SOLO, Suara Muhammadiyah – Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (MIH UMS) menyelenggarakan seminar nasional dengan menggandeng Mahkamah Konstitusi (MK). Seminar dilangsungkan di Ruang Seminar Gedung Induk Siti Walidah UMS dengan mengangkat topik “Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Ideologi Pancasila, Sabtu (8/7).
Wakil Rektor IV UMS Prof., dr.,Dr., Em Sutrisna, M.Kes., menyambut baik kehadiran Hakim Konstitusi Prof., Dr., Arief Hidayat, S.H., M.S yang juga merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (2015-2018) serta mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2016-2018 Prof., Dr., Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., dalam seminar nasional ini.
Em Sutrisna berpesan kepada para mahasiswa untuk menjadikan kegiatan ini sebagai momentum untuk menimba ilmu dan pengalaman.
“Saya kira ini kesempatam yang luar biasa dan kami berharap teman-teman yang hadir di sini baik program S2 atau S3, mudah-mudahan lima atau 10 tahun ke depan ada yang mengikuti jejak mereka,” harap Prof Em.
Arief Hidayat dalam seminar tersebut menerangkan bahwa berhukum di Indonesia harus disinari oleh sinar Ketuhanan. Hukum di Indonesia disinari oleh sinar Ketuhanan YME harus dipahami betul dan dilaksanakan.
“Hukum di Indonesia seharusnya berpedoman pada Pancasila,” ungkapnya.
Sejatinya, MK adalah lembaga peradilan, tetapi bukan lembaga peradilan yang tidak sekuler. Dan MK adalah lembaga peradilan yang harus mengimplementasikan ideologi dan dasar negara Indonesia.
Lebih lanjut, dia menegaskan hukum di Indonesia adalah hukum yang berkarakter Pancasila. Dia mengingatkan bahwa sebaiknya para dosen, guru besar bidang hukum ketika memberikan ilmunya di dalam kelas, seharusnya tidak berpatok pada hukum Barat.
“Mestinya hukum yang harus dijalankan adalah hukum yang mempunyai karakter sendiri,” terang Hakim Konstitusi itu.
Demikian pula, dengan demokrasi yang dilakukan di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal ataupun demokrasi sosialis.
Dalam mengakhiri pemaparan materinya, Arief Hidayat mengatakan juga bahwa MK itu dalam putusannya, tidak hanya sekedar menjaga konstitusi tetapi juga ideologi negara.
“MK Indonesia sangat berbeda dengan MK di negara-negara lain. Oleh karena itu harus diisi oleh hakim yang paham mengenai konstitusi termasuk di dalamnya paham mengenai bagaimana mengatur melalui aktualisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila,” pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Aidul Fitriciada, mantan Ketua KY mengawali sesi pemaparannya dengan menyanjung Arief Hidayat. Kata Aidul, sudah semestinya, Ketua MK atau hakim konstitusi memahami MK sebagai penjaga ideologi Pancasila.
Aidul Fitriciada membagikan pemikiran dan analisinya mengenai kedudukan Pancasila dalam sistem hukum di Indonesia dengan menghubungkannya pada MK. Pada salah satu analisisnya, dalam praktik yang dijalankan oleh MKRI ketika melakukan amandemen UUD 1945, terdapat paham-paham dalam amandemen UUD 1945 yang menganut paham liberal, bukan paham Pancasila.
Hal tersebut dikarenakan adanya kekurangan dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
“Pancasila hasil pemikiran para pendiri negara, sementara amandemen UUD 1945 disusun berdasarkan kehendak pembentuk UUD (1999-2002) yang tidak sedikit bertentangan dengan pemikiran para pendiri negara,” paparnya.
Oleh sebab itu, dalam menguji UU yang diajukan, seharusnya dipatokkan pada nilai-nilai yang terkandung pada ideologi Indonesia yaitu Pancasila.
“Tugas dari MKRI adalah menguji UU terhadap UUD 1945 berdasarkan nilai-nilai ideologi Pancasila. Jadi tidak berhenti pada teks UUD tapi dia masuk ke dalam nilai-nilai konstitusionalisme,” jelasnya. (Maysali)