HM Misbach, SATV, dan Muhammadiyah
Oleh: M. Rifai
Tulisan saudara Mu’arif di Suara Muhammadiyah (No. 14-16/Th ke-95) mengkaji perkumpulan sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal lahirnya organisasi Muhammadiyah cabang Solo memang menarik untuk kita elaborasi lebih jauh. Menariknya, tulisan ini berkaitan dengan tafsiran historis, pendekatan, dan kekuatan datanya, termasuk kedekatan kajian dengan pengkajinya secara ideologis ataupun organisatoris.
Termasuk menarik pula mencermati tanggapan Mohammad Ali atas tulisan Mu’arif tersebut, terlihat menonjolkan, baik langsung maupun secara tidak langsung, bahwa HM Misbach yang merupakan tokoh dan salah satu pendiri SATV adalah juga aktivis atau setidaknya banyak dipengaruhi oleh ideologi organisasi Muhammadiyah.
Di dalam tulisannya, Mu’arif menilai permulaan gerakan SATV sehaluan atau relatif sama dengan gerakan Muhammadiyah. Hal sehaluan ini ditengarai oleh berbagai kegiatan antara yang dilakukan Muhammadiyah dan SATV relatif sama, seperti pengajian, mendirikan kegiatan sosial, dan memajukan syiar Islam secara modern, seperti mendirikan sekolah dan mendirikan surat kabar bernafaskan Islam, dan mulai menerjemahkan Al-Qur’an dan teks-teks keagamaan klasik bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Ditengarai oleh Mu’arif, kelompok pengajian di Solo (SATV) ini sering mengundang muballigh-muballigh Muhammadiyah untuk mengisi ceramah keagamaan di forum ini. Salah satu tokoh Muhammadiyah yang paling sering diundang mengisi pengajian ini adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Di sinilah cukup menarik apa yang menjadi tulisan tanggapan Mohamad Ali di Suara Muhammadiyah (No. 18/Th. ke-95) berkaitan dengan historisitas kelahiran SATV, dikaitkan pula dengan peran dan ketokohan HM Misbach saat itu.
Pertanyaannya, apakah SATV itu merupakan perkumpulan independen yang kemudian dalam perjalanannya pernah lebur menjadi organisasi Muhammadiyah cabang Surakarta, atau SATV itu memang dari semula ruhnya adalah Muhammadiyah, dijadikan alat dan strategi bagi pelebaran organisasi Muhammadiyah itu sendiri di daerah Surakarta?
Lantas, peran apa yang dimainkan oleh HM Misbach atas organisasi ini? Bagaimana hubungannya dengan Muhammadiyah? Mengapa pertama kalinya ia bisa ikut dan bekerjasama dengan beberapa tokoh Muhammadiyah, dengan bukti kebanyakan redaktur dari Medan Moeslimin (MM) dan Islam Bergerak (IB) adalah tokoh Muhammadiyah, lantas dalam perjalananya ia memusuhi atau setidaknya bertengkar secara politis dengan Muhammadiyah?
Mohamad Ali menilai peran HM Misbach di SATV janganlah terlalu dibesar-besarkan, karena tokoh Islam lain juga memberikan sumbangan, seperti Moechtar Boechari, Darsosasmito, dan Harsolemekso. Poin kedua tulisan Mohamad Ali yang cukup menarik untuk dicermati adalah bagaimana di akhir hayatnya selama pembuangan di Manokwari HM Misbach masih berupaya mengenalkan Muhammadiyah di Indonesia bagian timur. Berkembangnya Muhammadiyah di Indonesia timur tidak lepas dari aktivitasnya. Benarkah demikian?
Di sini penulis tidak akan ikut dalam perdebatan siapa sebenarnya pendiri dan tokoh utama SATV, HM Misbach ataukah beberapa tokoh Islam lainnya. Bagi penulis, yang menarik dari peristiwa sekitar awal abad 20-an tersebut dikaitkan dengan SATV, HM Misbach dikaitkan dengan kondisi bangsa yang tengah dijajah Belanda, adalah bagaimana pembacaan dan pemahaman tentang agama Islam melalui tokoh HM Misbach dan organisasi SATV saat itu cukup menarik karena begitu dinamis.
HM Misbach dan SATV
Momen historis tentang HM Misbach dikaitkan dengan SATV yang cukup menarik bagi penulis adalah di tahun 1918.
Dimulai dari munculnya peristiwa kontrovesial tulisan Djojodikoro (ini sebagai koreksi atau pembanding tulisan Mu’arif bahwa penulisnya adalah Martodharsono, baca Takashi; 1997) di sebuah surat kabar di Djawi Hiswara pada 11 Januari 1918 yang isinya menjelek-jelekan Nabi Muhammad SAW dan agama Islam.
Dikatakan dalam artikel tersebut bahwasannya Nabi Muhammad SAW sebagai peminum jenewer, pemabuk, penghisap candu, pemadat. Anehnya, kepala redaksi yang memuat artikel tersebut, Martodharsono, adalah termasuk tokoh pergerakan Islam, SI, teman dekat pimpinan SI saat itu, Samanhudi.
