Wafatnya Utsman bin Affan (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Sebagaimana diketahui, khalifah Utsman adalah orang yang sangat takut kepada Allah. Ia hidup dengan memakan roti, air dan puasa. Sementara itu, banyak anggota kerabatnya dari bani Umayyah secara pelan tapi pasti memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang kian besar. Mereka memerintah banyak kota dan pusat perdagangan. Mereka memiliki tanah yang sangat luas dan aset finansial yang besar. Salah seorang kerabat Umayyah yang memiliki pengaruh yang sangat besar adalah Mu`awiyah. Ia adalah orang yang juga membangun armada angkatan laut pertama pasukan Muslim sekaligus sepupu favorit Utsman.
Sebagai gubernur Damaskus dan sekitarnya, Mu`awiyah mampu mengukuhkan posisinya lewat intrik politik, pernikahan antar kaum bangsawan dan anggota kerajaan, pembelian tanah perluasan perdagangan dan pemberian oleh khalifah. Dalam kurun waktu satu dekade, Mu`awiyah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya mulai dari sungai Efrat hingga garis pantai Mediterania di Mesir. Ia bahkan membentuk tentara darat dan laut yang hanya setia kepadanya. Perlu dipahami bahwa tumbuhnya kekuasaan Mu`awiyah ini tidak tercipta dalam waktu semalam tapi dalam rentang waktu dua belas tahun.
Khalifah Utsman yang sangat dikagumi kini mulai menerima keberatan dan penolakan. Penyalahgunaan keuangan, korupsi dan pajak yang tinggi menjadi sumber keluhan masyarakat. Saudara tiri Abdullah bin Sa`ad yang menjadi gubernur Mesir dianggap telah memeras rakyat sehingga memicu huru-hara. Pedagang, saudagar dan pemuka masyarakat Mesir membentuk koalisi dan mengirim surat ke khalifah Utsman meminta pemecatan sang gubernur. Karena tiadanya balasan dalam kurun waktu tertentu, mereka mengirim delegasi dalam jumlah relatif besar untuk mengirimkan petisi kepada khalifah Utsman secara langsung dan pribadi. Delegasi lain juga datang menemui Utsman, di antaranya dari Kufah dan Bashrah. Semuanya menggabungkan diri menjadi kekuatan yang lebih besar.
Begitu sampai di Madinah, Utsman pertama kali enggan menemui mereka dan meminta Ali bin Abi Thalib menghadapi massa yang marah. Alih-alih menemui mereka, Ali meyakinkan dan mendesak Utsman agar bertatap muka dengan delegasi tersebut guna memecahkan masalah yang ada. Ketika berhadapan dengan mereka, Utsman diberitahukan bahwa selama satu dekade gubernur Abdullah bin Sa`ad telah menyalahgunakan mandatnya dan delegasi tersebut menuntut pergantian kekuasaan di Mesir. Artinya, Abdullah bin Sa`ad harus diturunkan dari jabatannya. Khalifah Ustman menyetujui permintaan mereka untuk mengganti Abdullah bin Sa`ad sebagai gubernur Mesir dan meminta semua delegasi pulang. Persoalan tampak terselesaikan dengan baik dan krisis berhasil dibalikkan.
Dalam perjalanan mereka pulang ke Mesir, delegasi Mesir ini melihat seorang sosok laki-laki yang mencurigakan. Mereka mendekati dan menggeledahnya. Ternyata ia adalah seorang asisten Utsman yang diutus untuk membawa surat ke gubernur Mesir. Begitu mereka mendapati dan membaca surat tersebut, dunia seperti terguncang. Suratnya berbunyi bahwa begitu semua anggota delegasi ini sampai di istana gubernur, mereka harus segera dieksekusi. Surat itu seolah-olah ditandatangani sendiri oleh khalifah Utsman. Para delegasi Mesir merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh khalifah mereka sendiri. Mereka menjadi penuh amuk marah dan kecewa.
