MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Tim 3 Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan Program Studi (Prodi) Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar bekerjasama dengan Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) menggelar kegiatan Diskusi Inklusi dan Bedah Film.
Kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi mata kuliah Proyek Kepemimpinan II yang bertujuan untuk mendukung kesetaraan dan inklusivitas terhadap difabel, serta sebagai aksi nyata calon guru profesional.
Acara berlangsung pada Kamis, 6 Juli 2023, di Baruga Anging Mammiri, kompleks rumah jabatan Walikota Makassar. Para peserta yang terdiri dari kalangan guru, pegiat komunitas, dan mahasiswa, telah melakukan registrasi secara online sebelumnya, sehingga jumlah peserta mencapai 180 orang.
Dalam sambutannya, Nur Syarif Ramadhan SPd, selaku ketua Yayasan PerDIK, menyampaikan harapannya agar kegiatan semacam ini tidak hanya berlangsung sekali, melainkan dapat terus dilanjutkan di masa yang akan datang. PerDIK juga terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak guna mewujudkan inklusivitas bagi difabel.
Kegiatan ini diawali dengan pembukaan oleh Dr Arief Muhsin, dosen pengampu mata kuliah dan perwakilan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unismuh Makassar. Lalu dilanjutkan dengan menonton cuplikan film “Wonderful Life” yang disutradarai oleh Visinema. Film tersebut mengisahkan tentang penerimaan seorang Ibu bernama Amalia terhadap kondisi disleksia yang dialami oleh anaknya, Aqil.
Diskusi kemudian digelar dengan melibatkan sejumlah pemateri dan pembedah yang ahli di bidangnya. Pembedah yang terlibat antara lain Dr Abdullah Sinring dosen Psikologi Pendidikan UNM, dr Udin Malik dokter Penggagas Gerakan Massikola, Risnawati Majit MPd Kepala Sekolah SD Inklusif Maccini Baru; serta Nabila May Sweetha mahasiswa FISIP Universitas Hasanuddin.
Para pembedah membahas berbagai topik, termasuk parental acceptance yang terkait dengan pengalaman Amalia dalam menerima kondisi Aqil, social acceptance terhadap difabel di masyarakat, peran pendidik dalam implementasi pendidikan inklusi, serta pengalaman diskriminasi yang dialami oleh para pembedah selama mengikuti pembelajaran di sekolah umum.
Para peserta juga mengajukan pertanyaan terkait pentingnya perhatian pemerintah terhadap layanan kesejahteraan masyarakat di puskesmas dan sekolah, terutama bagi peserta didik yang membutuhkan.
Selain itu, peserta yang merupakan guru mengungkapkan perlunya implementasi pendidikan inklusi di sekolah serta pelatihan untuk guru pembimbing khusus. Isu diskriminasi yang sering dirasakan oleh difabel juga diperbincangkan oleh peserta difabel tuli, Aswita dan Emon, yang menceritakan pengalaman mereka di lingkungan kampus dan kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Kegiatan ini ditutup dengan pemberian cinderamata kepada para pemateri dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama para panitia dan peserta.
Kegiatan Diskusi Inklusi dan Bedah Film ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang inklusivitas dan kesetaraan bagi difabel, serta menginspirasi langkah-langkah konkrit menuju masyarakat yang lebih inklusif di masa depan.