Mengkaji Peran Muhammadiyah Dalam Masyumi
Judul : Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi
Penulis : Syaifullah
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Tebal : XX + 674 hlm, Cet. I, Februari 2019
Dalam usianya yang telah melampaui satu abad, Muhammadiyah sudah cukup banyak makan asam garam kehidupan dalam memberi warna khas kepada dirinya sebagai gerakan Islam. Gerakan ini lebih tua daripada umur negara Republik Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah secara resmi lahir pada 12 November 1912 di Yogyakarta. Namun demikian, titik pusat kegiatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang mendasar, yaitu di bidang dakwah, pendidikan, dan pelayanan kemanusiaan. Pertanyaan yang selalu muncul, adalah bagaimana sikap Muhammadiyah dalam politik.
Untuk menjawab pertanyaan itu, buku yang ditulis Syaifullah ini akan memberikan gambaran, bagaimana sebenarnya keterlibatan Muhammadiyah dalam politik. Khususnya gerak Muhammadiyah dalam Masyumi.
Selama 15 tahun (1945-1960) Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi telah menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai ini. Diantara sayap-sayap utama pendiri Masyumi, Muhammadiyah termasuk yang paling setia menyertainya sampai partai ini diperintahkan bubar oleh rezim Sukarno pada akhir 1960.
Dinamika hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi mengalami pasang-naik dan pasang surut sebagaimana perjalanan hidup manusia. Situasi itu, sebagaimana ditulis Syaifullah dalam buku ini, bisa dpetakan menjadi tiga tahap, yakni hubungan mesra (1945-1955), hubungan renggang (1956-1959), dan akhir hubungan yang ditandai dengan upaya penyelamatan (1959). Penekanan tahap yang terakhir ini adalah pada proses akhir hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi, yang arahnya adalah penyelamatan eksistensi anggota istimewa, termasuk Muhammadiyah.
Aktivitas Muhammadiyah di dalam Masyumi ditandai dengan tiga hal. Pertama, jumlah orang Muhammadiyah dalam kepengurusan PP Masyumi cenderung naik dan tetap di atas 50%, sebelumnya di bawah 50% (1945) dan di bawah 30% (1949). Dalam kepengurusan Masyumi tahun 1951, 1952, dan 1954, kontribusi Muhammadiyah masing-masing sebesar 56%, 54% dan 53%.
Dalam kabinet, perolehan jabatan untuk Muhammadiyah juga cenderung meningkat. Dalam Kabinet Halim, RIS dan Natsir (1950-1951) Muhammadiyah hanya mendapat satu jabatan. Dalam kebinet Sukiman (1951-1952) Muhammadiyah memperoleh tiga jabatan. Dalam kabinet Wilopo (1952-1953) Muhammadiyah memperoleh empat jabatan, yang menjadi perolehan terbanyak bagi Muhammadiyah sepanjang demokrasi liberal. Muhammadiyah tidak terlibat dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955).Hal ini karena Masyumi menjadi oposan –konsekuensinya adalah tidak ikut dalam kabinet—setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952.
Buku ini sebagaimana dikatakan H Munawar Sjadzali dalam pengantarnya secara teliti dan akurat menggambarkan kiprah politik praktis Muhammadiyah yang menjadi anggota istimewa partai Masyumi, termasuk banyak dilema yang dihadapi dalam usaha mempertahankan eksistrensi dan kepribadiannya. “Sampai di mana Syaifullah berjasa mengungkapkan secara kritis perilaku politik Muhammadiyah selama periode yang dibahas, akan leboh bijaksana jika diserahkan saja kepada para pembaca untuk menyimpulkan sendiri”, ujar Ahmad Syafii Maarif. (Imron Nasri)
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019
Beli Bukunya di Suara Muhammadiyah Store