Sebenarnya, waktu artikel itu muncul tidaklah membuat protes di Surakarta. Tetapi, ketika isu itu dibuat nasional oleh Cokroaminoto dan seruan untuk membela Islam dimuat dalam Oetoesan Hindia (OH). Peran Misbach saat itu mulai dari menyebarkan pamflet yang menyerang Martodharsono dan Djojodikoro, ikut mengorganisir rapat umum untuk memprotes dan mengorganisir dibentuknya subkomite TKNM di Solo, mengorganisir umat Islam untuk melakukan sumbangan dan iuran uang.
Di pertengahan 1918, kekecewaan mulai terungkap dalam IB dan MM. Ini terjadi tidak berapa lama kemudian ketika Cokro diam-diam menghentikan kampanye, setelah Cokro bertikai dengan Haji Hasan bin Semit sehubungan dengan uang TKNM, yang berakibat keluarnya H. Hasan bin semit dari TKNM dan CSI, sementara perkara hukum yang dituntut kalangan Islam kurang ditanggapi oleh penjajah Belanda. Dalam situasi seperti inilah, HM Misbach kemudian menggantikan Hisamzaijne, ketua TKNM, sebagai pemimpin redaksi MM dan menulis artikel pertamanya, “Sroean Kita” (MM, 1918, 281-83).

Di dalam artikel tersebut dia mengatakan bahwa “agama Islam itoe sendjata kemanusiaan kita, tapi kalau pengetahuan itu tidak dijalankan, ya sia-sia saja, sedangkan yang anti kita semakin giat menguasai kita. Bahwa agama Islam di Hindia tidak mendapat bantoean dari siapapoen, orang muslim kaya banyak yang tak suka menetapi perintah agama, yaitu membantukan harta bendanya, begitu juga orang pandai Islam mereka tak suka menyebarkan kepandaian boeat dirinya sendiri, kadang untuk menipu. Itulah sebabnya bangsa muslim banyak yang masih bodoh dan gampang terjerumus, kemudian meninggalkan agama islam dan memeluk agama lain”.
Peristiwa tidak beresnya manajemen keuangan di TKNM sebagai bentuk perjuangan Islam kala itu menimbulkan kekecewaan dari kaum muda Islam yang dikomandoi H.M. Misbach dan kawan-kawannya. Mereka menganggap para tokoh dan pemimpin pergerakan Islam saat tampil dalam TKNM tidak menampilkan watak kesatria yang siap membela kebenaran dan keadilan sampai titik darah penghabisan.
Oleh karenannya, sebagai kritik H.M. Misbach dan bersama-sama pedagang batik Muslim yang saleh seperti Koesoen, Harsoloemekso, dan Darsosasmito, ia membentuk SATV (Sidiq, Amanah, Tablig, Vatonah) dan dikuti oleh generasi santri yang lebih muda, seperti Harun Rasyid, K. Moecthar Boechari, Syarief, dan Ahmad Dasuki. H.M. Misbach ketua, Darsosasmito wakil ketua, Harsoloemekso sekretaris.
Perkumpulan ini bertujuan untuk memajukan agama Islam yang sebenarnya. Tapi momen historis pembentukannya jelas, sebagai bentuk rasa kekecewan atas tokoh-tokoh pergerakaan Islam, TKNM, kala itu yang hanya banyak omongnya dalam membela Islam tapi pada kenyataannya malah terkadang menyakiti umat Islam. Perkumpulan ini juga meminta pada pemerintah supaya diadakan Undang-undang Ulama. Dari Undang-undang Ulama itu yang akan mengatur bagaimana baik dan buruknya agama Islam di Indonesia.
Jadi, apa yang ditransformasikan H.M. Misbach dalam SATV adalah upaya pendesakkan bagaimana gerakan Islam itu jangan sampai mencla–mencle, melempem. Oleh karena itu, SATV merasa perlu memperingatkan kewajiban seorang pemimpin dan tokoh pergerakan Islam harus bisa bersikap kesatria, jangan sok-sok berjuang Islam, berbusa-busa tapi tindakannya malah banyak yang mengkhianati gerakan Islam itu sendiri. Mereka menyadari musuh Islam yang paling berat adalah musuh dalam selimut, bisa jadi dari kalangan Islam itu sendiri tapi Islamnya lamisan.
Takashi (1997) membedakan aktivitas SATV dengan Muhammadiyah dalam dua hal. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi startegis di tengah masyarakat keagamaan Yogyakarta, sedang SATV dipimpin oleh pedagang batik muslim saleh yang merasa dikhianati oleh pejabat-pejabat kegamaan dan dimanipulasi oleh pemerintah kapitalis dan misionaris.
Kedua, militansi propagandis Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa kerja untuk Muhammadiyah berarti hidup sebagai muslim sejati, sedangkan militansi mubaligh SATV berasal dari ketakutan akan manipulasi dan keinginan untuk membuktikan “keislaman” mereka melalui perbuatan. Dari sinilah muncul istilah “Islam lamisan” untuk orang Islam yang sekedar di mulut atau Islam KTP dan “Islam sejati”, yaitu berkata dan bertindak berdasarkan dan demi kemajuan Islam.