Ketika mereka berbalik arah ke Madinah menjumpai Utsman yang sewaktu itu berada di tangga rumahnya, sang khalifah kaget dan bersumpah atas nama Allah bahwa itu bukan tulisannya dan tak pernah mendengar apa pun tentang isu surat itu. Pada sejarawan menyebut surat itu sebetulnya ditulis oleh sepupu Utsman, yakni Marwan. Ia adalah kerabat dan sekutu gubernur Damaskus, Mu`awiyah. Yang perlu diketahui bahwa khalifah Utsman tak punya bodyguard atau siapa pun yang menjaga keamanannya. Bala tentara menyebar di provinsi dan berada di garda depan negara. Sementara pada waktu itu tokoh-tokoh penting Madinah tengah menunaikan haji ke Makkah. Satu-satunya pelindung yang dimiliki oleh Utsman adalah anak-anak muda setempat yang diposkan di kediaman Utsman, di antaranya adalah kedua putra Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain.
Pelbagai peristiwa yang mengikuti seusai interaksi antara Utsman dan delegasi Mesir membingungkan dan kontradiktif. Tapi apa yang berlangsung berikutnya sangat jelas ketika eskalasi pertentangan tidak kunjung berkesudahan. Manakala delegasi itu mendekati rumah Utsman untuk kali kedua, seseorang melepaskan anak panah dan membunuh salah seorang pemimpin kerumunan. Massa makin marah dan meminta khalifah membawa ke depan siapa yang membunuhnya. Utsman menolaknya dan berdalih bahwa ia tidak bisa mengkhianati seseorang yang bertindak membelanya. Tak lama massa memaksa Utsman meletakkan jabatannya sebagai khalifah. Ustman kembali menolak dan menghentikan pembicaraan dengan mereka. Ia berlalu dan menyendiri di ruangannya melakukan apa yang biasa dikerjakannya, yaitu shalat dan membaca Al Qur’an.
Massa yang sudah marah menjadi kian beringas. Mereka mendobrak pintu rumah Utsman dan berteriak. Mereka menemukan Utsman tengah membaca Kitabullah di pojok study room-nya dengan sebuah lampu kecil. Khalifah yang sudah berusia 80 tahun itu akhirnya dipukul hingga tewas oleh saudaranya Muslim. Sepanjang empat hari massa yang murka menyapu semua jalan-jalan kota Madinah, menjarah dan merampas rumah-rumah penduduk Madinah. Apa yang bermula sebagai delegasi yang damai akhirnya bermetamorfosis sebagai massa penuh amarah karena konspirasi, perasaan dikhianati dan ketidakadilan yang merusak sendi-sendi persatuan dalam Islam. Pada hari yang keempat, pimpinan massa menuntut pemilihan khalifah baru, seseorang yang mereka percayai. Bila tidak, mereka mengancam akan memorak-porandakan ibukota Madinah. Massa memberikan penduduk Madinah tenggat satu hari untuk memilih khalifah baru.
Pada masa-masa sulit penuh turbulensi ini semua mata tertuju kepada satu orang: Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya Ali menolak tawaran ini. Namun para sahabat dan pemuka Madinah menyampaikan sumpah setia mereka dan memohon supaya Ali menerima mandat ini. Ali tak punya pilihan dan akhirnya menerima gelar khalifah ini. Sebagai khalifah keempat, Ali dihadapkan dengan banyak tantangan. Ia ditugasi mengakhiri pemberontakan dan mengembalikan keamanan, apalagi ada dorongan kuat dari sejumlah pihak yang hendak balas dendam atas terbunuhnya Utsman. Darah harus dibayar dengan darah. Suara paling kencang yang menuntut ini adalah Mu`awiyah dan segenap anggota bani Umayyah. Sebagai gubernur Damaskus, Mu`awiyah telah mempersiapkan panji-panji dan prajurit. Lewat konspirasi dan intrik politik, Mu`awiyah dan sekutunya bani Umayyah menjerumuskan kekhalifahan ke dalam perang saudara (حرب اهلية). Ini semua mengakhiri struktur kekhalifahan yang demokratis yang pada gilirannya mengubah identitas dan peradaban dalam Islam—(Tamat)
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas