mereka yang notabene pelajar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, dalam hal psikologi maupun sosial.
Apa yang diperbuat dan dicapai pelajar adalah coretan-coretan perilaku di kertas putih kehidupan. Karena itu, para pendidik mengajaknya menimba ilmu secara senang. Ya…disambut dengan senyum saat ke sekolah meskipun di kondisi hujan.
Rintik hujan masih turun. Senyuman yang terpercik air hujan tampak masih hangat menyapa. Suasana kehangatan menyelimuti diri di tengah suasana yang dingin karena turun hujan. Hujan tak menyurutkan anak untuk berangkat ke sekolah.
Selesai anak saya turun dari kendaraan yang tak begitu jauh dari kelasnya, saya pun beranjak pulang. Kendaraan dipacu dengan perlahan, sengaja menjelang menyapa pendidik di muka gerbang masuk wilayah sekolah. Diiringi rintik hujan saya melontarkan senyum disertai anggukan kepala, seolah-olah berpamitan dan menitipkan anak untuk menuntut ilmu di sekolah.
Teguh Pamungkas, Eks volunteer children center Muhammadiyah-Unicef di Kabupaten Pidie, Aceh. Penulis buku “Pendidikan di Era New Normal”