Lebih jauh mengenai hubungan HM Misbach dengan tokoh dan organisasi Muhammadiyah terlihat ketika pertama kalinya bisa kerjasama dengan memajukan dan menerbitkan surat kabar Islam di Solo, Islam Bergerak dan Medan Moeslimin, HM Misbach sebagai kepala redaktur sementara beberapa tokoh Muhammadiyah menjadi bagian redaksinya.
Tapi setelah H.M. Misbach ditangkap dua kali, terutama setelah dipenjara yang kedua akibat aktivitasnya yang memberikan advokasi pada perjuangan petani dan buruh di daerah kerajaan Surakarta, SATV, termasuk Islam Bergerak dan Medan Moeslimin praktis dikendaikan oleh para tokoh Muhamadiyah, yang kemudian melakukan gerakan kudeta dengan meleburkan SATV menjadi organisasi Muhammadiyah cabang Solo.
Keluar dari Penjara
Setelah HM Misbach keluar dari penjara yang kedua tersebut, segera ia melakukan tindakan pembersihan terhadap aktivis Muhammadiyah itu, kecuali mereka mau bergerak ke politik membela rakyat, petani, dan buruh untuk melakukan perlawanan dan protes terhadap penjajah Belanda.
Dari sinilah HM Misbach sering melakukan kritik terhadap organisasi dan tokoh pergerakan Islam yang tidak memberikan gerakan protes, pembelaan terhadap buruh petani, seperti Cokroaminoto, K.H. Ahmad Dahan, SI, dan Muhammadiyah. Misbach mengatakan Cokro dan SI sebagai racun pergerakan rakyat Indonesia, terutama ketika SI melakukan disipin partai dengan mengeluarkan paham dan orang Komunis.
HM Misbach mengatakan Muhammadiyah dan K.H. Ahmad Dahan sebagai gerakan Islam dan tokoh yang tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad yang jelas membela kepada rakyat tertindas, bukan suka hanya menyiarkan agama Islam, Islam dan Islam saja, tapi membiarkan saja orang yang tertindas, di mana H.M. Misbach pernah mengusukan pada suatu rapat di Muhammadiyah, agar organisasi ini diubah namanya menjadi persyarikatan manusia.
Perkembangan selanjutnya, HM Misbach condong ke ideologi kiri, tapi masih menguatkan keislaman dirinya, dan berpandangan bahwa ajaran Islam dan paham komunis itu selaras, yaitu sebagai ajaran yang menuntun orang hidup di dunia, mengatur hubungan hidup bersama, mencari keselamatan bersama.
Seperti kebanyakan dalam tulisan dan pidatonya, H.M. Misbach sering mengatakan dan mengartikan Islam itu slamet, selamat. Sampai ditangkap yang ketiga kalinya, H.M. Misbach sudah tidak ikut lagi dalam gerakan yang bersimbolkan Islam, baik SI dan Muhammadiyah, tapi malah ikut mendirikan dan membesarkan PKI cabang Solo, menjadi jurkam PKI, mendirikan organisasi ounderbow PKI, SI-Merah-SR (Sarekat Rakyat).
Maka penulis agak heran dengan tulisan Mohamad Ali yang menyebutkan bahwa HM Misbach selama masa pembuangan di Manokwari ikut menyebarkan dan mengenakan paham Muhammadiyah. Bukankah Misbach cenderung memiliki gagasan Islam kiri, dibuktikan dengan tulisan fenomenalnya, “Islam dan Komunisme”, dan Muhammadiyah dari dulu sampai sekarang anti komunis?
Apa yang dapat kita simpulkan makna dari peristiwa “HM Misbach, SATV, dan Muhammadiyah”? adalah bagaimana HM Misbach dan Muhammadiyah ikut dalam proses pembacaan dan pemahaman keislaman mereka dengan meniru contoh perilaku dan gerakan Nabi Muhammad SAW yang bergerak secara dinamis dan dialektis.
Itu terlihat bagaimana Misbach membuat organisasi SATV dan nama organisasi Muhammadiyah, menunjukkan sikap cinta pada Nabi Muhammad SAW. H.M. Misbach dan Muhammadiyah memilih atau memiliki kecenderungan dan pilihan masing-masing dalam menguatkan peniruan ajaran Nabi Muhammad dan keislaman tersebut.
HM Misbach memilih gerakan Islam sosial dan politik, dengan upaya memberikan gerakan advokasi terhadap petani dan buruh dengan melakukan perlawanan terhadap penjajah, sementara Muhammadiyah memilih ajaran pendidikan dan gerakan sosial budaya yang dilakukan secara evolutif dan relatif menghindari gerakan politik secara frontal.
Semua pilihan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tentunya, kita hidup di zaman sekarang harus mendialektikakan kekurangan dari pilihan-pilihan tersebut untuk bisa kita perbaiki.
M. Rifai, Petani Tembakau Temanggung dan Penulis lepas
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2010